Bahasa yang Tak Bersih dari Ambisi



 Judul: Penangkar Bekisar
Penulis: Kiki Sulistyo
Cetakan:  I,  April 2015
Penerbit: Penerbit Nuansa Cendekia
Jumlah halaman: 79 halaman
ISBN: 978-602-350-009-3

Suatu ketika, dalam diskusi yang digagas komunitas sastra  Lacikata,  ketika ditanya  tentang bagaimana laku puisi selama ini dijalaninya sebagai seorang penyair, Kiki Sulistyo memberikan penjelasan, bahwa menulis puisi tak lain upaya bagaimana mengeruk imaji-imaji yang riuh dari masa kanak. Konon cuma puisilah yang menyelamatkan dirinya dari tuduhan apriori ‘kegilaan’. Dengan puisi, Kiki memerdekakan diri  untuk meneruskan tabiat-tabiat yang menurut pandangan masyarakat ganjil adanya. Di dalam puisi, ia  bisa menukar diri  jadi pendekar. Mencaci maki musuh imajiner sambil menyabet-nyabetkan pedang. Merasa mampu mengubah  tiap benda yang disentuh jadi bekicot. Upaya-upaya mempertahankan kebebasan ini akan menceburkan kita ke arah kubangan yang pernah dibuat Sartre, di mana manusia dihantui oleh keinginan untuk terus menidak dihantam bertubi-tubi realitas dan dunia menanggung  sosok diri  yang liyan. Bagi Tuan penyair kita Kiki, dalam  bagan seperti inilah puisi berfungsi menjadi tameng pertahanan diri.

Ada 55 judul puisi dalam Penangkar Bekisar,  yang terbentang  seperti karpet  dan kita sebagai pembaca bisa ikut berjalan, mengeluh, menelisik, menaja, atau merasa kadang di beberapa baitnya mesti menghela napas dan berhenti sebentar lantaran merasa ada bagian  yang menyerupai patahan jalan milik kita yang lupa pernah  kita taruh dan kita seolah kembali diingatkan dengan kehadiran bait-bait puisi tersebut. Redefinisi-redefinisi  puitik atas realitas mimetis yang terjadi pada beberapa puisi Kiki menarik pembaca untuk sebentar merebut dan meyakini bahwa puisi yang ditulis tak cuma menjadi struktur teks yang  eksklusif bagi penyair. Mereka  tiba-tiba saja bisa menjadi milik kita. Judul-judul seperti Si Tinggi Lidah, Tikungan, Mulut Gang, Peracik Suara,  Tamsil Air mata, Menjadi Pohon, atau kita bisa melongok sebentar penggal bait  dalam puisi Pemancing ini:

