DUA LELAKI MEMASAK UNTUK PEREMPUAN MEREKA




Ini adalah pengalaman memasak saya bersama Ayah.  Ayah saya adalah seorang juru masak di sebuah restoran masakan Tiongkok, Phien Tjian Hiang nama restorannya. Hari itu, Rabu 15 Juni 2004  kami berdua sengaja memasak untuk memberi kejutan Ulang Tahun Ibu yang ke 39  tahun. Usia saya kala itu 19 tahun dan baru saja menamatkan pendidikan saya di Sekolah Teknik Mesin (STM). Saya mampu merinci tanggal dan hari kejadiannya karena saat  itu saya terbiasa menulis kejadian-kejadian penting dalam sebuah buku agenda. Dan menurut saya hari tersebut menjadi  salah satu hari penting dalam hidup saya.
                Meskipun kami bukan keluarga keturunanan  Tionghoa, namun lantaran Ayah dan Ibu saya bekerja lebih dari 20 tahun  untuk seorang keturunan Tionghoa, jadi ada hal-hal yang memang  pelan-pelan kami adopsi menjadi kebiasaan  keluarga kami. Misal, menggoreng dan menghidangkan kue keranjang, membeli  pia bulan di tahun baru Imlek, memasak  lontong opor di perayaan  Cap Go Meh. Atau membagi angpao. Termasuk kami akan memasak  bakmie goreng ketika ada yang berulang tahun. Itu karena menurut  tradisi keluarga tionghoa, mie yang bentuknya panjang  dan liat itu penanda agar yang berulang tahun diberi panjang dan liat umur.
                Ibu saya, sudah dua tahun lebih terbaring tak berdaya di ranjang karena sakit. Kanker  menggerogoti kesehatan beliau. Dua hari sebelumnya Ibu merengek agar ia diijinkan makan daging sapi atau ayam, yang selama ia jatuh sakit dan menjalani terapi, tak pernah bisa lagi mengkonsumsinya karena dikuatirkan akan memicu penyebaran sel kanker. Meski tak langsung mengabulkan permintaannya,  namun melihat wajah memelas Ibu dan cara beliau mengeluh bahwa selama dua tahun ini  ia merasa menjadi binatang herbivora yang cuma diperbolehkan  makan bayam, makan brokoli, daun pepaya dan kacang polong, akhirnya saya tak tega.  Saya menyampaikan permintaaan itu kepada Ayah, bahwa tak ada salahnya menuruti permintaan Ibu, apalagi beberapa hari lagi Ibu berulang tahun. Dari situlah saya mendapatkan ide untuk memberikan kejutan sebagai hadiah  ulang tahun Ibu. Kami akan berduet memasak.
                Hari Rabu, pagi-pagi sekali sehabis subuh saya dan ayah masuk dapur.  Ternyata Ayah sudah belanja komplit apa-apa yang kami butuhkan untuk memasak. Ia  menaruhnya di lemari es.  “Tolong keluarkan bahan-bahannya.” Ucap Ayah sembari mengaitkan tali celemeknya dan melempar selembar ke arah saya.  Setelah ikut mengenakan celemek,  saya mengeluarkan isi lemari pendingin. Telur, kucai, cacahan kepiting, filetan ayam, kubis, kailan, kapri dan tofu. Di dalam tas kresek sudah ada saus tiram, bawang bombay, bawang putih, minyak wijen, maizena dan aneka saos. Saya jejerkan saja semuanya di samping telenan kayu.
                “Berantakan sekali kerjamu, payah.” Kata  Ayah saya sambil geleng-geleng kepala. Beliau sudah memegang gagang pisau cacahnya. Saya cuma meringis.  Mengingat itu saya selalu tersenyum kecut. Betapa romantisnya, karena, terus terang, sudah lama sekali saya tidak mau masuk dapur. Ceritanya, dulu selepas SMP saya ingin sekali menjauh dari apa pun yang berhubungan dengan  masak-memasak. Meski Ayah dan Ibu saya berkali-kali berkata jika saya memiliki bakat turunan untuk jadi ‘Dewa Dapur’, sanjung mereka. Itu terbukti, ya, meski sebatas lomba Agustusan dan Persami sekolahan, saya sudah dua kali menang dalam membuat tumpeng dan nasi goreng. Tapi saya tak tahu kenapa, semakin disanjung saya semakin mati-matian ingin mengubur yang katanya bakat turunan tersebut. Itu sebabnya saya memutuskan masuk di sekolah Teknik. Pikiran saya kala itu bahwa pokoknya saya ingin lari  jauh sekali dari pepatah: Buah tak akan jatuh jauh-jauh dari pohonnya. Saya tahu orang tua saya adalah orang tua yang tak pernah memaksakan kehendak. Saya berhak memilih jadi apa saja. Satu saja sampai saat ini yang  tidak pernah  saya beri tahukan  kepada mereka, saya masuk ke STM karena  risih kalau-kalau dibilang banci. Saya sendiri heran. Siapa kiranya yang akan mengejek seseorang laki-laki yang pandai memasak dengan sebutan banci? Saya tahu bertahun-tahun kemudian bahwa  penalaran saya waktu itu  keliru. Saya tertawa jika ingat itu semua—namanya juga remaja ingusan yang masih sok-sok’an.
                Pagi  itu lima   masakan kami siapkan bahan dan  bumbunya. Fu Yung Hai,  Sup Hi Pio, Ayam Goreng Mentega, Tofu ca Kailan, dan  Ie Fu Mie.  Kami sudah siap dengan kompor masing-masing. Saya memilih memasak yang paling mudah. Saya mengurusi   Ie Fu Mie  dan Fu Yung Hai, sementara tiga sisa masakan, Ayahlah  yang menyelesaikan. Meski pun sebenarnya resep-resep masakan Tinongkok tidak ribet, tetap saja, lantaran sudah lama tak pernah masuk dapur, berkali-kali saya bertanya;
                “Merahnya saus segini?”
                “Bikin acar dulu kan?
                “Telurnya diberi kanji apa maizena?”
                “Tiramnya cukup kan,  Yah?”
                “Kamu ceriwis sekali ya.” Jawab Ayah saya ketika pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mengalir. Sekali lagi saya meringis. Akhirnya setelah satu jam bahu-membahu dalam bekerja, lima masakan itu pun jadi.  Kami tata serapi mungkin di piring-piring oval, mangkuk besar, dan wadah-wadah saus.

Mengatasi Langit-langit yang Pendek

Ibu. Ibu. Dunia yang datar, Ibu. Aku dan bayanganku yang tak mampu kaubenci terbaring begitu saja. Mengatasi langit-langit yang pendek. Mengatasi hawa panas yang seakan hendak menggulung detak jantungku. Pejuang apa aku jika setiap orang  datang mengambil jam makan mereka dan leluasa menahan sendok mereka, menusukkan garpu mereka, ke arah perut mereka sendiri. Ibu, di jubin hijau kuamati wajahmu bergerak dan tak bergerak seperti lumut. Terbata-bata mengunggah kata-kata agar bisa jadi bingkai bagi beku wajah-wajah dalam foto keluarga kita.

Semarang, 2015

Sonder Jadi Mimpi

ia menggalurkan pantangan,
selepas jarak kalian oleh waktu
diledakkan

: sebab setiap benda niscaya
juga akan runtuh begitu tapak kita
hendak menaksir bobotnya


di hadapan tahun-tahun yang jatuh
kau kuatkan untuk mendongak
sebagaimana seseorang belajar
menegakkan kabahagiaan
sonder jadi mimpi
yang kilau kekuning-kuningannya
justru menggelapkan kelopak mata
milik para pemanggul petaka

Gayam, 2015

Di Pinggir

sudah ia ulurkan tangan, mengerahkan seluruh yang asing
agar kau terus di pinggir jadi pendatang.

Gayam, 2015

Negara dalam Cerita



Negara dalam Cerita
Oleh: Arif Fitra Kurniawan

Kenapa bahkan kita mau percaya kepada dongeng? Kita percaya kepada dongeng, bukan saja karena dalam dongeng, naga-naga di sana hidup. Namun para pendongeng, mampu membuat kita percaya bahwa naga-naga tersebut bisa kita makan. (Neil Gaiman)

Sepekan sebelum akhirnya saya menemukan kata aproprisasi, tepatnya  dua jam setelah kedatangan Ahsanul Mahdzi, pemuda berkacamata yang salah satu gagangnya patah, penakluk segala jimat dan dunia klenik, penyeranta bacaan-bacaan kiri maupun kanan, sekaligus tempat saya sering mengaduk-aduk ketidakbecusan sebagai pembaca yang lamban, sekonyong-konyong  muncul  begitu saja di warung bakmi tempat saya bekerja. Sambil masih berdiri dan  dengan memasang tampang taksa rekan saya yang visioner itu berhasil  meneror saya dengan pertanyaan: apa kiranya yang bisa kita jumput dari kumpulan cerita pendek Penjagal Itu Telah  Mati?

Semestinyalah, pertanyaan  tersebut layak jika dijadikan sebuah narative hook dalam tulisan ini. Benar-benar akan menghantam  kesadaran kita sekalian sebagai pembaca.

Apropriasi, kata itu sendiri saya gerus dan saya mamah dari jari-jari Paul Ricoeur, yang sebenarnya juga sudah mengalami pengalihbahasaan dari  terminologi kata bahasa Jerman, yakni Aneignung—menjadikan milik sendiri apa yang sebelumnya asing. Begitu kiranya bahasa Indonesia berupaya memulurkannya, menepuk-nepuk, menguleni pengertiannya  hingga terlihat kalis dan berkilauan. Ada beberapa hal yang dibicarakan Ricouer berkenaan dengan apropriasi, mengacu pada bentuk pembacaan teks yang tumpah  dari sebuah pidato, atau retorika, atau ujaran lisan. Empat  hal yang saya anggap bermanfaat bagi saya pribadi, khususnya, sebab selain membantu saya lebih semeleh menjadi pembaca yang  daif, juga kian mengokohkan posisi saya ketika berupaya menuliskan interpretasi atas cerpen-cerpen di buku anggitan Gunawan Budi Susanto—Kang Putu. Saya tak ubahnya budak belian yang dimerdekakan dengan empat hal ini:
(1) Bahwa akan selalu ada kesenjangan antara maksud pengarang dan apa yang dikatakan teks. (2) Teks menjadi wilayah terbuka yang mempunyai potensi menghadapi polisemi atas tafsir dari beragam  pembaca dengan konteks  yang berbeda-beda. (3) Posisi pengarang dan pembaca menjadi sejajar  untuk memberikan makna dan rujukan akan  teks. (4) Tugas pengarang purna sudah ketika ia menyelesaikan teks-nya.

Selesai melakukan pembacaan pertama cerita-cerita Penjagal itu Telah Mati, sambil mengetuk-ngetuk kepala sendiri dengan ujung topi saya menimbang-menimbang, kenapa sebuah tulisan kita sebut puisi, kenapa kita sebut cerita pendek, kenapa kita sebut feature, kenapa kita sebut fiksi mini,  kenapa ada yang kita sebut memoar, novelet, dongeng, otobiografi, roman sejarah dan bermacam lagi pelabelan. Penamaan-penamaan yang mau tidak mau menjadi endapan patron dan mengotori kesadaran. Ketika segelas kopi ternyata sudah tandas padahal tulisan baru terketik satu paragraf, di antara pemampatan tabiat urakan dan kampungan  saya  yang  muncul  demi mengeluarkan suara falseto nan kemresek: kenapa cerita-cerita di buku itu tidak dinamai memoar saja, saya sejenak mencondongkan badan dan menjangkaukan tangan kiri saya untuk memencet  tonjolan tombol  putaran kipas angin dari nomer satu ke nomer dua kemudian melempar pertanyaan ke diri sendiri;  lantas apa itu cerita pendek, dan bagaimana semestinya sebuah cerita pendek bekerja?

Baiklah kita berkelit sementara saja dulu dari pertanyaan yang membuat kita jadi onggokan batu gunung  yang dibawa turun dan naik  bukit sambil terengah-engah oleh Sisipus, dan meyakini  bahwa segala urusan bisa kita selesaikan secara swadaya, sebagaimana  kutil atau mata ikan yang menjengkelkan itu bisa kita atasi dengan cara mengikisnya dengan silet tanpa perlu terburu-buru menyerahkannya kepada  dokter spesialis kulit dan kelamin.

Tidak semuanya, ya, tidak semua cerita dalam Penjagal Itu Telah Mati  menjadi bacaan menjemukan. Dari 14 cerita yang hadir, kita bisa menengok, bahwa  cerita  Di Kubur Manakah Kau Temukan Tubuhku; Percakapan Kakek dengan Cucu Terkasih, juga cerita  Sudahi Saja Kisah Lapuk Itu misalnya, adalah beberapa cerita yang mampu membagikan  sentuhan imajinasinya kepada pembaca. Kenapa kita memerlukan sentuhan imajinasi? Sebab kita sedang menghadapi gugusan fiksi. Dan fiksi yang baik  bagi saya, adalah fiksi yang menyediakan komposisi yang tepat, hingga ketika hadir sebagai bacaan, ia tidak semata-mata sekadar duplikasi kepolos-telanjangan realitas. Teks fiksi memiliki kekuatannya ketika mampu mengunggah struktur bahasanya yang performatif. Upaya yang cuma akan berhasil ketika seorang penulis sungguh-sungguh “nggetih” dan bekerja keras dalam pertaruhannya merakit plot, penguatan gestur dan aksi-aksi karakter, konflik-konflik internal cerita yang memadai, strategi pengambilan sudut penceritaan, dan segala pernak-pernik teknikal yang bersinggungan dengan kecakapan bercerita. Sepaket kelengkapan itu semua akan menjadikan sebuah teks fiksi memiliki dunia rekaannya sendiri, sebuah realitas fiksi—J Hillis Miller, seorang Guru Besar Kajian Bahasa Inggris dan Sastra Bandingan di University of California yang begitu mengagumi kisah Alice In Woderland  karya Lewiss Carrol itu  lebih suka menggunakan sebutan teater interior—,  akan berdiri kokoh dan membuat pembacanya mendapatkan impresi hiperbolis berupa kondisi ‘tercerahkan’, ‘ektase’, atau ‘epifani’.

Silakan seseorang menggoyang, menampik, atau melemparkan ke jamban  prasyarat yang dibuat orang-orang di masa lampau, bahwa sastra, seandainya mata koin sudah semestinya memiliki gambaran  dulce et  utile, melekatkan sepaket sifatnya “keindahan yang menghibur serta bermanfaat bagi khalayak”, namun bagi saya, dua unsur itu tetaplah saya butuhkan ketika menikmati fiksi.  Menjadi impresi tersendiri ketika  membaca tokoh Aku dalam cerita Di Kubur Manakah Kau Temukan Tubuhku, seseorang, yang sudah menjadi arwah memunculkan dirinya sendiri untuk berkisah, untuk mengeluh dan untuk menghidupkan sendiri  kematiannya. Meski bukan hal yang perlu dianggap sebagai penemuan baru, lantaran Orhan Pamuk dalam My Name is Red atau Jorge Amado untuk novelnya Dona Flor dan Kedua Suaminya juga menggunakan sudut pandang arwah seperti ini, di tradisi sastra  Indonesia kontemporer sendiri, kita bisa menemukannya juga dalam beberapa karya dari A.S Laksana, Triyanto Triwikromo atau  Eka Kurniawan. Orhan Pamuk menghidupkan si Hitam, A.S. Laksana menghidupkan tokoh Gloria, Eka Kurniawan menghidupkan riwayat kematian Dewi Ayu, Sementara Triyanto menghidupkan arwah aku-anonim lewat  cerita  Dalam Hujan Hijau Friedenau. Pengambilan sampel-sampel tersebut bukanlah untuk membuat persinggungan komparasi. Yang saya ingin ambil adalah, proses penciptaan sudut pandang penceritaan semacam itulah yang membuat teks  fiksi menjadi unik, fiksi bisa dibedakan dari ujaran orasi kebudayaan atau dari artikel 10 cara bagi lajang  mendekati pasangan. Tengoklah juga, lewat Percakapan Kakek dengan Cucu Terkasih, betapa kita bisa dibuat tak berkedip dengan struktur penceritaan yang nyaris bagan besarnya dibangun dengan dialog tokoh-tokohnya. Tak ada penggambaran karakter, tak ada lansekap dekorasi suasana latar percakapan, namun kita bisa menyaring kebernasan pesan yang ditanggung oleh dua tokoh tersebut. Sepasang tokoh imajiner  yang dimunculkan dari retakan benak milik tokoh si kakek, untuk kemudian memperpanjang daftar referensi intertekstual; Tentara yang berpolitik, Gerwani, gerakan  underbow, penculikan dan pembunuhan para jendral. Proses pengubahan referensi menjadi bentangan realitas fiksi inilah yang muncul sebagai daya dobrak kreasi seorang penulis. Ada upaya penciptaan, berupa kemasan estetis alih-alih duplikasi telanjang kode-kode referensial. Ya, dulce, estetika, akan selalu menunjuk pada bentuk, sementara utile, keberfaedahan akan terus-menerus menggenggam isi gagasan.

Sementara, di bagian lain cerita-cerita  dalam  buku ini yang saya dapati adalah komponen keberfaedahannya. Minim sekali sentuhan estetis. Cerita-cerita lena dan seperti dibentengi gagasan berupa grand narative yang dipikul terengah-engah oleh para tokoh penyampai pesan.

Di beberapa cerita, akan kita temukan penggunaan suara tokoh maupun suara narasi dari pencerita dengan nada dan aksen yang sama, simaklah suara narator Saya pada cerita Mei Hwa akan sama dengan suara narator Aku dalam cerita Calon Metuaku Ingin Jadi Burung,  Tamu dari Masa Lalu, juga dalam Tak Kau Dengarkah Suara Moetiah. Tidak ada kode pembeda berupa aksen, atau karakter suara ketika memvisualisasikan aktivitas mereka ketika mereka  ‘terlongong’. Atau bisa juga kita simak ketika narator menampilkan deskripsi  tokoh yang ‘sedang memandang entah apa di kejauhan’. Begini, Coba raba-raba dua aksen pendiskripsian aksi dua tokoh berikut,

(-) Rada jengkel aku duduk di kursi teras, melolos sebatang rokok, menyulut dan menyalakan.
(-) Ketika melingkarkan tangan ke bahu dia, saya rada menarik tubuhnya sehingga jatuh ke pelukan saya.  

Kita bisa mececap, betapa dua pola deskripsi di atas  tak pernah kita bayangkan akan digunakan untuk menampilkan dua tokoh yang berbeda, dengan gender  berbeda, dan   berada dalam cerita yang berbeda pula. Diskripsi-diskripsi yang cenderung nir-gender, atau kadang androgini. Ditambah dengan bertebarannya diksi-diksi menjublak, bersiponggang, rada, manda, dan  menyerikan , struktur bahasa semacam ini  menjadikan tokoh-tokohnya menjadi  virtual. Tokoh jadi berfungsi sekadar menjadi pengganti nama, tanpa melalui proses penggantian suara.

Lepas dari  tapisan  estetis bahasa, saya merasa bahwa  tokoh-tokoh seperti Mei Hwa, Lel, Mbah Sungkowo, Mbah Reso, Tavif  Rubianto, tokoh-tokoh aku anonim, Om Subandrio, Lestari dan tokoh-tokoh yang kerap berinteraksi dengan tokoh  Gunawan Budi Susanto kemanapun bepergian senantiasa membawa selang panjang, dan sama-sama mengucurkannya kepada kolam  sama;  keliyanan sebagai tragedi kemanusiaan, yang jika merunut lagi ujaran Jean Paul Sartre, kondisi ‘liyan’ dari keberadaan manusia tercipta dari objektivikasi  cara pandang orang lain. Konon, Sartre di rentang usianya yang balita, merasa menjadi manusia kanak yang disanjung-sanjung dan dilimpahi kebahagiaan oleh anggota keluarga. Orang-orang di rumah Sartre menggelembungkan keangkuhannya dengan memberikan  sebutan  putra tampanku, anakku yang pintar, cahaya keluarga kami, sampai pada suatu  hari sang kakek mengajak  Sartre ke tukang cukur untuk kali pertama, dan betapa ia, Sartre, merasa ditimpa bencana besar, ketika menyaksikan  si tukang cukur maratapi kondisinya lewat cermin. Sejak itu Sarte ‘dipaksa’  mengakui penilaian dari tatapan  tukang cukur bahwa ia berparas buruk seperti kodok, dengan mulut perot dan mata juling. Neraka, kata Sartre. Celakalah aku!
Kondisi objektivikasi macam itulah yang juga  menciptakan ‘neraka’ bagi tokoh-tokoh kita  dalam buku ini. Dalam buku ini, tokoh-tokoh kita yang teraleniasi  diikat untuk mengafirmasikan habitus sosiokultural mereka, bersitegang perihal  utopia bernama rekonsiliasi, setelah sekian tahun berhadap-hadapan dengan kenyataan yang  getir dan getas. Rezim, junta, bahkan habitus  mereka sendiri adalah lawan yang menjadi nostalgia buruk. Mereka terlanjur dicap, disegel, untuk menanggung kutukan dari eksistensi.
Bahkan badai represi  yang menghadang demi memperoleh kondisi  le liberté  semakin  hebat, lantaran piranti objektivikasi tersebut dilegitimasi oleh struktur budaya yang lebih besar yakni institusi bernama negara. Syahdan, hikayatnya, sebuah negara, di ceruk manapun  letak geografinya, senantiasa menggunakan berbagai cara untuk merawat kelanggengan kekuasan. Negara melegitimasi perangai buruknya  bahkan ketika melakukan tindakan destruktif berupa teror, ancaman pembunuhan, hukuman bagi yang dicurigai subversif, jika memarut  kalimat  Machiavelli, sungguh  tak ada yang tabu untuk dilakukan demi keajegan jalannya dominasi  kekuasaan. Yang ada  semata-mata segala sesuatu yang mengokohkan kedudukan ‘sang raja’.  Itu sebabnya, kekuasaan tak akan segan-segan   menurunkan kaki sebelah kanannya berupa kekerasan, sepatu despotiknya untuk menginjak-nginjak siapun yang dianggap sebagai common enemy. Kekuasaan menjadi hamba bagi negara. Negara lebih maha dari Tuhan, dari uang, dari jabatan, dari posisi sosial.
Dan Mbah Reso,  tokoh kita  dalam cerita Penjagal  Itu  Telah Mati,  sosok sepuh yang tidak peduli akan apa itu istilah epifani dan foreshadowing, yang sungguh akan kalah telak jika kita datang dan belepotan membeberkan  kepadanya perihal  makna falsafati tentang segala macam bentuk penderitaan hidup—sebab itu sama halnya mencemplungkan sejumput garam ke dalam segara, tahu betul bagaimana menempatkan Tuhan dan negara dalam otot-otot lidahnya yang marun;
“Jalan hidup acap tak terduga, Gus. Bukan kita yang menguasai hidup kita. Bukan! Ada kuasa lain di luar diri kita, yang bahkan berwenang mengatur jalan hidup kita,” tutur Mbah Reso.
“Siapa, Mbah?”
“Bukan siapa Gus. Apa!”
“Apa, Mbah? Tuhan?”
Kayane gak ana urusan karo Gusti Allah, Gus, meski nama Tuhan acap dibawa-bawa. Negara. Gus, negara kadang ngalah-ngalahke Gusti Allah.”

Ya, negara. Si asu gedhe menang kerahe.

Gayamsari, Oktober 2015

*Ditulis untuk kepentingan Kelab Buku Semarang edisi membaca buku kumpulan cerita pendek Penjagal Itu Telah Mati karya Gunawan Budi Susanto






DI BALIK WAJAH KEKUASAAN (Koran Jakarta, Kamis 10 September 2015)



Judul: Hidup
Penulis: Yu Hua
Penerjemah: Agustinus Wibowo
Cetakan:  I, 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 224 halaman
Judul Asli:  To live
ISBN: 978-602-03-1328-5

Apa kira-kira yang akan dilakukan seseorang ketika, tiba-tiba dari posisinya yang  terhormat dijatuhkan dan ditempatkan pada kondisi paling buruk? Lewat novel Hidup (Gramedia, 2015) inilah, Yu Hua, penulis Tiongkok  yang mendapatkan penghargaan dari James Joyce Fundation pada tahun 2002 akan memberikan opsi  kepada kita, untuk mempertimbangkan lagi optimisme ketika seorang manusia berada di titik nadir.

Wajah Kekuasaan dan Kekerasan
Inilah kisah Fugui Xu (nama Fugui artinya beruntung/berharga), seorang lelaki  gaek penuh elan vital  yang mengisahkan relik hidupnya kepada seorang pemuda anonim. Fugui mendongengkan bagaimana dulu  dia pernah menjadi anak dari tuan tanah dengan kepemilikan lahan persawahan lebih dari 100 mu. Dialah putra yang digadang-gadang akan meneruskan kehormatan klan Xu. Tapi tamatlah itu semua lantaran kebrengsekan Fugui dalam berjudi. Traumatic episode dimulai dengan iring-iringan sejarah Tiongkok yang suram. Jika kita sedikit keluar dari novel dan  membaca perjalanan dari  berdirinya negara  Tiongkok sampai masa-masa terjadinya Revolusi Kebudayaan yang diprakarsai  oleh Mao Zedong, tentu segera kita akan berpikir, bahwa Yu Hua benar-benar berupaya menyentuh tekstur kehidupan rakyat, khususnya para petani di masa-masa tersebut merasuk sampai ke tulang belulangnya yang pucat.  Mata naif  Fuguilah, yang menjadi saksi dan menyampaikan kepada kita simbol-simbol dari kekuasaan. Mulai dari  pendudukan Jepang, perang kemerdekaan yang dipimpin  Chiang Kai-shek, perang antara tentara nasionalis dan tentara pembebasan, Land Reform, Lompatan Besar ke Depan, sampai pembentukan Komune Rakyat. Bukankah dimana saja, raut kekuasaan nyaris tak pernah berbeda? Yang akhirnya membelah kita menjadi dua bagian:  “yang mendominasi” dan “yang didonimasi”. Subyek yang mendominasi, lewat lengan besinya akan berupaya menciptakan sistem  berupa aturan, birokrasi, pemaksaaan gagasan, bahkan jika perlu dengan kekerasan mengamankan  posisi dominannya demi menggencet  yang didominasi untuk tunduk. Maka sebagai manifestasi subyek yang didominasi, Fugui mesti rela dan cuma bisa meratap ketika tanah sebanyak 5 mu miliknya disita dusun, sementara  hewan ternak dan hasil panen disetorkan ke partai, juga panci, wajan, sabit, cangkul serta perkakas dari logam   mesti diserahkan demi menyukseskan gagasan Great Leap Forward pemerintahan Mao. Hatinya perih seperti hati isterinya—Jiazhen, mendengar jawaban ketua regu, setelah wajan satu-satunya milik mereka dirusak.

“Dusun sudah bikin kantin. Wajan sudah dihancurkan, siapa pun tak perlu lagi masak di rumah. Kalian semua hemat tenaga, supaya kita bisa bersama berlari menuju komunisme. Kalau kalian lapar, cukup angkat kaki dan berangkat ke kantin sana.  Mau ikan, mau daging, semua boleh makan sekenyang-kenyangnya sampai mati.” (hlm 96)

Hadiah buat Ayah

Setelah nyaris dua puluh tahun bermimpi untuk tidak bekerja kepada orang lain, hari ini Ayah akhirnya bisa mewujudkannya. Gerobaknya sudah terpasang. Spanduknya sudah menempel: WM Bakmie Lampoeng-- De Ultra. Sedia macam-macam masakan seperti Bakmi, Ayam Ca Jamur, Fu Yung Hai, Bestik Ayam, Ko Lo Kee, Ngo Yang Kee dlsb.

Selamat ya Ayah. Warung dibuka, tepat di hari ulangtahunmu. Hadiah paling ajaib kan. Hadiah yang membebaskanmu dari perasaan bersalah berlarut-larut. Warung yang menyelamatkanmu dari "menjadi manusia yang cacat seumur hidup".


Selamat. Aku ikut girang tentunya.

Monolog Cut Nyak Dien (Siluet Kelam dari Tanah Kelahiran-- Jawa Pos, Minggu 30 Agustus 2015)



Suara riuh ratusan pengunjung yang sudah berjubel-jubel memadati kursi-kursi yang disediakan di  ruangan balairung Universitas PGRI Semarang menjadi beku seketika setelah neon-neon ruangan padam digantikan nyala sebuah lampu sorot dari kiri atas panggung. Cuma hawa pendingin ruangan serta perasaan keruh yang muncul  dan menyergap begitu seorang perempuan gaek bertudung terlihat bersimpuh di atas panggung. Dari depan panggung disorotkanlah proyektor yang menciptakan siluet-siluet menjadi lansekap latar. Peta. Hutan. Daun dan batang-batang pohon. Gesekan cello terdengar merengek. Dan perempuan gaek itu lantas  menggumam dan memulai kisahnya, dengan artikulasi yang tenang di permukaan namun menyimpan ledakan perih dan kesakitan di kedalaman. Dari tempat yang sunyi dan jauh perempuan gaek sedang mengenang tanah kelahirannya. Nanggroe. Ia terkenang akan hutan-hutannya yang gelap, daun dan pokok-pokok pohonnya. Ia sedang merutuki nasib pengasingannya  yang tak mungkin mengijinkan untuk bisa mati dan terbaring di tanah kelahirannya sendiri. Perempuan gaek itu adalah Cut Nyak Dien.
                Ritme cello menekan dan seperti ingin mencekik tenggorokan, sementara latar siluet juga mulai bergerak mengiringi Cut Nyak Dien yang mulai bangkit seraya seperti sedang menghardikkan kepada keturunannya, mengungkit-ungkit dan terus mengingatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang diturunkan untuk tidak takluk pada yang menjajah, bahwa di dalam darah mereka, orang-orang Aceh, mengalir darah keberanian dari Datuk Makhudum Sati, yang melegenda atas upayanya melawan sultan  yang mencoba menindas rakyat dengan penarikan upeti. Maka, dia tak mau ada orang yang mempertanyakan kenapa dirinya ikut berjuang bersama Teuku Ibrahim Lamnga, dan bersumpah ketika suaminya tersebut  tewas dalam peperangan menghadapi pasukan Belanda; bahwa dirinya tak akan pernah berhenti mengobarkan perlawanan dan kebencian  kepada kaphe-kaphe ulanda.  Dan itu benar-benar dibuktikannya dengan terus memimpin gerilya, bahkan setelah Teuku Umar, suami keduanya juga tewas  tertembak  ketika peperangan meletus  di Meulaboh. Keberaniannya tidak mengerdil, meski matanya sudah mulai rabun, pendengarannya rusak dan penyakit-penyakit usia tua mulai menggerogotinya. Ketika penangkapan atas dirinya itu terjadi, ia masih berani menyumpah kepada Pang Laot  yang ia anggap berkhianat sembari mengacung-ngacungkan rencong.

Masa Lalu si Penghamba



Jauh sebelum ribuan bola api  jatuh dari lubang suara nenekku, lama ia jadi pengikut setia kaki jenjangmu yang kau angkat sebelah. Ia tak bisa memaafkan kekeliruan siapa pun kecuali  masa lalu pernah mendatangi dan menjadikanya seorang  tukang tanam. Apa kau tak merasakan takdirnya yang bergetar tiap kali  ia selesaikan sebuah kubangan?

Di dekat lempengan besi yang  bertahun-tahun kemudian  keluarga kami  simpan,   ia terus saja menggumamkan; timun suri  itu, keluwak itu, kailan itu, tak akan bisa mengekalkan mata kakimu yang siang malam bermimpi  dikenakan seorang penari. 

Buku dan Kisah-kisah Heroik (Koran Jakarta, Jumat, 3 Juli 2015)

 
Judul: People of  The Books
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani
Cetakan:  I,  2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 504 halaman
Judul Asli: People of  The Books
ISBN: 978-602-03-1447-1



Di sana, saat orang membakar buku,
ia sesungguhnya membakar manusia.
(Henrich Heine)


Lewat novelnya  People of The Books (Gramedia, 2015),  Geraldine Brooks, penulis yang mendapatkan Pulitzer pada tahun 2006  untuk novelnya March (dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kapten March oleh Penerbit Hikmah, 2005)  ingin menunjukkan pada kita betapa buku menyimpan rahasia-rahasia besar dari apa yang dikreasikan manusia. Lewat buku, peradaban manusia bisa kita ukur.  Sejauh apa dan bagaimana. Buku menjadi begitu agung lantaran tak jarang berisi ide-ide besar, itulah sebabnya kadang kita temukan di banyak belahan dunia, atas nama otoritasi, baik agama maupun kekuasaan rezim pemerintahan, buku-buku dibakar, dimusnahkan. Bagi mereka buku dianggap oposisi yang  lebih berbahaya ketimbang moncong  meriam dan rudal.


Membaca buku ini, kita disuguhi cerita unik. Kita akan merasa  sedang membaca dua  bagan cerita dalam satu bundel sekaligus. Dua Plot. Dua sekuen waktu. Bagan pertama berisi pertanyaan-pertanyan. Yang lain adalah kisah yang menjadi jawaban-jawaban. Seolah buku sedang menyusun dialognya sendiri.

Plot pertama adalah kisahan dari Hanna Heath, pakar konservasi buku-buku kuno yang pada tahun 1996 ditunjuk oleh PBB untuk menelisik dan merestorasi sebuah temuan naskah Haggadah Sarajevo—buku berisi cerita-cerita berilustrasi  tentang prosesi eksodus bani Israil (bangsa Yahudi) bersama nabi Musa  yang diusir  dari  Mesir seperti dikisahkan Kitab Taurat. Haggadah yang berusia 5 abad lebih tersebut selamat dari kecamuk perang Yugoslavia.

Disusun dengan skema cerita detektif dengan plot maju ke depan  pembaca akan bertahan untuk terus mengikuti karakter Hanna Heath dalam memecahkan rahasia-rahasia yang disimpan dalam Haggadah. Di antara sampiran-sampiran konflik antara Heath dengan Ibunya yang ambisius dan selalu meremehkan pekerjaannya, selubung jatidiri ayahnya yang ternyata seorang pelukis terkenal, juga sisipan percintaan ambigunya dengan Dr Ozren Kamaran—pustakawan sekaligus penyelamat haggadah ketika konflik berdarah antar etnis di Sarajevo meletus, pembaca akan diseret untuk larut bersama  Heath dalam membuat hipotesa-hipotesa menyangkut naskah kuno tersebut. Pembaca akan diajak bagaimana cara meneliti dan  menentukan jenis cairan apa yang menempel dan membekas di sebuah halaman haggadah, apakah noda tersebut berasal dari tetesan wine atau darah atau malah  garam. Menebak-nebak apakah  semburat warna kuning  yang digunakan untuk melukis pada sebuah ilustrasinya terbuat dari sumber warna pigmen kunyit atau pigmen safron. Seperti banyak terjadi dalam cerita detektif, renik-renik kecil  tersebut menjadi obyek vital untuk menentukan sebuah  simpulan.

Ulang Tahun-nya

Hari ini pacar saya berulang tahun. Saya hadiahi ia buku+baju+kartu ucapan bertuliskan aku cinta kepadamu. Tapi ia serakah. Ia masih minta saya sebagai hadiah di hari berbahagianya ini. Well, selamat ulang tahun ya.


nb: semoga bajunya tidak sesak. tidak terlihat seperti bapak-bapak kan?

Menghindar dari Gramatikal yang Jernih (Jawa Pos, Minggu 2 Agustus 2015)



Judul: Napas Mayat
Penulis: Bagus Dwi Hananto
Cetakan:  I, April  2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 185 halaman
ISBN: 978-602-03-1522-5


Lewat  Napas Mayat (Gramedia, 2015), novel yang mendapatkan tempat sebagai juara ketiga dalam sayembara penulisan novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2014 kemarin, Bagus Dwi Hananto mengunggah sebuah pertarungan abadi antara yang baik dan yang buruk. Kehidupan dan kematian. Malaikat versus Iblis. Putih melawan hitam. Bagus menyatukan mereka dalam satu ring; tubuh manusia.  Perseteruan tersebut dikisahkan dalam bingkai surealis yang murung.

