Yang Malas, yang [tak] Berkarya

Seorang penulis, yang terus menunggu waktu paling ideal untuk berkarya, niscaya sampai mati tak akan menorehkan satu kata pun di atas kertas.

-E. B. White-

Taman di Kotamu



Tapi kota dan jarimu sama-sama urung menumbuhkan aku.
Aku terus saja jadi kebencian yang terpendam di pangkal
sebuah taman.

Seorang lelaki tua duduk di atasnya dan ingin mengeluhkan
nyeri rematik, dingin bangku-bangku beton, serta
beberapa puisi buruk yang menyembah pohon-pohon.

Surat pendek (22 Maret 2015)

Saya juga tidak tahu nantinya akan bagaimana bu, tapi kata pacar, saya mesti minta doa ke orang tua, dan saya bilang kepadanya, tidak mungkin, kecuali kepadamu [dalam hati], doa saya kali ini sepertinya akan membuat murung mereka. Jadi saya diam, atau lebih tepatnya menahan diri untuk tidak memberatkan siapapun. Hmmm, apa? Bercanda deh kamu. Tapi memang iya sepertinya. Saya adalah martir bagi cita-cita saya.


-Peluk-

Buku. Cara Menalar.

teruslah membaca buku-buku, banyak sekali buku, namun ingatlah sebuah buku tetaplah cuma sekadar sebuah buku; perihal pemikiran, kau mesti tetap belajar menggali dari dirimu sendiri

[Maxim Gorky]

Recto-verso dalam Kehidupan Dona Flor (Jawapos, Minggu 1 Maret 2015)



Recto-verso dalam Kehidupan Dona Flor
Judul: Dona Flor dan Kedua Suaminya
Penulis: Jorge Amado
Penerjemah: Fahmy Yamani
Cetakan:  I, Desember 2014
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Jumlah halaman: 608+vii halaman
Judul Asli:  Dona Flor e Seus Dois Maridos
ISBN: 978-978-024-418-4



JIKA ada pepatah mengungkapkan; mustahil mengejar dua kelinci dalam waktu bersamaan, sebaiknya kita bersiap-siap untuk bermusuhan dengan pepatah tersebut begitu memasuki halaman pertama dari novel Dona Flor dan Kedua Suaminya (Serambi, 2014) milik Jorge Amado. Karena jika seluruh prasyaratnya memadai, maka dalam realitas fiksi semuanya jadi serba mungkin. Bukankah itu salah satu alasan kenapa fiksi ada?

Recto-verso dan Kontraseksualitas
Menggunakan teknik bercerita bersudut pandang Serba tahu, Amado adalah pemandu bertalenta yang akan menyeret  kita  memasuki kehidupan Floripedes Paiva Guimares, ahli gastronomi  Sekolah Masak  Seni dan Cita Rasa di kota Bahia—Brasil. Dona adalah sebutan masyarakat Brasil untuk perempuan yang sudah menikah. Diceritakan, Dona Flor harus menjanda dan menjalani masa berkabung penuh tekanan setelah 7 tahun pernikahannya dengan Valdinho—suami pertama Flor yang dikisahkan menjadi lelaki yang begitu bajingan, dengan kebiasaannya berjudi, mabuk, dan jadi Don Juan ugal-ugalan di tempat prostitusi. Valdinho adalah sisi bopeng dari kehidupan Flor. Namun, apakah Flor benar-benar, seperti yang disarankan oleh tetangga-tetangganya di Bahia—Dona Norma dan Dona Gisa, bahwa hidup Flor akan sempurna tanpa si brengsek Vadinho? Pertanyaan tersebut mendengung menjadi konflik kejiwaan yang menggema bagi Flor, bahkan ketika bagian lain recto-verso nya muncul lewat karakter dokter Teodoro yang ia nikahi  sebagai suami kedua setelah setahun menjanda. Teodoro adalah utopia masyarakat Brasil kala itu. Berpendikan—ekonomi mapan—status sosial tinggi—terhormat. Dari titik inilah justru pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu menjadi oposisi biner itu  terpampang. Tidak ada yang benar-benar utuh ternyata, bahkan ketika puncak konvensi kebahagiaan dari masyarakat telah kita duduki, ada kegetiran yang menganga di dalam. Amado kemudian meledakkan urat-urat kewarasan  kita, karena Vadinho kembali ke hadapan Dona Flor dalam skema supranatural, folklor, hantu Vadinho datang   menjalani “kehidupan kedua”-nya sebagai animus, representasi kontraseksualitas Flor,  yang siap menjadi rekan seranjang dokter Teodoro, serta  memuntahkan testimoni  dengan sikap percaya diri ketika Flor merasa terguncang.
“Kalau aku tidak datang, aku, suamimu, dengan semua hak, katakan kepadaku, Flor—bicara terus terang dan jangan tipu dirimu sendiri—apa yang akan terjadi? Aku datang untuk mencegahmu mencari kekasih gelap dan menyeret nama dan harga dirimu ke dalam lumpur.” (hlm. 584)