PUPA

Langit mendung  siang  ini  menambah  warna  pucat  milik  seekor  kupu kupu, namanya  Pupa, kupu-kupu  bersayap oranye  dengan  sedikit  bintik-bintik  merah metalik.  Seharian  ia  terbang, sampai ia  lupa  sudah  berapa  kali  taman dan  kebun   ia  kunjungi. Tapi  sepertinya, ia  belum  mendapatkan  apa  yang  ia  cari. Akhirnya,  ia  memutuskan  untuk  beristirahat  sebentar, hinggap di daun Pohon   Cabe merah kriting.  Angin  silir  musim  penghujan  bertiup  dan hampir- hampir  menghembuskan  badan  Pupa  yang  ringan  dan  mungil.  Pupa  lantas  berpegangan  erat  di  salah  satu  ranting  Pohon    itu. Tiba-tiba  Pohon    Cabe  berteriak :
“Awaaas,  pegangan  yang  erat  pada  lenganku  ya, jangan  sampai  kamu  terpelanting…”

Pupa  melongok ke bawah  ke arah  suara  tadi  keluar,

“Lho  memaaaang  ada  apaaaa, bundaaaaa  Cabeeeeeeeee  ?”

Tangan  dan  kaki Pupa  masih  memeluk  erat-erat  lengan  Cabe  merah keriting, sayapnya  seperti  mengerut  dan  memipih  terhantam  angin. Untung  saja  tidak  sobek.

“ Angin  memang  akhir-akhir  ini  agak  kencang,  maklum, musim  ini,  kerajaan  cuaca  sedang  ngadain  lomba  lari  estafet  buat  para  atlet  angin,  kemaren  saja  aku nyaris  tercabut   kalo  ngga  sekuat  tenaga  mencengkeram  tanah,”

Perlahan  angin  mulai  lembut , cuma  sesekali  masih  menyisakan tipasan, Pupa  menarik  napas  lega, mulai  berani  mengembangkan  sayapnya  lagi.

“Oh  iya,  kamu  habis  dari mana, kok  mainmu  sampai  jauh  kesini, jangan-jangan  kamu  kupu-kupu  tersesat  ya ?”

Bunda  cabe  keriting  bertanya.

TEMAN AJAIB ARIMBI



          Tas  besar bergambar  puteri Jasmin berwarna  pink  itu  bergoyang, sebentar-bentar  ke kiri, sebentar-bentar  bergoyang  ke kanan. Tas  yang  terlihat  begitu  berat, sampai  punggung  pemiliknya terbungkuk-bungkuk mencangklongnya saat berlari  memasuki gerbang  sekolah. Lumbi  megap-megap  berada  di dalam  tas , berebut  tempat  dengan buku-buku pelajaran, tempat pensil, kertas karton hasta karya,botol minum, dan kotak  bekal  makan siang. Lumbi, adalah sebuah, sssstttt, bukan sebuah, tapi seekor  (boneka) Lumba-lumba, pemiliknya, gadis kecil bernama Arimbi, selalu menganggap Lumbi seekor ikan yang  hidup, Arimbi akan  marah besar  kalau  teman sebayanya  menyebut Lumbi  adalah boneka. Menurutnya, Lumbi datang  dari gelanggang samudra  Ancol, Ayah  sengaja  membawanya  pulang ke rumah  sebagai  hadiah  ulang tahunnya  yang  kedua, dahulu. Kemudian   seluruh  anggota  keluarga  sepakat,  memberi  nama  lumba-lumba itu  Lumbi, alias  Lumba-lumba biru.   Tentu saja, karena boneka, eh, ikan Lumba-lumba itu berwarna  biru. Dan  bagi  Arimbi, Lumbi  adalah  seekor  ikan  yang  menjadi  teman  paling  menyenangkan. Kemana-mana  mereka  berdua, dulu kalau Arimbi makan disuapi  Ibu, maka  Arimbi  akan  merengek,  agar Ibu, juga  menyediakan  piring plastik kecil satu lagi, dengan  sayur  dan  lauk yang harus  sama persis dengan  yang  ada di piringnya, katanya, Lumbi juga  pasti lapar, sedari tadi belum  makan. Dan Ibu akan  menuruti  permintaan  putri  kecilnya  ini, karena kalau  tidak, jangan  harap  Arimbi akan  menyentuh  nasi sesuappun, ia akan  memilih  mogok makan  demi teman  ajaibnya  itu.  Sejak   “kedatangan” si Lumbi,  Arimbi  selalu  tidur  dengannya, ia  akan  menjerit-jerit dan menangis jika  ada yang berani  mengambil Lumbi dari dekapannya   ketika  ia  terbangun  karena  haus, dan  ingin  minum susu. Ia  juga akan memaksa Ayah  ikut  menyertakan  Lumbi, memasukkanya   di koper besar  ketika  mereka sekeluarga  pergi  keluar kota  menjenguk  nenek. Pokoknya,  akan  terlihat  Lumbi  dimanapun  Arimbi berada, bahkan  saat  mandipun, Lumbi  akan  ikut dimasukkan  kedalam  ember kotak besar, tangan  Arimbi  akan membuat ombak-ombak buatan, menggoyang-goyangkan  ember, menuangkan  sabun, hingga  seluruh  permukaan  air berbuih,  dan  kalau ditanya  ia segera  akan  menjawab;  lihat, betapa  senang Lumbi berenang !.

SEPERTI MERINGKUK



aku  penjarakan  pikiran-pikiran  burukku 
di sana waktu  menghukumnya   dengan  
muntahan sperma  milik  seorang laki-laki  
yang  membasahi  akar  rambut  kau  dengan  mimpi

akhirnya seperti  bayi-bayi  rusak  tak  sempat kau  beri nama  
aku   meringkuk   sehabis  aku  kecupi dinding  rahim  kau  
yang  merah dan  menaruh  seluruh   kata-kata  aku 

kata-kata  aku  lemah. tak bisa  menampik  seandainya  
kau  ubah  aku   jadi  sebulir  benih: rencana   bagi 
pohon masa depan  kau  yang  kulitnya  jadi  begitu mendidih  
ketika  dilabur   dengan  sekaleng cat  putih.

BERJALAN MENYUSURI BANTARAN



Dari nyala matamu ke sempit masa lalunya perumpamaan-perumpamaan itu datang serupa semut jantan berjuang melipir demi mengawini satu-satunya impian kekasih yang ciumannya mampu meruncingkan kematian. aku buat diriku lagi dari  rumput-rumput  basah ini, ketika dari langit sore selasa dongeng-dongeng tak bisa dibendung  ingin mengubur bangkai pipi si pendendam

Dilayat rencana-rencana rusak juga plastik-plastik juga patahan pintu juga celana dalam bekas mengambang di air, sempat ingin aku ungsikan sisa perasaannya yang menjangkar gerahammu. ada yang berdenyut tiap kali aku dekatkan kupingku seolah arwah semua nenek-kakekku (baik dari silsilah ayah maupun silsilah ibu) bangkit memutarkan lagi lagu-lagu lawas  juga  nasehat mereka

CAT KAMAR ANAKMU


kali-kali kecil kakinya berjalan sambil menimang aku yang merasa masih butuh peta dan bergenggam-genggam telunjuk demi menemukan dimana katup jantungmu berteluk.  segala  kran  yang  disusui  warna  biru  sungguh  kami  bayangkan  bisa  mengalungi  lehermu.