Monolog Cut Nyak Dien (Siluet Kelam dari Tanah Kelahiran-- Jawa Pos, Minggu 30 Agustus 2015)



Suara riuh ratusan pengunjung yang sudah berjubel-jubel memadati kursi-kursi yang disediakan di  ruangan balairung Universitas PGRI Semarang menjadi beku seketika setelah neon-neon ruangan padam digantikan nyala sebuah lampu sorot dari kiri atas panggung. Cuma hawa pendingin ruangan serta perasaan keruh yang muncul  dan menyergap begitu seorang perempuan gaek bertudung terlihat bersimpuh di atas panggung. Dari depan panggung disorotkanlah proyektor yang menciptakan siluet-siluet menjadi lansekap latar. Peta. Hutan. Daun dan batang-batang pohon. Gesekan cello terdengar merengek. Dan perempuan gaek itu lantas  menggumam dan memulai kisahnya, dengan artikulasi yang tenang di permukaan namun menyimpan ledakan perih dan kesakitan di kedalaman. Dari tempat yang sunyi dan jauh perempuan gaek sedang mengenang tanah kelahirannya. Nanggroe. Ia terkenang akan hutan-hutannya yang gelap, daun dan pokok-pokok pohonnya. Ia sedang merutuki nasib pengasingannya  yang tak mungkin mengijinkan untuk bisa mati dan terbaring di tanah kelahirannya sendiri. Perempuan gaek itu adalah Cut Nyak Dien.
                Ritme cello menekan dan seperti ingin mencekik tenggorokan, sementara latar siluet juga mulai bergerak mengiringi Cut Nyak Dien yang mulai bangkit seraya seperti sedang menghardikkan kepada keturunannya, mengungkit-ungkit dan terus mengingatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang diturunkan untuk tidak takluk pada yang menjajah, bahwa di dalam darah mereka, orang-orang Aceh, mengalir darah keberanian dari Datuk Makhudum Sati, yang melegenda atas upayanya melawan sultan  yang mencoba menindas rakyat dengan penarikan upeti. Maka, dia tak mau ada orang yang mempertanyakan kenapa dirinya ikut berjuang bersama Teuku Ibrahim Lamnga, dan bersumpah ketika suaminya tersebut  tewas dalam peperangan menghadapi pasukan Belanda; bahwa dirinya tak akan pernah berhenti mengobarkan perlawanan dan kebencian  kepada kaphe-kaphe ulanda.  Dan itu benar-benar dibuktikannya dengan terus memimpin gerilya, bahkan setelah Teuku Umar, suami keduanya juga tewas  tertembak  ketika peperangan meletus  di Meulaboh. Keberaniannya tidak mengerdil, meski matanya sudah mulai rabun, pendengarannya rusak dan penyakit-penyakit usia tua mulai menggerogotinya. Ketika penangkapan atas dirinya itu terjadi, ia masih berani menyumpah kepada Pang Laot  yang ia anggap berkhianat sembari mengacung-ngacungkan rencong.

Masa Lalu si Penghamba



Jauh sebelum ribuan bola api  jatuh dari lubang suara nenekku, lama ia jadi pengikut setia kaki jenjangmu yang kau angkat sebelah. Ia tak bisa memaafkan kekeliruan siapa pun kecuali  masa lalu pernah mendatangi dan menjadikanya seorang  tukang tanam. Apa kau tak merasakan takdirnya yang bergetar tiap kali  ia selesaikan sebuah kubangan?

Di dekat lempengan besi yang  bertahun-tahun kemudian  keluarga kami  simpan,   ia terus saja menggumamkan; timun suri  itu, keluwak itu, kailan itu, tak akan bisa mengekalkan mata kakimu yang siang malam bermimpi  dikenakan seorang penari. 

Buku dan Kisah-kisah Heroik (Koran Jakarta, Jumat, 3 Juli 2015)

 
Judul: People of  The Books
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani
Cetakan:  I,  2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 504 halaman
Judul Asli: People of  The Books
ISBN: 978-602-03-1447-1



Di sana, saat orang membakar buku,
ia sesungguhnya membakar manusia.
(Henrich Heine)


Lewat novelnya  People of The Books (Gramedia, 2015),  Geraldine Brooks, penulis yang mendapatkan Pulitzer pada tahun 2006  untuk novelnya March (dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kapten March oleh Penerbit Hikmah, 2005)  ingin menunjukkan pada kita betapa buku menyimpan rahasia-rahasia besar dari apa yang dikreasikan manusia. Lewat buku, peradaban manusia bisa kita ukur.  Sejauh apa dan bagaimana. Buku menjadi begitu agung lantaran tak jarang berisi ide-ide besar, itulah sebabnya kadang kita temukan di banyak belahan dunia, atas nama otoritasi, baik agama maupun kekuasaan rezim pemerintahan, buku-buku dibakar, dimusnahkan. Bagi mereka buku dianggap oposisi yang  lebih berbahaya ketimbang moncong  meriam dan rudal.


