SIAPA DI SANA, HALO??

kau tahu, kadang di suatu malam
aku terus- terusan memencet dan mencoba
menghubungi deret angka ini:
0857-2747-2442

setelah tersambung
yang terdengar cuma sengau bibirku
yang berkali-kali melubangi renta telingaku

halo [?]
halo [?]
halo [?]
tut.
tut.
tut.

begitulah salah satu caraku mengobati kerinduan
kepada engkau yang kadang mustahil aku jangkau

-aku menelepon diriku sendiri-

dan jawaban  operator dari ujung sana
selalu menatahkan perih yang sama;

nomor yang sedang anda tuju sedang
sibuk luar biasa.

sibuk menyibakkan riuh kesepian semata.


halo [?]
halo [?]
halo [?]
tut.
tut.
tut.

mmmm bisa bicara dengan...
diri sendiri ?

SELAMAT DATANG DI MOUSELAND!

Esai untuk Launching buku Antologi puisi 10 KELOK DI MOUSELAND
oleh: Janoary M Wibowo


Jalanan di sini gelap dan penuh kelokan. Seperti hidup, bukan? Jika terpeleset di tikungan, pahamilah setiap luka adalah tanda kau pernah berkunjung ke Mouseland.

“You know, Michael. The worst thing in this world is to know too much. You’d better try to stay naïve. It’s much better.” kata Eli Wurman—diperankan oleh Al Pacino—dalam film People I Know. “Dunia ini relatif. Yang salah di tempat ini bisa jadi sahih di tempat lain.” perkataan Tristan kepada Bodhi dalam Supernova karya Dewi Lestari. “Let’s keep it undergound. Nobody out there would understand it anyway.” sebaris lirik dari lagu hip hop yang dinyanyikan oleh Grandmaster Flash—rapper asal Bronx. Saya lupa judul lagu itu.

Mengapa saya menuliskan judul lalu kutipan-kutipan yang mungkin—sampai pada kalimat ini—tak nampak berhubungan antara yang satu dengan yang lain? Sederhana, itu alasan politis. Ya. Politik. Usaha saya untuk didengarkan—dalam kesempatan ini dibaca oleh dunia yang telah terlalu terlena pada nama. Ada nama Al Pacino, ada nama Dewi Lestari, ada nama Grandmaster Flash—entah siapa dia saya juga tidak begitu mengenal. Begitulah proses politik. Memilih apa-atau-siapa yang didengarkan dan kemudian digunakan sebagai rujukan. Apakah tarikan logika saya tentang politik berbeda dengan pemahaman khalayak umum? Tak apa. Anggap saja itu politik diri saya. Pancasila-nya NKRJ, Negara Kesatuan Republik Janoary, yang gelap.

Politik itu keterlanjuran sejarah. Sejarah saya sendiri. Saya terlanjur menonton People I Know sebelum menulis ini. Saya terlanjur membuka-buka halaman Supernova sambil menikmati lagu hip-hop Grandmaster Flash sebelum menulis ini. Saya juga terlanjur membaca The Politics of Literature-nya Jaqcues Ranciere sebelum membaca Sepuluh Kelok di Mouseland. Lalu kemudian, saya mencoba menghubung-hubungkan keduanya—dengan kata lain putus asa menarik keduanya pada satu garis. Antara Politik dalam Sastra dan Sepuluh Kelok di Mouseland berhubungan, paling tidak itu yang saya tangkap.

Apabila yang saya tangkap tak jelas dan gelap bagi pembaca. Itu resiko bagi saya. Namun, beruntung saya—atau kasihan saya—bisa menggunakan nama Ranciere untuk berlindung. Merujuk pada Ranciere, politik pada umumnya adalah cara-cara manusia yang dipikirkan lalu digunakan untuk mewujudkan—atau tidak mewujudkan—suatu hal apapun untuk mendapatkan—atau tidak mendapatkan—apapun. Politik adalah cara-cara agar individu dapat didengarkan sebagai pernyataan, bukan hanya didengar sebagai keramaian. Sedangkan, politik dalam sastra—lebih tepatnya adalah politik dalam seni menulis—adalah cara-cara menyelaraskan cara pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku manusia dengan keadaan sekitarnya pada sebuah objek berupa tulisan. Politik dalam sastra selanjutnya akan saya tuliskan dengan politik diri penulis—murni kenekatan saya dalam membuat istilah tanpa merujuk pada satu namapun.

Politik diri dalam Sepuluh Kelok di Mouseland
Politik diri terasa kental Sepuluh Kelok di Mouseland. Ada Husni Hamisi, Arif F Kurniawan, Aras Sandi. Ada Dalasari Pera, Arganita Widyawati. Ada Arther Panther Olii. Ada Kang Arief, ada Mbak Lina Kelana. Ada Reski Kuantan, juga Noegi Arur. Ada sepuluh penyair. Ada sepuluh cara-cara menulis puisi. Ada sepuluh sejarah-sejarah yang menyusun mengapa penyair ini menulis puisi seperti itu, penyair itu menulis puisi seperti ini. Jauh sebelum buku ini terbit, saya berani beranggapan mereka telah berpolitik dengan memutuskan diri untuk menulis puisi. Memutuskan diri untuk membuat akun facebook. Memutuskan diri juga untuk memberikan atau menerima permintaan pertemanan di facebook. Juga, memutuskan untuk saling bertemu kata bertemu sapa—entah bertemu muka, lalu bersepakat untuk mengumpulkan puisi menjadi sebuah antologi. Bagaimana proses politis yang sebenarnya ada dalam diri masing-masing penyair.

Ya, keberagaman politik diri yang berkumpul dalam satu buku, satu wilayah. Mouseland. Entah dimana di peta letak wilayah itu, mungkin ada dalam tiap-tiap kepala masing-masing penyairnya—bahkan pada tiap-tiap kepala pembacanya. Ya, Mouseland adalah wilayah fiksi, dengan sepuluh politik diri menjadi kelokan-kelokannya. Puisi adalah fiksi—menuliskan apa yang pernah dituliskan Sartre, sebab fiksi adalah mengimitasi kehidupan. Bukan lagi merekonstruksi kejadian di depan mata, tetapi mereproduksi yang diketahui di hadapan kata. Aras Sandi dalam Negeri Bumi menuliskan,

sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan
kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan
diarak arai, disorak sorai
padahal;
hanya untuk sebuah negeri

Sekilas saya menangkap gambaran sebuah Negeri bernama Indonesia di sajak itu. Namun, Aras seperti memutuskan diri untuk mengimitasi apa yang terjadi pada Negeri Indonesia ke Negeri Bumi di wilayah Mouseland. Politik diri Aras berselaras dengan politik di sekitarnya, masyarakat Indonesia.

Arif F Kurniawan pun begitu. Pinokio yang dia ambil dari cerita yang sudah banyak orang ketahui, hidung Pinokio bertambah panjang setiap kali dia berbohong. Namun, Arif menciptakan Pinokio-nya sendiri.

ia  ingin  berhenti  menanggung  malu  menerima  ejekan, 
kata  orang-orang, tanduk hidungnya 
selalu  tumbuh  lebih  panjang  dari  kebohongan.

Lalu pada 2 bait berikutnya, Arif semakin kentara memperlihatkan bahwa Pinokio-nya berbeda.

ia tampak  semakin bodoh,kini. 
seorang  diri di sesungging  tepian,
menggergaji  batang  hidung  sendiri

Arif dengan Pinokio-nya menampilkan jalinan antara politik diri dengan politik. Sebuah hubungan yang harus selalu ada, walau kali ini hubungan itu adalah pertentangan.

Berbeda dengan penyair Arther Panther Olii, di puisinya Senja di Tepi Sungai Bone. Dia menuliskan keterangan—semacam footnote untuk puisi—di bawah puisinya tersebut. Sungai Bone ada di Gorontalo. Dan Gorontalo ada di Indonesia. Indonesia itu bukan Mouseland. Jadi, sebuah senja di tepi Sungai Bone bukan fiksi. Nyata. Namun, melihat bagaimana Arther menuliskan bait terakhir dalam puisinya tersebut, nampak ada unsur imajineri—bolehlah serampangan dihubung-hubungkan dengan fiksi.

di tepi sungai bone, senja telah tenggelam
dan kenangan tentang kita : tersisa kelam

Bisa jadi saya—dengan politik diri dan sejarah saya sendiri—tidak akan merasa kelam ketika berada di tepi Sungai Bone ketika senja. Namun, saya bukan pemilik wilayah Mouseland. Arther-lah yang memiliki wilayah Mouseland.
Menuliskan tiga gejala dari tiga penyair memang tidak bisa sepenuh-penuhnya mewakili sepuluh. Namun, alasan politis saya bukan bahwa ketujuh yang lain tak menampilkan politik dirinya, melainkan lebih kepada alasan teknis. Terlalu panjang untuk ditulisbacakan semua—baik bagi saya dan pembaca tulisan saya yang gelap ini.

Bagaimanapun tulisan itu, kegelapan akan tetap menyertainya. Sebab, pada dasarnya, tulisan lahir untuk tulisan itu sendiri. Merujuk pada yang dikatakan Grandmaster Flash, keep it underground. Juga, sekali lagi pada Sartre, tulisan adalah objek yang terlahir tanpa makna apapun dan tidak mempunyai peran apapun. Penulis dan pembaca yang memasukkan makna dan perannya pada apapun—sesuai politik diri masing-masing penulis juga masing-masing pembaca.


Disneyland adalah wilayah Walt Disney berpolitik diri. Di sana dia menciptakan wahana-wahana. Di sana dia menciptakan nama-nama. Ada Donald Duck, ada Daisy Duck. Ada Pluto, ada Minnie Mouse, Ada Mickey Mouse. Mouseland adalah wilayah kesepuluh penyair berpolitik diri. Di sana mereka menuliskan puisi. Di sana mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Proses menulis dan menerbitkan antologi adalah tanda bahwa sebuah sejarah diri—dari kesepuluh penyair—sedang dibangun. Sedang, ya, sedang. Sebab, politik diri adalah proses. Proses menyelaraskan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia dengan apa yang akan dilakukannya di dunia sekitarnya. Politik diri akan terus bergerak—berubah—seiring dengan berubahnya sejarah diri—apa-apa yang dialami. Mouseland adalah sejarah bagi kesepuluh penyairnya dalam kaitan penulisan. Mouseland adalah sejarah bagi kesekian banyak pembaca—juga calon pembacanya—dalam kaitan pembacaan. Sepuluh kelok di sana akan terus berkelok-kelok seiring kelokan kehidupan yang akan dialaminya nanti. Nikmatilah tiap kelokannya.

*) apresiasi impresif—yang mungkin terlalu berkelok-kelok—terhadap Sepuluh Kelok di Mouseland, sebuah buku antologi bersama sepuluh penyair nusantara.

ESAI I - LAUNCHING ANTOLOGI PUISI "SEPULUH KELOK DI MAOUSELAND'

MEMAKNAI PUISI, SEBERAPA SUSAHKAH?
Oleh: Wardjito Soeharso


(1)

Saya termasuk orang yang memaknai puisi dengan sederhana. Bagi saya, puisi adalah rangkaian kata-kata yang indah. Keindahan itu dapat diperoleh dengan berbagai cara: mengatur rima, irama; pemilihan kata (diksi); sampai gaya penulisan (tipografi). Prinsipnya, di mana kata-kata disusun sedemikian rupa, lalu dari susunan itu diperoleh suatu keindahan (estetika), maka susunan kata-kata itu layaklah disebut sebagai puisi.

Dengan pemahaman seperti ini, saya bisa menjumpai banyak puisi di banyak tempat. Di pinggir-pinggir jalan, di geber-geber warung makan (daftar menu makanan jadi layak disebut puisi: nasi goreng, bakmi goreng; teh, kopi, susu), di tembok-tembok gedung dan bangunan (grafitti dengan kata-kata puitis: remaja dimanja, muda sukaria, dewasa foya-foya, tua kayaraya, mati masuk surga), sampai di toilet-toilet umum (corat-coret iseng: aku, budak nafsu tak tahu malu).

Ya, puisi adalah kata-kata yang indah. Jadi salah satu kekuatan puisi terletak pada keindahan kata-katanya. Dengan kata lain, esensi puisi terletak pada estetika yang ditampilkan pada kata-kata.


(2)

Bagi saya puisi adalah ekspresi, ungkapan, pesan. Dalam komunikasi, pesan selalu terdiri dari 2 hal: ide (gagasan) dan emosi (perasaan). Karena puisi adalah ungkapan pesan, maka dia mestinya juga terdiri dari 2 hal itu. Ada ide (gagasan) dan emosi (perasaan) yang disampaikan lewat susunan kata-katanya. Menurut saya, di sinilah letak makna dari puisi. Ide (gagasan) apa yang dibungkus dengan emosi (perasaan) yang bagaimana, menjadi isi dari suatu puisi.

Jadi, kalau kita ingin memaknai puisi, selayaknya kita mencoba menangkap ide (gagasan) dan emosi (perasaan) yang tersurat maupun tersirat dalam puisi itu. Hanya saja, untuk menangkap ide (gagasan) dalam puisi ternyata tidaklah mudah. Sebagai produk berpikir, ide juga hanya bisa ditangkap dengan kemampuan berpikir. Di sini berlaku hukum berpikir: ide cemerlang dihasilkan dari otak yang terang, dan ditangkap oleh otak yang lapang. Sedang emosi (perasaan) atau suasana hati dapat ditangkap melalui pilihan kata atau diksi.


(3)

Lalu saya sampai pada satu simpul: puisi adalah rangkaian kata-kata yang indah dan bermakna. Saya sengaja menempatkan keindahan (estetika) di depan, baru makna (isi) mengikuti. Karena pada dasarnya, estetika itulah yang membangun kata-kata menjadi puisi. Sedang makna, kehadirannya menjadi nomor dua, dia boleh ada dan boleh tidak ada. Artinya, kalau puisi itu menyampaikan makna, tentu menjadi puisi yang baik, tetapi kalau pun tidak menyampaikan makna apa-apa, sekedar memberikan (bermain) keindahan kata-kata, juga tidak apa-apa, sah-sah saja.

Tapi, ketika keindahan dan makna itu melebur dalam sebuah kesatuan yang utuh, di situlah letak kekuatan suatu puisi. Puisi dikatakan kuat bila dia memiliki keindahan sekaligus kedalaman makna. Hanya saja, karena keindahan itu begitu melekat, kadangkala keindahan itu membungkus dan mengaburkan makna. Inilah yang disebut obskuritas (obscurity) atau kekaburan makna dalam puisi.


(4)

Obskuritas membuat puisi menjadi unik, istimewa. Makna yang kabur ini yang membuat penikmat bisa saja memaknai berbeda ketika membaca puisi yang sama. Pemaknaan yang berbeda sebagai akibat cara pandang dan cara pikir yang berbeda setiap orang.

Justru obskuritas inilah yang membuat puisi semakin hidup. Ruh atau jiwa puisi pada dasarnya berada di tangan pembacanya. Sebagai penikmat, yang memiliki cara pandang dan cara pikir sendiri, pembaca memiliki kebebasan mutlak untuk memaknai puisi yang dibacanya. Jadi, semakin banyak puisi dibaca, semakin banyak dia dimaknai, semakin hidup dia di tengah publik.

Ada independensi dalam puisi. Puisi sebagai ekspresi, ungkapan, pesan, dia disampaikan secara independen oleh penulisnya. Ketika dia lepas dari penulisnya, dia menjadi sebuah entitas independen, yang bebas lepas untuk dimaknai siapa saja. Begitu pula, penikmat atau pembacanya, dia juga independen, bebas mutlak menikmati dengan memaknai sesuai selera sendiri.

Apa artinya ini? Dunia puisi adalah dunia sangat subyektif. Penulis puisi sangat subyektif ketika menulis puisi. Penikmat puisi juga sangat subyektif ketika menikmati puisi. Jadi tidak selayaknya mereka saling menghakimi.


(5)

Ketika Mas Ganz (Ganjar Sudibyo) menghubungi saya, meminta kesediaan saya untuk menjadi salah seorang pembedah buku Antologi Puisi 10 Penyair Nusantara: Sepuluh Kelok Di Mouseland, dalam pikiran saya sudah terbayang, kira-kira ya pemahaman seperti itulah yang akan saya sampaikan dalam diskusi. Selintas saya sudah membaca, menikmati, memahami, dan mencoba memaknai puisi-puisi karya 10 penyair. Dan sudah pasti, dengan cara pandang dan cara pikir saya sendiri, saya menikmati keindahan, saya menangkap makna, dan saya menangkap emosi dan suasana hati, dari setiap puisi yang saya baca dan nikmati. Dan sudah pasti pula, kenikmatan yang saya peroleh, keindahan yang saya rasakan, kedalaman makna yang saya temukan, berbeda dengan yang anda semua rasakan dan temukan.

Karena begitu banyak puisi yang ada dalam antologi, saya tidak akan mengomentari satu per satu, tetapi ingin berbagi pengalaman tentang kesan yang saya peroleh setelah membaca semua puisi.

Bagi saya, semua puisi yang ada di antologi ini memiliki unsur keindahan yang kuat. Para penyairnya sudah sangat sadar ketika mengeksploitasi keindahan itu lewat diksi.

benar memang ketika bapak berujar
..........................................................
tak tergantung secompang apa layar terkembang
(Aras Sandi: Cadik Kehidupan)
kau baginya hawa, yang suatu hari akan menemaninya menguaskan surga sehabis bertahun-tahun menelan buah pir yang mahir berpura-pura.
(AF Kurniawan: Yang Berhasrat Meminangmu, Kekasihku)

Dalam hal menangkap makna, banyak puisi yang dapat saya tangkap ide (gagasan) maupun emosi (perasaan, suasana hati)-nya. Antara keindahan (dalam diksi) dan makna yang disampaikan, menyatu utuh dalam bangunan puisi. Sudah barang tentu, saya sangat menikmati puisi-puisi semacam ini.

Arghanita: Kamboja Putih, Aku Sebatang Ranting Kering.
Arthur Panther Olii: Seraut Wajah Yang Tertitip di Bebulir Hujan Senja, Senja di Tepi Sungai Bone.
Dalasari Pera: Hidup, Kisah Kursi dan Meja.
Husni Hamisi: Puisi Patah.
Lina Kelana: Mak
Oekusi Arifin Siswanto: Rindu Bahasa, Rindu Cinta, Darahmu atau Darahku.

Tapi ketika saya mencoba menangkap makna beberapa puisi, ternyata saya menemukan kesulitan. Puisi-puisi tersebut boleh dikata memiliki obskuritas (kekaburan) yang pekat. Tidak mudah untuk menangkap apa sesungguhnya ide yang akan disampaikan oleh penyairnya.

Salah satu contoh puisi yang sangat kabur atau samar untuk ditangkap maknanya adalah puisi AF Kurniawan: Januari, Hujan, dan Dongeng Yang Membentuknya. Terus terang saya tidak mampu menangkap makna puisi ini. Puisi ini bernilai estetika tinggi, saya bisa merasakan emosi (perasaan) yang muncul ketika menikmatinya, tetapi otak saya tidak mampu menangkap idenya. Semua ini memberikan pemahaman pada saya tentang satu hal: Oh, saya hanya mampu merasakan keindahan dalam rangkaian kata-katanya, saya hanya mampu merasakan emosi, suasana hati yang terpancar dari rangkaian kata-katanya, tetapi saya tidak mampu menangkap ide (gagasan) dari rangkaian kata-katanya. Ya sudah, berarti hanya sampai di situlah saya bisa menikmati puisi ini.

Puisi-puisi yang memiliki kekaburan makna cukup pekat ini, bisa ditemui pada puisi Lina Kelana: Lagu Hujan, Reski Kuantan: Jika Tidak Pulang Hari Ini. (Sekedar memberi contoh lain, sementara masih banyak puisi dengan tingkat obskuritas dari cukup sampai sangat pekat).

Bahwa saya tidak mampu menguak tabir kekaburan makna sebuah puisi, sekali lagi, berkait erat dengan independensi puisi. Penyair sebagai subyek independen, bebas mengekspresikan ide, gagasan, emosi, suasana hati, dengan pilihan kata dan gayanya sendiri. Sedang puisi yang sudah terlepas dari tangan penyairnya, sebagai ekspresi yang sengaja didesain kabur, tentu memiliki peluang tak terbatas pula untuk dimaknai. Begitu pula, saya sebagai pembaca atau penikmat, sebagai subyek yang bebas, yang juga memiliki ide, gagasan, emosi, suasana hati, boleh pula sekehendak hati menginterpretasikan makna di balik kekaburan sebuah puisi.
Jadi ada atau tidak makna yang saya dapat dari proses menikmati puisi, itu adalah bagian dari totalitas kemampuan saya menikmati suatu puisi. Dan bagi saya, semua itu juga merupakan suatu proses pembelajaran dalam menyentuh keindahan dan mengikat makna dari membaca dan menikmati puisi.

Oleh karena itu, saya tidak akan pernah merasa malu untuk mengakui bahwa banyak puisi yang gagal saya mengerti, gagal saya pahami. Seperti beberapa puisi dalam antologi Sepuluh Kelok Di Mouseland ini, saya gagal menangkap isi. Toh, saya tidak kecewa, karena walau tak menangkap isi, saya tetap bisa menikmati keindahan diksi.

Semarang, 28 Juni 2011
Pk: 20:55

RENDEZVOUS-- Sebuah buku Antologi puisi

PUISI DAN RUANG
Oleh Abdul Wachid B.S.

Antologi puisi berjudul Randezvous, yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah 2011, cukup menarik perhatian saya. Dikatakan oleh Wijang J. Riyanto bahwa: “wilayah Banyumas, Semarang, Pati dan sekitarnya, merupakan contoh sebagian wilayah yang memiliki potensi literasi puitik yang patut diperhitungkan dan dicatat.” Ini memang benar sekali, mengingat puisi menampilkan representasi, baik realitas, praktik sosial, maupun makna sosial. Referensial yang dibangun oleh bahasa setiap penyair pada aspek hakikinya adalah ruang yang memiliki entitas.

Puisi memiliki ruang: ada ruang imajinasi, ruang ekspresi, juga tentang cara teks (baca: puisi) berelasi. Ruang bukanlah tempat secara teritorial, ekspresi subjektif maupun praktik sosial yang membentuk wacana telah memobilitas puisi menjadi ruang itu sendiri. Pendeknya, ruang tercipta berdasarkan konstruks sosial, di mana penyair sebagai intelektualitas berusaha untuk menampilkan sisi tertentu berdasarkan pengetahuan dan visi-misinya. Persona ruang itu sendiri akan sangat berbeda antara penyair yang satu dengan yang lainnya dengan pengetahuan dan pandangan memiliki partikel tersendiri.

Ruang yang dibangun oleh A. Ganjar Sudibyo dengan sisi sosial yang disampaikan secara puitik dengan nuansa yang sedikit menyayat. Publik sebagai aktivitas sosial disikapi secara subjektif: naome, kita kini hidup--makan dan tidur di rumah polusi negeri cepat saji. Indeks yang dibangun pada “di rumah polusi  negeri cepat saji” menjadi identitas sosial, namun cara menyampaikan dengan seperti berkabar pada Naome sebagai konstruksi emosional.

Begitupun dengan puisi “Senja yang Berbatas” Arif Hidayat, meskipun di situ ruang diinventarisasi karena ada ruang yang digenderkan, yakni posisi perempuan yang di rumah. Representasi perempuan sebagai suatu dunia dalam praktik spasial juga hadir pada Mumamad Baihaqi Lathif dalam Sajak “Suaminya Sejahtera itu Miskin” , Guri Ridola dalam Sajak “Perempuan di Dasar Laut”, Arif Fitra Kurniawan dalam sajak “Sampek-Engtay”, “Ken Dedes-Ken Arok” dan “Lemari yang Menyimpan Ibu”. Adapun sistem sosial perempuan juga ditandai oleh Pandi Subarong, dalam sajak “Perawan Kesorean” dan “Perempuan-perempuan” dengan polanya dihadirkan sebagai mimesis, bukan representasi:  dia sang perawan kesorean/mengais sisa-sisa peradaban/ di tengah euphoria jaman bebal. Memang, tidak semua penyair membangun realitas sosial menjadi realitas baru melalui penyatuan imajinasi dan kekuatan emosional di dalam puisi.

Ruang dapat terlihat di mana saja karena bukan tempat, melainkan cara wacana di dalam teks berkelindan untuk menampilkan bentuk kebenaran. Cara Syaiful Arif membentuk style merupakan substansi yang ingin disampaikan secara samar, meksipun tataran ideologis dapat terbaca pada: Oh, di negeri terjajah/ Hanya ada darah// Manusia kalah / Oleh system/ Mereka olah// yang mencoba untuk mengkritisi fenomena modern, yang sesungguhnya juga telah diketahui secara umum. Di dalam pandangan lain, ruang akan berbeda; dengan makna yang terfragmentasi. Konstruksi kode di dalam teks membutuhkan referen sehingga dapat terbaca ideologinya. 

Ada juga konstruksi simbolik yang hadir berdasarkan imajinasi. Dimas Indianto S. menyusun simbol-simbol dalam citra romantik. Simbol-simbol itu menjadi kuat dengan adanya wacan religius, seperti dalam sajak “Demi hujan yang Menyudahi Tasbihnya”: Demi hujan yang menyudahi tasbihnya./ Aku lelah menjadi lilin dalam malam-malammu. Cara-cara ini membutuhkan arena imajinasi dan kekuatan wacana yang lebih individual karena kode mengalami pembalikan dan perubahan sehingga tampak begitu sureal. Wiwit Mardianto juga memainkan simbol religi secara konseptual: //Dahan-dahan yang bersujud di hadapan badai/ Tak akan lagi mengenalmu. Karena jiwanya melaju/ Menembus wajah-wajah kotor telaga/ Dan juga sisa waktu yang belum ternoktah sebelumnya//,  namun ia lebih imajis dengan membiarkan bayangan ayam berkembang secara natural, yang kemudian secara perlahan telah berada di sisi yang religi.

Puisi berkembang dengan interakis individu dalam relasi sosial, yang bisa saja terlibat dalam praktik-praktinya, atau juga hanya mengamati dengan memaknainya. Maka, yang hadir di dalam puisi adalah proyeksi pandangan seorang penyair, di mana subjektivitas menjadi sudut pandang sebagai sisi dari ruang. Tidak mengherankan, jika ruang yang berbeda dari waktu ke waktu selalu berusaha untuk disuarakan, seperti yang dinyatakan oleh Arif Fitra Kurniawan dalam sajak “Rendezvous” : //bertahun-tahun ruang ini/ membiarkan raungan kita diluapkan usia/ rentangnya membuat bulu-bulu rubuh,/ tabah menadah dingin diwaktu subuh//. Ruang sebagai aktivitas antar entitas dalam setiap susunan kata merupakan poyeksi dari pertemuan internal dan eksternal. Setiap ruang memiliki wacana yang kompleks, tergantung pada setiap penyair melihatnya sebagai fenomena sosial-budaya yang unik, maka sajiannya pun akan berbeda.

Pandangan terhadap agama, kehidupan sehari-hari, dan pengalaman puitis dapat memberi kerangka konseptual pada proses kepenyairan seseorang. Semua itu, terjalin dalam dekonstruksi kata-kata, di mana diri penyair menyingkap peristiwa publik berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ia tangkap seperti yang dinyatakan oleh Anna Subekti: jutaan pertanda tang tak mampu kubaca, yang sesungguhnya ia telah memahami petunjuk itu sendiri karena sadar tidak bisa menjangkau pengetahuan Tuhan sepenuhnya. Cinta dan rindu dapat pula hanyalah keterkesanan pada objek, namun bagi Wiwit Mardianto dapat juga sebagai aktivitas sosial sehari-hari.

Bagi saya, buku puisi Randezvous ini, bukan hanya sebatas pertemuan penyair antardaerah di Jawa Tengah ini. Pada buku ini, ada idealitas penyair dalam memandang realitas untuk disajikan dengan bahasa baru, yang lebih indah, menarik, menggugah perasaan, dan membuat pengetahuan kita bertambah. Penyair-penyair di dalam buku ini mampu melihat potensialitas ruang yang perlu untuk diwacanakan menjadi puisi sehingga akan mengajak kita lebih kreatif dalam menjumpai zona kehidupan, yang mungkin kau akan protes/ karena ada bahasa yang berbeda dengan kenyataan.
Sebenarnya, yang terpenting adalah usaha terus-menerus untuk memuncul dielaktika baru—dari penyair yang terantologikan di sini—menjadi lebih kompleks untuk menandai fenomena sosial yang tumbuh di setiap daerah mereka berada. Karena, “masih ada” beberapa wacana yang disampaikan masih mengacu pada relasi dan implikasi perkembangan puisi itu sendiri, bukan pada kepekaan menangkap fenomena sebagai bagian dari intensitas publik.









Abdul Wachid B.S. lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Achid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Buku tunggal yang menghimpun karya Achid, antara lain : (1) Rumah Cahaya (edisi revisi Gama Media, 2003) merupakan buku puisi yang menghimpun karya awalnya. Buku puisi Rumah Cahaya ini sempat dikritik oleh Adi Wicaksono secara panjang-lebar di buku Histeria Kritik Sastra (Bentang, 1996), dan menjadi polemik berkepanjangan di koran Kedaulatan Rakyat. (2) Sastra Melawan Slogan (FKBA, 2000) merupakan bunga rampai esainya yang diberi kata penutup oleh Dr. Faruk. (3) Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (Gama Media, 2002) merupakan buku yang diangkat dari karya ilmiah S-1, dan diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo. (4) Buku pilihan puisi cinta 1986-2002,  Ijinkan Aku Mencintaimu (Buku Laela, Cet.I-2002, Cet.II-2004), diberi kata pengantar oleh peneliti sastra dari Jepang, Urara Numazawa. (5) buku puisi Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003). (6) Beribu Rindu Kekasihku (Amorbooks, 2004) merupakan buku pilihan puisi cinta, diberi kata pengantar oleh Dr. Katrin Bandel (peneliti sastra Indonesia berkebangsaan Jerman). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo, 2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (Grafindo, 2005). (9) Gandrung Cinta (buku kajian sastra dan tasawuf; Pustaka Pelajar, 2008). (10) Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron (Penerbit Cintabuku, 2009). Dan (11) buku puisi Yang (Penerbit Cintabuku, 2011). Website: www.wachid.8m.com E-mail: achidbs99@yahoo.com