Dua Buku. Satu Saku.

Selalu aku masukkan dua buku sekaligus ke dalam sakuku; yang satu kubaca, satu lagi untuk aku tulisi--
[R.L Stevenson]

PAYUNG DAN HUJAN DI LUKISAN PERTAMAMU



dalam sebentar yang sebenarnya susah diukur
kedalamannya oleh seorang tukang ledeng
kami berdiam mengamati tanganmu yang
sedikit kram dan berhenti menggambar.

tak lagi menampik kata-kata saru keluar
dari orang-orang berleher patah yang kau
buat (yang menyangka akan terus mengucur
mukjizat di kepala mereka lewat sapuan catmu
yang putih mangkak serupa cangkang telur
ayam kampung),

SEEKOR BURUNG DAN SEBINGKAI JENDELA



niscaya ia akan seanteng gundukan terigu
tak mau menyerahkan nama keluarganya
kepadamu

sudah lama--sejak di depan jendelamu
langit januari terlihat terbakar--

ia rahasiakan paruhnya dari ancaman
seluruh timbangan milik mulut
waktu yang barbar.

MEMBAYAR YANG DIBERIKAN HIDUP (Jawa Pos, Minggu 1 Februari 2015)



MEMBAYAR YANG DIBERIKAN HIDUP
Judul:  Dear Life
Penulis: Alice Munro
Penerjemah: Tia Setiadi & Rini Nurul Badariah
Cetakan:  I, Oktober 2014
Penerbit: Bentang Pustaka
Jumlah halaman: 302 halaman
Judul Asli: Dear Life
ISBN: 978-602-291-025-1



Mungkin agak melelahkan bagi pembaca yang  tak terbiasa dengan cerpen-cerpen  yang panjang, apalagi  masyarakat  baca  cerita pendek Indonesia, yang sekian dekade teks-teks—nya  mau tidak mau  tunduk kepada konvensi “maksimum 9.000—15.000 karakter” dari media cetak baik koran, majalah, atau  tabloid. Ketabahan. Ya, hal pertama yang dibutuhkan pembaca sepertinya memang  ketabahan, sebab dalam Dear Life (Bentang, 2014) milik Alice Munro, cerita-cerita yang disajikan dua sampai tiga kali lebih panjang dari yang sering pembaca temui.


Zoom In   dalam Realisme ala Munro
Tempo cerita   dalam  Dear Life  bergerak pelan. Datar. Kaya akan detail.  Ciri yang menempel pada teks-teks realis. Tiap obyek yang muncul dalam cerita mengalami  Zoom In, kita akan bisa  mengingat hitungan berapa kilometer jarak  dari kota  A ke Kota B, jenis kayu yang digunakan membuat  sebuah almari di ruang keluarga, bau asam cat mobil yang mengelupas, atau motif dan warna seprai tempat tidur. Munro tak pernah meninggalkan  detail dalam setiap narasinya.  Proses pembesaran detail ini dialami setiap  benda, kejadian, waktu, bahkan sisi kejiwaan  karakter tokoh-tokohnya. Tengok saja dalam Corrie :

Gadis itu mengaku bukan perawan. Tapi, ternyata agak rumit sebab orang yang menyentuhnya kali pertama adalah guru pianonya, sewaktu Corrie berusia 15 tahun.  Dia memenuhi  keinginan si guru karena mengasihani orang-orang yang menginginkan sesuatu. (hlm155)

Dengan plot yang kuat Munro menyajikan kisah Corrie—perempuan  kaya  berkaki timpang sebelah yang menjalin hubungan asmara dengan seorang arsitek yang sudah berkeluarga. Hubungan yang bagi Corrie begitu penting, bahkan perselingkuhan tersebut harus ia bayar dengan rutin mengirimkan uang sogokan kepada bekas pelayannya yang berusaha memeras dengan cara mengancam akan  membocorkan skandal tersebut kepada istri si arsitek. Kita akan merasa teraduk-aduk dengan cara tokoh-tokoh dalam cerita ketika  membenturkan diri dengan kenyataan. Hidup memang berharga, dan kita mesti membayar untuk itu.