Membaca buku ini, kita disuguhi cerita unik. Kita akan merasa  sedang membaca dua  bagan cerita dalam satu bundel sekaligus. Dua Plot. Dua sekuen waktu. Bagan pertama berisi pertanyaan-pertanyan. Yang lain adalah kisah yang menjadi jawaban-jawaban. Seolah buku sedang menyusun dialognya sendiri.

Plot pertama adalah kisahan dari Hanna Heath, pakar konservasi buku-buku kuno yang pada tahun 1996 ditunjuk oleh PBB untuk menelisik dan merestorasi sebuah temuan naskah Haggadah Sarajevo—buku berisi cerita-cerita berilustrasi  tentang prosesi eksodus bani Israil (bangsa Yahudi) bersama nabi Musa  yang diusir  dari  Mesir seperti dikisahkan Kitab Taurat. Haggadah yang berusia 5 abad lebih tersebut selamat dari kecamuk perang Yugoslavia.

Disusun dengan skema cerita detektif dengan plot maju ke depan  pembaca akan bertahan untuk terus mengikuti karakter Hanna Heath dalam memecahkan rahasia-rahasia yang disimpan dalam Haggadah. Di antara sampiran-sampiran konflik antara Heath dengan Ibunya yang ambisius dan selalu meremehkan pekerjaannya, selubung jatidiri ayahnya yang ternyata seorang pelukis terkenal, juga sisipan percintaan ambigunya dengan Dr Ozren Kamaran—pustakawan sekaligus penyelamat haggadah ketika konflik berdarah antar etnis di Sarajevo meletus, pembaca akan diseret untuk larut bersama  Heath dalam membuat hipotesa-hipotesa menyangkut naskah kuno tersebut. Pembaca akan diajak bagaimana cara meneliti dan  menentukan jenis cairan apa yang menempel dan membekas di sebuah halaman haggadah, apakah noda tersebut berasal dari tetesan wine atau darah atau malah  garam. Menebak-nebak apakah  semburat warna kuning  yang digunakan untuk melukis pada sebuah ilustrasinya terbuat dari sumber warna pigmen kunyit atau pigmen safron. Seperti banyak terjadi dalam cerita detektif, renik-renik kecil  tersebut menjadi obyek vital untuk menentukan sebuah  simpulan.

Ulang Tahun-nya

Hari ini pacar saya berulang tahun. Saya hadiahi ia buku+baju+kartu ucapan bertuliskan aku cinta kepadamu. Tapi ia serakah. Ia masih minta saya sebagai hadiah di hari berbahagianya ini. Well, selamat ulang tahun ya.


nb: semoga bajunya tidak sesak. tidak terlihat seperti bapak-bapak kan?

Menghindar dari Gramatikal yang Jernih (Jawa Pos, Minggu 2 Agustus 2015)



Judul: Napas Mayat
Penulis: Bagus Dwi Hananto
Cetakan:  I, April  2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 185 halaman
ISBN: 978-602-03-1522-5


Lewat  Napas Mayat (Gramedia, 2015), novel yang mendapatkan tempat sebagai juara ketiga dalam sayembara penulisan novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2014 kemarin, Bagus Dwi Hananto mengunggah sebuah pertarungan abadi antara yang baik dan yang buruk. Kehidupan dan kematian. Malaikat versus Iblis. Putih melawan hitam. Bagus menyatukan mereka dalam satu ring; tubuh manusia.  Perseteruan tersebut dikisahkan dalam bingkai surealis yang murung.

            Kisah dimulai dari kematian Aku—prosa, setelah menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak atas kejahatan yang dilakukannya; pembunuhan berantai. Kemudian  menggunakan lajur flashback, pembaca akan dibawa merunut ihwal masa lalu si tokoh, pengisahan yang memang  dibutuhkan untuk menyusun sebab-akibat dalam novel. Bagi pembaca yang terbiasa dengan penceritaan mengalir lancar dengan kalimat efektif, bersiap-siaplah menyiapkan parasetamol atau aspirin, atau obat apa saja yang bisa meringankan sakit kepala dan nyeri otot. Sebab penceritaan akan membuat tempurung kepala kita berdenyut-denyut. Selain kalimat-kalimat yang bertaburan seringkali menggunakan kalimat bentuk pasif,  akan kita temukan beban-beban makna dalam kalimat  tersebut yang semestinya ditanggungkan ke dalam bentuk-bentuk puisi. Baik itu personisifikasi, metafora, alusi, atau metonimia. Artinya, kita harus dua atau tiga kali memreteli dan memaknai sekaligus menemukan tujuan kalimat yang dibuat penulisnya dengan muatan perangkat majas-majas tersebut.

“Ayah mati dengan jam dinding penuh keributan di tubuhnya. Dari kemegahan masa lalu kemudian dunia menggerogoti dirinya pelan-pelan sebagai orang papa.” (hlm 2)

Itu salah satu saja petilan yang  akan kita dapati dalam Napas Mayat. Untuk mengisahkan ayah si tokoh yang tadinya kaya raya kemudian mati dalam kemelaratan setelah perusahaannya jatuh bangkrut, Bagus memilih menggunakan struktur kerja bahasa yang lumrah  digunakan dalam puisi alih-alih menggunakan gramatikal yang jernih dan mudah dinikmati. Dengan bertebarannya stilistika semacam itu, pembaca dituntut   bekerja lebih keras  melakukan pembacaan untuk sampai pada halaman terakhir. Itu belum lagi ditambah dengan gagasan “berat” yang dibenamkan penulis ke dalam bagan novelnya.  Dikisahkan setelah ayah si tokoh Aku mati, di Kota A,  tinggal di sebuah apartemen muram, Aku—prosa jatuh miskin dan  mengalami penuaan dini, dilecehkan secara dramatis oleh orang-orang sekitarnya lantaran fisik yang buruk dan berkepala botak dengan tiga helai rambut di kepala. Pertarungan  psikologis pun dimulai dengan munculnya karakter Hitam, yang muncul dan mengaku sebagai “diri yang lain” dari Aku. Hitam, yang muncul dan kita baca sebagai alter ego si Aku, menawarkan halusinasi, menawarkan sebuah komparasi antara realitas dan utopianya. Tokoh Hitam inilah yang lantas menyeret si Aku untuk menciptakan motif  pembunuhan demi pembunuhan, melakukan mutilasi, mengambil jeroan,  merebus dan menyantap bagian-bagian tubuh mayat korbannya, sementara kepala-kepala mereka diawetkan dalam kulkas. Cuma lantaran melecehkan kondisi fisik si Aku, Mama Besar dan Marbun menemui ajal mereka. Yang satu dijerat lehernya, yang satu ditusuk dengan pisau. Kita akan menemukan seorang psikopat dalam novel ini.  

Hujan untuk Seekor Anjing



Jika lubang tanah yang kaugali di belakang rumah
dan rontok separuh bulan Desember  seperti rambutmu
Masih juga tak bisa mendamaikan katup mataku,
aku hendak menyerahkan diri saja.

Tapi bukan ke cermin. Di cermin justru kau
yang akan takluk menyaksikan
kuping panjangku basah dan tertekuk.

Di jalanan becekmu  kerap kuinginkan diriku
lebih menggigil dari siapapun
yang  kautitipi sepasang kaus tangan.

Tapi tak juga ada yang  lekas menggetarkanku
Sebagaimana lonceng gereja, sebagaimana tenggorokan
Mengirimkan iblis ketika kau tertawa.
Bahkan jari-jari tukang sapu, lengan penjual gulali
dan  perempuan pincang yang menjatuhkan
berkali-kali remuk cahaya matanya.

Seolah neraka bisa kita baca dari sana.

Aku tak tertipu karena seperti yang pernah
Kepadaku  kaubentakkan,

Jalanan lurus
Kesiut angin
Serta orang-orang yang memilih
berjalan di sebelah kanan
akan menjadi perumpamaan buruk.

Tapi apa seorang penyair akan mencabut
Taring bacinku?

ke jendela yang bertahun-tahun kau ababi
sambil mengetam mata kau menuliskan
lagi satu-satu  nama saudaramu yang mati.

(Semarang 2015)