Man Kakus


 
Tiap  orang boleh saja  memiliki tokoh yang  dikagumi sepanjang hayat. Jika seseorang menyukai sepakbola, sah-sah saja  jika mengagumi  Gabriel Omar Batistuta, atau jika ia memilih menyukai golf maka tak heran jika ia  memuja-muja Tiger Wood. Atau jika kau menyukai badminton, di kamarmu kau tentunya akan menempelkan poster Susi Susanti atau Liem Swie King dalam gerakan nyentrik, sedang melakukan smash maut mereka.  Sebagai catatan tambahan, kau akan siap berperang  sampai berdarah-darah dengan siapa saja  yang berani menurunkan gambar mereka  dari dinding, bahkan seandainya yang mencopot  bapakmu sendiri atau seorang menteri  urusan pemuda dan olahraga.
Biasanya seseorang mengelu-elukan  orang lain   atas kesamaan  bidang yang mereka kerjakan.  Atau apa yang mereka sukai. Jarang sekali, kita temukan seseorang mendaku keranjingan sepakbola lantas mengidolakan atlet dayung, misalnya.
Heranku dan sayangnya, kepadaku sampai sekarang tidak ada yang bertanya, siapakah  gerangan sosok yang paling aku kagumi di semesta raya ini. Padahal jika ada, maka aku akan segera melompat dan berdiri tegak dan mengangkat lenganku dan meluruskan telunjukku ke arah punggung lelaki yang permukaannya berwarna mangkak  sekaligus licin seperti ikan lele di seberang tempat aku duduk. Ia   masih bergerak gesit sembari tetap menjaga keajekan ayunan ketika  menjungkat-jungkitkan  gagang pompa air. Naik turun, naik turun. Gerakan semacam itu cuma bisa disamai ketepatan mekanisnya oleh jeroan mesin motor.
Angin, yang membawa ruapan khas bau kali, memukul-mukul ranting dan beberapa helai daun belimbing wuluh  kering yang menaungi kepala  lelaki  itu. Akhirnya  daun-daun  terpaksa merelakan diri mereka  jatuh ke rambutnya yang jadi terlihat seperti sarang bagi  kelemumur-kelemumur raksasa.
Umurnya tiga kali umurku, jika aku tak meleset membuat perhitungan.  Ia tinggi kurus. Berambut panjang namun digelung dengan karet gelang, atau kadang-kadang rafia. Orang tak mungkin tertukar penglihatan dengan lelaki lain, lantaran, sehari-hari, cuma ia yang selama dua puluh empat jam tak pernah mengijinkan kain dalam bentuk apapun menutupi bagian atas tubuhnya. Percayalah, cuma di hari raya Idul Fitri ia mengenakan baju koko untuk salat Ied di  Simpanglima atau ia akan mengenakan kaus berkerah hadiah dari  Toko Emas  ketika terpaksa menghadiri undangan tahlilan di kampung sebelah. Selebihnya, orang-orang yang antre berak di delapan bilik jambannya akan menyaksikan tulang-tulang rusuknya yang menonjol berkeras ingin melesak keluar, beberapa tonjolan kutil  yang menyebar di punggung  dan di bawah ketiak, serta, ini yang agak penting—bekas  tato di dada kanannya, yang konon, adalah tato naga dan sudah bertahun-tahun disetrika, dan bekas setrikaan itu membuat tonjolan yang, jika dibaca dari jarak sejauh kurang lebih  tiga kaki, terlihat seperti  huruf K.
 Lantaran orang-orang yang hidup di sepanjang bantaran kali ini memanggilnya dengan sebutan Man Kakus, aku juga memanggilnya demikian. Sebenarnya aku ingin memanggilnya dengan sebutan lebih terhormat namun tak pernah bisa mewujudkannya, meskipun aku sempat mengira-ngira siapakah sesungguhnya nama lengkapnya. Parman, Leman, Zaman, atau Syuman atau siapapun agar paling tidak aku bisa meninggikan derajatnya. Bertahun-tahun aku berangkat tidur sambil terus menambah kumpulan  nama yang berakhiran ’-man’.  Namun sialnya, bahkan hingga  tujuh tahun berlalu sejak  aku lulus dari sekolah kejuruan, dan sepuluh tahun sejak aku memutuskan  menumpuk poster Valentino Rossi dan menutupinya dengan foto Man Kakus yang sengaja aku cetak dalam ukuran besar A3 (sementara poster Rossi cuma ukuran A4— hadiah akhir tahun dari tabloid otomotif)  di dinding papan tempat aku biasa tidur, aku seperti mendapati perjalanan melingkar untuk menguntit nama dan  asal-usulnya.
“Entahlah, siapa aslinya nama dia itu.” Begitu kata Ah Ciu, Cina Tua penjual es batu yang  membuka lapak kecilnya di dekat jembatan Plampitan. Jawaban dari lelaki  bermata sipit renta yang aku perkirakan sepuluh sampai dua puluh tahun lebih tua dari Man Kakus itu seolah mewakili jawaban dari banyak orang yang aku tanyai. Cuma, aku sedikit lega, darinyalah aku mendapatkan gambaran lebih  tentang diri Man Kakus.
“Kapan ya, tahun 80, atau 81, atau sekitar itulah, seorang pemuda sepantaranmu, ujug-ujug datang ke sini. Aku kurang paham apakah  dia tuh berasal dari Nganjuk, atau Banjarnegara, atau Wonosari, yang pasti logat bicaranya bukan logat  orang-orang sini deh.  Awalnya ya, aku pikir  pemuda itu sinting, berkeras  menyeru kepada para tukang becak dan sopir daihatsu, juga pedagang asongan, agar janganlah lagi berak di kali.  Ah, sinting pokoknya kupikirlah itu pemuda pertama kali  liat dia.”  
Dari cerita Ah Ciu, aku tahu, satu bulan setelah kedatangannya di kota ini, Man Kakus menanam empat  bilah papan ke bumi, memacak sebuah atap dari ijuk di atasnya, ia mencoak tanah, serta menggali saluran sepanjang lima belas kaki dari lubang jamban pertama ciptaannya itu ke arah kali Wotgandul. Aku pernah membaca di beberapa buku ensklopedia, dan dari sanalah akhirnya menyimpulkan: orang-orang seperti Copernicus, Enstein atau Edison memang harus menjalani laku untuk dicap sebagai ‘orang-orang sesat dan lemah pikir’ terlebih dahulu sebelum buah pemikiran mereka diakui sebagai gagasan cemerlang yang mampu menerangi jagat.  Dan begitulah awalnya nasib Man Kakus.

KREDO- RUANG PERTARUNGAN BAHASA (Jawa Pos, 24 Juli 2016)



Judul:  Pinara Pitu
Penulis: Mira MM Astra
Cetakan: I,  Mei 2016
Penerbit: Gambang Buku Budaya
Jumlah halaman: 104 halaman
ISBN: 978-602-6776-23-5

                Bolehlah kita sementara menahan peribahasa lama: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, untuk menggambarkan lebih banyak jerih yang mesti ditanggung seorang pembaca ketika  berhadapan, mencebur, tenggelam, sekuat tenaga  tetap mengapung sampai garis pinggir, lantas  mentas dari teks-teks puisi Pinara Pitu (Gambang Budaya, 2016). Sebanyak 33 judul puisi termaktub di dalamnya. Buku puisi tersebut  dianggit  Mira MM Astra, nama pena dari  Mira Novianti—penyair  kelahiran  Denpasar, yang sempat bertahun-tahun melanglang ke berbagai daerah di Indonesia dan bahkan sempat mukim di  Cekoslovakia demi menyelesaikan proses belajarnya. Bertahun-tahun  tangan tualang  menyeret Mira keluar dari kampung kelahiran. Bertahun-tahun tempat-tempat ‘asing’  mengajarinya banyak hal. Bertahun-tahun banyak hal tersebut  pada akhirnya harus  ia akui  mengajarinya satu hal; bahwa hidup harus ditulis. Dan Mira memutuskan laku spiritual-literernya  dengan  menganggit puisi. Puisi bagi Mira tiada lain adalah  kitab hidup.
                Lewat kata pengantarnya, belum-belum penyair kita, dengan bayang  gerak  tangan mengepal  ke atas  sudah mewanti-wanti para pemirsa, sekaligus  dirinya sendiri: “Puisi itu harus bunyi! Puisi harus dari dalam diri! Harus mampu meyakinkan.” Ya. Jika para penyair selalu bisa membuat kredonya sendiri, para pemirsa sebaiknya jadi penguji setegak dan sekokoh  apa kredo itu mampu muncul dalam teks-teks puisinya. Agar kredo tak sekadar omong kosong belaka.
                Ada yang menarik dari kecenderungan beberapa penyair beberapa tahun terakhir ini, yakni kepercayaan diri mereka dalam  mengolah puisi menggunakan  bahasa dari  perkakas parole. Mereka menggunakan  ujaran lisan serta  bahasa ibu mereka  untuk menyusun bait  demi  bait. Pun Mira.  Simaklah: Majene, Majene/ di paras sasiq-mu/siapa bisa menduga bijak cuaca/ angin tanjung berliku menentang rahasia/ tempaan terik bulan dan derai hujan (Majene, hal:58)
                Bagi pemirsa pengguna bahasa Indonesia sebagai lingua franca, bait tersebut tentunya tak akan habis sekali kunyah. Bait  alot  yang memaksa geraham kita dengan segala kehati-hatian atau pun sikap jengkel  akan mengeram-eram dugaan, apa itu Majene, apa itu sasiq.  Belum lagi ketika kata-kata ‘asing’ tersebut sudah lebur juga  dalam susunan-susunan metafora  antropomorfik yang dimiliki puisi. Meskipun dalam sikap cengengesan dan keisengan menduga, kita tak bisa begitu saja seenaknya  mengubah kata Majene dengan kata Batagor, atau dengan kata Mengamuk atau Kotoran Hidung. Sementara kata sasiq kita artikan sebagai  Lapar, atau Bola Pingpong atau Sumbu Kompor.  Kredo penyair yang mengharuskan puisi harus dari dalam diri berhadapan dengan hasrat pembaca yang sepenuhnya ingin memiliki sesuatu yang asing pada akhirnya menciptakan ruang pertarungan bagi bahasa.

LANGKAH MUNDUR SEEKOR GAJAH



Kali ini memang ia lulut, tak hendak berkata banyak

Bagaimana subuh tadi keberaniannya dikhianati
hingga rusaklah  semak  terinjak ia yang  terburu-buru
berlarian di setapak pinggiran kali

-- perang sudah purna,

Ekornya melengkung dan jantungnya jadi sunyi
Ketika diulang desis itu lewat lidah si  telik sandi

Semburat cahaya begitu tajam  bagi
Sepasang mata sempitnya
Memang sempat menyanjung retakan tipis
Di gadingnya yang melengkung

“Ke langit, ke langit, kerabatku,penghamba kekuatan,
aduhai yang putih memplak milikmu akan naik
menjadi bintang-bintang”

Ka dan Puisi dan Puisi



Judul:  Salju
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M Nugrahani
Cetakan:  Agustus, 2015
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Jumlah halaman: 665 halaman
Judul Asli: Snow/ Kar (B. Turki)
ISBN: 978-602-290-043-6

Kiranya Orhan Pamuk  memang tidak pernah kering dalam menghasilkan prosa  cemerlang. Bisa kita lihat, sejak novel pertamanya, Tuan Chevdet dan Anak Lelakinya  terbit pada tahun 1982, tangan Pamuk seolah menjelma pancuran tinta yang deras  dalam mengucurkan produk bacaan yang membuat kemerungsung  pembacanya. Novel keduanya, Rumah Kesunyian terbit dua tahun berselang. Kemudian menyusul dengan berjeda tahun; Kastil Putih (1985), Buku Hitam (1990), Kehidupan Baru (1995), Namaku Merah (2000), Salju (2002), dan Museum Kepolosan  yang terbit pada tahun 2008, atau dua tahun setelah Pamuk menerima Nobel Sastra.  Pembaca novel berbahasa Indonesia, meski sebenarnya agak menyedihkan, sebab kadangkala  terlambat membaca sebuah novel dengan rentang  nyaris  lima sampai  sepuluh tahun dari terbitnya novel  dalam edisi bahasa Inggrisnya, sudah sepatutnyalah  berlega hati,  sebab  beberapa novel Pamuk sudah bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia. Dan sekarang,  telah tiba waktu bagi kita untuk  melongok novel ketujuh Pamuk ini, Salju, yang diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta (2015).
Lewat sang narator—Orhan Pamuk, teman dari tokoh yang ia kisahkan, akan kita kuntit tokoh utama  kita, Kerim AlakuÅŸoÄŸlu, yang lebih menyukai jika orang-orang memanggilnya dengan sebutan; Ka. Di halaman pertama, narator membuka kisahnya dengan paragraf yang terasa begitu dingin dan hening.
“Keheningan salju, pikir pria yang duduk di belakang sopir bus. Jika keadaan ini adalah awal sebuah puisi, dia akan menyebut perasaannya ‘keheningan salju.” (hlm 1)
Ka seorang penyair berusia 42 tahun.  Seorang penyair sekaligus seorang  wartawan yang  masa dua belas tahun suramnya ia habiskan di Jerman sebagai  buangan politik. Ka kembali ke  kota Kars, kota di mana ibunya pernah lahir dan dimakamkan. Di Kota yang terisolir dari dunia luar  inilah, di antara hujan salju yang terus menerus melabur tanah  dengan  hawa dingin serta ketebalan warna putih, satu demi satu peristiwa dikopek di hadapan  pembaca layaknya suguhan demo  kerunutan mengupas  bawang merah  oleh pakar  pembuat acar.  Peristiwa demi peristiwa saling belit-membelit.  Tragedi bunuh diri massal gadis berjilbab cuma awal, sebab ketegangan terus saja berlanjut dari bab ke bab. Penembakan kepala sekolah yang mengusung aturan sekuler dari pemerintah, ancaman-ancaman dan teror mematikan dari kubu agama, penembakan murid-murid madrasah aliyah, gerakan sparatis  guna menggulingkan negara sampai pada perbalahan bagaimana cara mempersepsikan Barat dan Timur, Sekuler dan Islam.  

SEDIKIT BICARA KEMATIAN, BUKU-BUKU, KESUNTUKAN, SELEBIHNYA KABAR KELUARGA YANG HIDUP



Apa kabarmu, bu.
Baik—

Ya sudahlah, anggap saja kita memang diberkahi mesin penanya—penjawab kabar otomatis. Tapi memang perlu kok, bahkan kurasa kita memang butuh merepetisi tanya jawab yang sebenarnya, jika dipikir-pikir, tidak ada istimewanya itu.  Aku  sendiri terus terang jengkel, tiap kali ada sms dari pacar:  kamu baik-baik saja kan, sayang? Pikirku sih, lantas, jika seseorang tidak  sedang baik-baik saja, seseorang lain bisa apa? Kurasa, pacarku sudah kebas dengan kejengkelanku, aku bayangkan ia meletakkan ponsel dengan gerakan santai, sehabis ia pencet-pencet mengirimkan pesan sembari garuk-garuk hidung, dan melepehkan desahan: alah pasti sehabis ini bakal balas dengan  sepenggal bait dari penyair Anwar itu to;  nasib ialah kesunyian masing-masing--

Aduh, aku kian pesimis saja ya. Tapi ya itu tadi, sudah kubilang, tanya-jawab kolosal tersebut tetap kita butuhkan kok. Agar kita tetap disebut manusia, ya kan.
Lama sekali tidak menyuratimu (baca: menulis surat buatmu) ya.  Beberapa hari  sebelum kamu ulang tahun, aku pulang ke rumah lantaran dapat kabar, bahwa Risun, kemenakanmu, meninggal dunia. Dia  kecelakaan dan sempat koma beberapa hari.  Aku pulang  boncengan sama Ayah  (dia sepanjang perjalanan tidur melulu). Sampai rumah, langsung siap-siap ikut acara pemakaman.  Orang-orang sedusun  berkabung. Sedih. Aku lihat  kesedihan itu dari wajah mereka yang  layu. Aku sendiri sedih, bukan lantaran kematian Risun kupikir, tapi justru  kenapa tak bisa kutemukan bentuk kesedihan di diriku. Kesedihan yang sama-sama dimiliki orang-orang dan dulu juga pernah kumiliki. Aku cari-cari kemungkinannya, mampat. Kali ini, kamu boleh mengejekku, tapi  jawablah, kesedihan sebenarnya terbuat dari apa?

Aku juga tidak tahu, kenapa, beberapa bulan lalu, ketika kakak perempuanmu—budheku, meninggal dunia, sama sekali aku juga tak bisa bersedih.

Ketika dalam perjalanan balik ke Semarang, di atas motor yang melaju dalam  gerakan zigzag lantaran Ayah masih saja ngantukan dan motor  berkali-kali oleng ke kiri dan ke kanan, aku terus dibayangi tentang  kematian, kehilangan,  yang sekarang sudah tak lagi mempan dalam menggerowongi kepekaan manusiawiku.

Buku-bukuku kian banyak, bu.  Sungguh di luar perkiraan, aku bisa punya buku sampai dua rak, ditambah lagi berkardus-kardus, bermeja-meja, berkontainer-kontainer.  Haha, dulu, aku cuma punya novelnya Freddy S, melencengnya ya Abdullah Harahap, warisanmu kan?—picisan. Kubaca buku-buku tersebut berkali-kali sampai halamannya lecek dan sampul belakangnya sobek dan aku selotip dan sobek lagi dan aku lem dan sobek lagi dan kuselotip lagi. Aku ingat Kamu baru  ijinkan aku membaca novel  itu selang setahun  selepas itu-ku disunat, Bacaan Terlarang, alohamorahola!  Lantaran katamu, di beberapa bagian ada adegan syurnya.  Sial, padahal cuma cipok-cipokan sebentar, mengelus rambut dengan mesra, adegan vulgarnya juga—aku masih ingat betul:  si perempuan melepas longdress  dan  perlahan menyusul si Bram ke bath up hotel di kawasan puncak. Mereka tenggelam dalam gelembung busa kasih sayang. Alah, kampret,  sundal benar.

Kesaksian Kesekian



Dosa  telah memangsa  jarak  kami kepadamu

Kau berpunggung—urung berfirman,
Sehabis menatahkan  pahit di dasar cawan.

Kami yang  lihai mendebat, nekat bertaruh
akan  mengiris daun telinga  jika  ada  
nubuat dari  utusanmu  mengapung di telaga.

MAJIKAN TERHORMAT


Berpupur kilau purnama

kau dekatkan  dirimu

Ke tepi terlapukku



: liang yang justru kau anggap majikan terhormatmu


Keliru jika setelah ini kau berharap

bakal menemukan puncak

yang pernah berjanji  akan

mengangkat pendakianmu

mengganti kepedihanmu

memamerkan  sisa beliungmu



Ciumanku memang  akan sebentar membuatmu  bergetar,

Dua detik di pelupuk mata, tiga detik di cuping telinga

 Yang sungguh  takkan bisa menyelamatkanmu

dari juluran seluruh  tangan liat orang-orang  beriman



“Mari belia, sorga keburu menutup pintunya.”



Gayam, 2016