...Alam bergetar hebat laksana di goyang seperti mainan gasing anak anak kecil pedukuhan ketika dipilin lontarkan jemari lantas berada di kecepatan paling tinggi.
Sosok itu menampakkan wujud dari arsir saput halimun, tanpa menjejak tanah, bentuknya tak wajar bagi yang belum pernah berhadapan denganya,bagaimana tidak ,tubuhnya menjulang tinggi meski dia melipat kedua kaki dalam bersila,tanganya bukan tangan biasa seperti kebanyakan manusia, selain dua tangan yang senantiasa menggenggam panah dan cakra,sepasang tangan lagi menyeruak dari tegak punggung bahunya, sementara tubuhnya dibalut ageman pakaian kuning sepuh keemasan dengan beraneka lengkap cupu cupu dan manik manik, wajahnya yang juga hitam legam seperti milik wisanggeni teramat bertolak dengan gemerlap mahkota yang di kenakan , sekelilingnya adalah pualam intan dan bebatuan mulia.Di bawah lipat kakinya yang bersila ia berkendara seekor naga,menjulur julur lidah apinya. Belantara sesaat ternganga menyaksikan kesakralan ini,seakan menunduk hormat, khusyu meyambut kemagisan alam. Tapi tidak Wisanggeni, tak ada gentar bagi dadanya didatangi wujudan apapun, pun itu bathara ,pun itu pandhita,atau manusia setengah druwiksa*.
Ia seakan cuma gentar akan dirinya sendiri.
Ia mendongak tanpa rasa takut.
"Hei wujud agung wisnu, mengapa engkau mempermainkan malam sedemikian rupa, hingga purnama kali ini berubah menjadi gerhana.Apa yang sebenarnya engkau kehendaki ,duhai bathara pelindung madyapada* ? ?"
angin menggila lagi membentuk deru yang mencorong kecil dibawah dan membesar melingkar lingkar di langit sana.
Suara aneh akhirnya menggema ,
" Akulah wisnu yang tahu keberadaanmu wahai anak muda, akulah jiwa yang menitis pada tiap ciptaan yang di kehendaki oleh sang hyang wenang, maka ketauhilah olehmu wahai Bambang wisanggeni,,dendammu tak akan menemukan ujungnya"
mata wisanggeni mendarah, pelupuknya dipenuhi kebencian masalalu.Selama ini ia tumbuh sendiri tanpa diakui, sekarang saat semuanya terkuak , kenapa ia harus terhenti.
" sudahlah wisnu , aku tiada butuh wejangan penyejuk kalbu, selama ini aku hanya mencari penjelasan hakiki,rintih panjang kesakitan yang mencari penawar mujarabnya.Tidakkah itu wajar, wahai junjungan ?"
dingin lantas membekap perbincangan dua mahkluk itu cukup lama.Alam bungkam.Embun mengalir dari ujung dedaun, menetes jatuh mengena rumput.
"sekarang tolong katakan padaku , di negeri mana harus kutemukan ayahandaku permadi?"
"baiklah jiwa yang membara, sungguh tak bisa aku mengekang kakimu untuk terhenti,jika memang ini takdir, maka bersiaplah menerima jawabnya....
Puting beliung menghempas sekali lagi, melenyapkan wisnu dari hadapan wisanggeni.
Ia menatap purnama yang menampak di permadani langit yang serba lebar itu, bentuknya yang telanjang bulat menawarkan pisau pisau silau bagi matanya yang selama empatpuluh malam senantiasa terjaga.
Ya, dari ucapan bathara wisnu tadi kini didapat setitik pegangan, ia akan mengarahkan langkah kakinya kemana, besok, ketika purnama ini telah digantikan matahari, ia akan melanjutkan perjalananya : negeri Amarta.
Alam masih sunyi.
Begitu juga rumput yang malam ini dijadikan babut alas tidurnya...
: menikmati jeda
....masih berlanjut.
Catatan kaki *
madyapada : alam manusia
druwiksa : raksasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar