JENDELA DI BULAN HUJAN


di pikiranku ada seorang gadis
aku di jauh. cuma sebingkai jendela.
yang basah kuyup menggigigil
berharap ada yang memeluk

sepasang lengan yang aku tak tahu
muasalnya tiba-tiba datang mengetuk
agar aku membuka diri.
ia mengatakan hendak meminjamkan
hidup dan dirinya

aku berkedip menggunakan
seluruh tatapanku membiarkannya
menyambung harapan-harapanku
yang pendek

apa yang bisa dilakukan seseorang
yang takut dimangsa hujan dan desember?

pertanyaan yang cuma memantul-mantul
tak bisa keluar dari tebing dan dinding
yang mengelilingi urat kayu ubun-ubunku.

desember 2012

Pengumuman Pemenang Lomba Puisi Esai

25 Puisi Esai Terpilih

(Hasil Lomba Menulis Puisi Esai)

Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya tema yang ditulis. Untuk pertama kalinya dalam perpuisian Indonesia ditemukan tema yang demikian beragam. Tema-tema itu meliputi hukum dan peradilan, konflik etnis, problem kebangsaan masyarakat perbatasan terluar Indonesia, transgender, kekerasan sosial, Korupsi, pertanahan, maritim, lingkungan, problem dunia pendidikan, korupsi dan manipulasi, dunia bisnis, ketegangan antaretnis, dunia pesantren, dunia anak dan masalahnya, problem budaya suku terasing, kekosongan vs keriuhan kota besar, dunia penari tradisi dan penari erotis, komunikasi modern, sengketa tanah, kisah cinta antaretnis-antarbangsa-antaragama, dan banyak lagi.
Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden, orang Kubu, anggota masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional, tokoh sejarah lokal, tokoh pemberitaan media massa, pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang kesepian dan ingin bunuh diri, anggota etnis minoritas sekaligus pelaku transgender, warga Tionghoa Indonesia yang dijodohkan (dijual?) ke Hongkong, buruh tani, TKW, pemain band, Raden Saleh, perusuh, dan banyak lagi.
Beragamnya tema maupun aku liris yang muncul dalam puisi esai menunjukkan bahwa puisi esai –entah mengapa—telah membuka katup tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”—disuarakan dalam puisi liris konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat dalam perpuisian Indonesia tiba-tiba muncul dengan penuh warna. Jika meminjam terminologi Edward de Bono, dengan mengubah topi puisi liris konvensional ke puisi esai, nyata banyak hal yang semula senyap kini ramai bersuara, yang semula gelap kini mulai diberi cahaya. Banyak dari padanya memang belum sepenuhnya berhasil sebagai puisi (tepatnya puisi esai) yang utuh dan memikat, namun fakta bahwa banyak segi dalam kehidupan dan kenyataan Indonesia mulai disentuh dalam puisi jelas merupakan sesuatu yang menggembirakan. Di masa depan kita bisa berharap bahwa puisi Indonesia tidak sepenuhnya terpaku pada tema dan urusan kesepian serta kegalauan individual, melainkan mulai menggarap juga kekayaan, keluasan, dan keberagaman situasi dan pengalaman meng-Indonesia.
Tidak kurang dari 400 (tepatnya 429) puisi esai yang masuk ke Jurnal Sajak saat lomba Menulis Puisi Esai ditutup. Mengingat setiap puisi esai terdiri dari puisi panjang –terkadang tidak kurang dari 10 puisi panjang– maka puisi esai yang masuk ke panitia sebanding dengan 4000 s.d. 6000 puisi liris. Untuk menangani hal tersebut dibuat dua jenjang penilaian, yakni Juri Awaldan Juri Final. Juri Awal yang terdiri dari Ahmad Gaus, Jonminofri, Elza Peldi Taher, dan Fatin Hamama memeriksa setiap puisi esai yang masuk dan menilai kepuisiesaian tiap-tiap karya peserta. Puisi esai –ditandaioleh adanya plot, konflik, catatan kaki, keutuhan sebagai sebuah sajak panjang, dan sebagainya– dijadikan kriteria awal dalam memilih puisi esai yang masuk untuk diloloskan ke babak berikutnya. Maka sajak panjang berupa kumpulan beberapa sajak dengan judul berbeda-beda dan tidak memiliki keutuhan sebagai satu puisi esai tidak lolos ke seleksi selanjutnya. Demikian pula puisi yang tema dan panjangnya relatif memenuhi kriteria puisi esai namun tidak disertai dengan catatan kaki, tidak lolos ke babak selanjutnya, karena beberapa fakta di sana tidak dapat dirujuk pada sumber yang adekuat.
Juri Final yang terdiri dari Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, dan Jamal D. Rahman sepenuhnya berhadapan dengan puisi esai. Mereka bertugas memilih pemenang 1, 2, dan 3, serta 10 pemenang Hiburan berdasarkan mutu puisi esai yang masuk lomba.
Tidak mudah memilih juara 1, 2, dan 3. Lebih-lebih tidak mudah memilih 10 pemenang hiburan. Setelah membaca dan mendiskusikannya berkali-kali akhirnya dipilih para pemenang sebagai berikut:
“Mata Luka Sengkon Karta” karya Peri Sandi Huizche sebagai Juara pertama
“Interegnum” karya Beni Setia sebagai Juara Kedua, dan
“Syair 1001 indonesia” karya Saifur Rohman, sebagai Juara Ketiga.
Sebagaimana terlihat dari judulnya “Mata Luka Sengkon Karta” mengangkat permasalahan hukum dan peradilan sebagaimana yang pernah dialami dalam kasus Sengkon Karta yang pernah menjadi pemberitaan utama berbagai media massa di masa Orde Baru dan kini mungkin sudah mulai dilupakan. Puisi Esai ini dipilih karena keutuhan, kelincahan bahasa, alur yang kuat, dan riset yang mendalam atas subjek yang ditulisnya. Penggarapannya cukup ditel, diksi-diksinya pun segar. Penulis mampu membuat kasus lama ini hidup kembali untuk diperhadapkan dengan situasi hukum dan peradilan di masa kini. Ada beberapa ungkapan daerah, namun relevan dengan jalannya cerita sehingga tidak mengganggu keutuhan. Sedikit kelemahan pada puisi esai “Mata Luka Sengkon Karta” ini adalah rentang waktu pengisahan yang sangat panjang dengan sekian lanturan anak kisah. Sekalipun begitu, secara umum puisi esai ini ditulis dengan memikat.
“Interegnum” ditulis oleh Beni Setia, seorang penyair kawakan. Dengan bersih dan padu, kisah lama yang diambil dari sejarah dan cerita rakyat ini dibangun tahap demi tahap secara hati-hati hingga terbangun gambaran peristiwa di Palangan Mejayan masa silam. Dalam bentuk yang rapi tersebut, plot, konflik dan penokohannya dibiarkan tidak tajam dan digantikan dengan suasana-suasana dalam gambaran yang terkendali, Catatan-catatan kaki dibuat untuk menunjang bangunan informasi latar kejadian dalam cerita ini.
“Syair 1001 Indonesia” mengangkat kasus hukum dan korupsi yang menjadi berita hangat berbagai media massa belakangan ini. Dalam “Syair 1001 Indonesia” terjadi fiksionalisasi atas fakta, dan terkadang juga faktanisasi atas fiksi. Fakta dan fiksi terus-menerus dipermainkan. Dengan meminjam tokoh nyata sebagai pencerita orang pertama, maka puisi esai ini dibangun nyaris sepenuhnya dalam bangunan ironi. Ada upaya keras untuk membangun rima (khususnya rima akhir), beberapa berhasil beberapa terkesan agak dipaksakan. Namun, karena bangunan utama puisi esai ini adalah ironi, maka persamaan bunyi akhir yang dipaksakan itu terkadang menggaris bawahi unsur ironi pada puisi esai ini.
Pemenang hiburan agak sulit dipilih karena jumlahnya 10 buah sehingga rentang kualitas antara satu dengan lainnya terkadang cukup besar. Hanna Fransisca, misalnya, mengangkat tema masyarakat etnis Tionghoa Singkawang yang berhadapan dengan kemiskinan di satu sisi dan godaan untuk menjodohkan anak gadis dengan lelaki Hongkong demi beroleh kemakmuran. Puisi esai ini ditulis dengan nada serius, sementara Wendoko menulis dengan gaya santai dan main-main tentang telepon. Ada kisah cinta berlatar kekerasan sosial di Sampit karya Catur Adi Wicaksono, dan ada pula kisah Ki Bagus Rangin yang berlatar sejarah karya Kedung Darma Romansha. Di sisi lain, ada pula puisi esai yang berupa “alegori mistik” karya Rahmad Agus Supartono. Hampir semua pemenang hiburan mengangkat tema yang menarik dan ditulis dengan cukup memikat. Godaan utama pada nyaris semua pemenang hiburan adalah kurang fokus pada satu alur utama sehingga penokohan, konfik, maupun riset (sejauh terlihat pada catatan kaki) kurang terfokus. Kekuatannya, hampir semuanya menunjukkan daya puitik yang menggugah.
Selain 10 pemenang hiburan. Juri memilih 12 puisi esai yang dianggap menarik. Keduabelas puisi esai ini dipilih karena daya tarik permasalahan yang diangkatnya sebagai puisi esai, meski karya mereka belum mencapai keutuhan sebagai sebuah karya yang solid. Tentu saja 12 puisi esai yang dianggap menarik ini memenuhi capaian minimal puisi esai yang relatif baik. Banyak puisi esai yang mengangkat tema serta persoalan yang sangat menarik. Sayang, tema-tema menarik tersebut belum ditunjang oleh kemampuan menulis yang memadai. Kami berharap, para peserta tidak puas dengan apa yang mereka capai sekarang hingga terus berusaha di masa depan untuk mengangkat tema-tema menarik itu dalam bentuk puisi esai yang memikat.

Juri Final
Agus R. Sarjono
Acep Zamzam Noor
Jamal D. Rahman

Juri Awal
Ahmad Gaus
Elza Peldi Taher
Fatin Hamama
Jonminofri

Juara
1.         Peri Sandi Huizche – Mata Luka Sengkon Karta
2.         Beni Setia – Interegnum
3.         Saifur Rohman  - Syair 1001 Indonesia

10 Pemenang Hiburan
1.         Arief Setiawan – Ngati
2.         Arif Fitra Kurniawan – Bukan Lagi Rahasia Kita Raisa
3.         Catur Adi Wicaksono – Jejak Cinta Madun Di Kota Sampit
4.         Hanna Fransisca – Singkawang Petang
5.         Jenar Aribowo – Suara Suara Ingatan
6.           Katherine Ahmad – Dalam Belenggu Dua Dunia
7.           Kedung Darma Romansha – Rangin
8.           Rahmad Agus Supartono -  Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas
9.           Wendoko – Telepon
10.       Yustinus Sapto hardjanto – Ziarah Tanpa Ujung

12  Puisi Esai Menarik
1.  Alexander Robert
2.  Baiq Ratna Mulyaningsih
3.  Carolina Betty
4.  Chairunnisan
5.  Damhuri Muhammad
6.  Huzer Apriansyah
7.  Nur Faini
8.  Onik Sam Nurmalaya
9.  Sahasra Sahasika
10. Sifa Amori
11. Stefanus P. Elu
12. Yudith Rosida


diambil dari :  http://puisi-esai.com

sebelum 121212

jam memang terus berdetak. adik saya + suami nya + mbimbi   datang. (oiya, mbibi sekarang jadi item deh perasaan. dan kurus) mereka tahu besok bukan saja hari bahagia buat saya, tapi bagi mereka yang jadi kami, melihat saya lulus jauh lebih wah dari hari  lebaran. itu makanya adik saya bolos kerja bolos kuliah, ayah saya libur. mamak saya libur. hari akan jadi tampak lebar saudara. besok pada jam 9 pagi saya wisuda. hari ini wajah saya dan mereka sama sama neon 100 watt.

MALAM DINGIN DI DEPAN HALAMAN


di sini aspal dingin, pohon-pohon dingin
hari-hari dibentuk dari jutaan es batu

nasibku tetap selamat malam
yang ingin aku selimutkan
ke kuncup mata tidur engkau

yang kelak akan mekar demi memeluk keyakinan
bahwa di mimpi, kita akan saling menciumi
warna-warna televisi yang sekarang
pandai menciptakan perang untuk menyakiti diri sendiri
di mimpi, entah kenapa kita jadi kehilangan banyak sekali agama.

kemudian dari datar dada kita yang runtuh
akan memantul; alamat-alamat yang lama
diburu para pendaki
yang mengira sudah sampai di puncak
membawa kaki mereka yang bodoh.

kita tidak punya puncak.
kita tidak punya puncak.
kita cuma punya dasar.
katamu. ditelan oleh kejauhan.

dan mereka tersadar.
buru-buru mereka melilit tempat mereka
tumbuh layaknya seekor ular

tapi percuma. luka-luka yang dulu
tidak bisa memaafkan kita itu juga akan mengubur
mereka satu-satu sebagai kesalahan besar
yang dimiliki usia benalu
: nenek moyang seluruh bayi-bayi bencana

di sini aspal dingin. tidak ada lagi pohon-pohon.
tapi hari-hari terus dibentuk dari jutaan es batu.


(grabag, november 2012)