            Kisah dimulai dari kematian Aku—prosa, setelah menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak atas kejahatan yang dilakukannya; pembunuhan berantai. Kemudian  menggunakan lajur flashback, pembaca akan dibawa merunut ihwal masa lalu si tokoh, pengisahan yang memang  dibutuhkan untuk menyusun sebab-akibat dalam novel. Bagi pembaca yang terbiasa dengan penceritaan mengalir lancar dengan kalimat efektif, bersiap-siaplah menyiapkan parasetamol atau aspirin, atau obat apa saja yang bisa meringankan sakit kepala dan nyeri otot. Sebab penceritaan akan membuat tempurung kepala kita berdenyut-denyut. Selain kalimat-kalimat yang bertaburan seringkali menggunakan kalimat bentuk pasif,  akan kita temukan beban-beban makna dalam kalimat  tersebut yang semestinya ditanggungkan ke dalam bentuk-bentuk puisi. Baik itu personisifikasi, metafora, alusi, atau metonimia. Artinya, kita harus dua atau tiga kali memreteli dan memaknai sekaligus menemukan tujuan kalimat yang dibuat penulisnya dengan muatan perangkat majas-majas tersebut.

“Ayah mati dengan jam dinding penuh keributan di tubuhnya. Dari kemegahan masa lalu kemudian dunia menggerogoti dirinya pelan-pelan sebagai orang papa.” (hlm 2)

Itu salah satu saja petilan yang  akan kita dapati dalam Napas Mayat. Untuk mengisahkan ayah si tokoh yang tadinya kaya raya kemudian mati dalam kemelaratan setelah perusahaannya jatuh bangkrut, Bagus memilih menggunakan struktur kerja bahasa yang lumrah  digunakan dalam puisi alih-alih menggunakan gramatikal yang jernih dan mudah dinikmati. Dengan bertebarannya stilistika semacam itu, pembaca dituntut   bekerja lebih keras  melakukan pembacaan untuk sampai pada halaman terakhir. Itu belum lagi ditambah dengan gagasan “berat” yang dibenamkan penulis ke dalam bagan novelnya.  Dikisahkan setelah ayah si tokoh Aku mati, di Kota A,  tinggal di sebuah apartemen muram, Aku—prosa jatuh miskin dan  mengalami penuaan dini, dilecehkan secara dramatis oleh orang-orang sekitarnya lantaran fisik yang buruk dan berkepala botak dengan tiga helai rambut di kepala. Pertarungan  psikologis pun dimulai dengan munculnya karakter Hitam, yang muncul dan mengaku sebagai “diri yang lain” dari Aku. Hitam, yang muncul dan kita baca sebagai alter ego si Aku, menawarkan halusinasi, menawarkan sebuah komparasi antara realitas dan utopianya. Tokoh Hitam inilah yang lantas menyeret si Aku untuk menciptakan motif  pembunuhan demi pembunuhan, melakukan mutilasi, mengambil jeroan,  merebus dan menyantap bagian-bagian tubuh mayat korbannya, sementara kepala-kepala mereka diawetkan dalam kulkas. Cuma lantaran melecehkan kondisi fisik si Aku, Mama Besar dan Marbun menemui ajal mereka. Yang satu dijerat lehernya, yang satu ditusuk dengan pisau. Kita akan menemukan seorang psikopat dalam novel ini.  

Hujan untuk Seekor Anjing



Jika lubang tanah yang kaugali di belakang rumah
dan rontok separuh bulan Desember  seperti rambutmu
Masih juga tak bisa mendamaikan katup mataku,
aku hendak menyerahkan diri saja.

Tapi bukan ke cermin. Di cermin justru kau
yang akan takluk menyaksikan
kuping panjangku basah dan tertekuk.

Di jalanan becekmu  kerap kuinginkan diriku
lebih menggigil dari siapapun
yang  kautitipi sepasang kaus tangan.

Tapi tak juga ada yang  lekas menggetarkanku
Sebagaimana lonceng gereja, sebagaimana tenggorokan
Mengirimkan iblis ketika kau tertawa.
Bahkan jari-jari tukang sapu, lengan penjual gulali
dan  perempuan pincang yang menjatuhkan
berkali-kali remuk cahaya matanya.

Seolah neraka bisa kita baca dari sana.

Aku tak tertipu karena seperti yang pernah
Kepadaku  kaubentakkan,

Jalanan lurus
Kesiut angin
Serta orang-orang yang memilih
berjalan di sebelah kanan
akan menjadi perumpamaan buruk.

Tapi apa seorang penyair akan mencabut
Taring bacinku?

ke jendela yang bertahun-tahun kau ababi
sambil mengetam mata kau menuliskan
lagi satu-satu  nama saudaramu yang mati.

(Semarang 2015)

Workshop Menulis

Hari ini dan kemarin dan mungkin sampai lusa saya ikut memberi workshop menulis di SD Negeri Purwosari 02 Semarang. Hari ini dan kemarin dan mungkin sampai lusa  seneng rasanya. Sudah








.