SEDIKIT BICARA KEMATIAN, BUKU-BUKU, KESUNTUKAN, SELEBIHNYA KABAR KELUARGA YANG HIDUP



Apa kabarmu, bu.
Baik—

Ya sudahlah, anggap saja kita memang diberkahi mesin penanya—penjawab kabar otomatis. Tapi memang perlu kok, bahkan kurasa kita memang butuh merepetisi tanya jawab yang sebenarnya, jika dipikir-pikir, tidak ada istimewanya itu.  Aku  sendiri terus terang jengkel, tiap kali ada sms dari pacar:  kamu baik-baik saja kan, sayang? Pikirku sih, lantas, jika seseorang tidak  sedang baik-baik saja, seseorang lain bisa apa? Kurasa, pacarku sudah kebas dengan kejengkelanku, aku bayangkan ia meletakkan ponsel dengan gerakan santai, sehabis ia pencet-pencet mengirimkan pesan sembari garuk-garuk hidung, dan melepehkan desahan: alah pasti sehabis ini bakal balas dengan  sepenggal bait dari penyair Anwar itu to;  nasib ialah kesunyian masing-masing--

Aduh, aku kian pesimis saja ya. Tapi ya itu tadi, sudah kubilang, tanya-jawab kolosal tersebut tetap kita butuhkan kok. Agar kita tetap disebut manusia, ya kan.
Lama sekali tidak menyuratimu (baca: menulis surat buatmu) ya.  Beberapa hari  sebelum kamu ulang tahun, aku pulang ke rumah lantaran dapat kabar, bahwa Risun, kemenakanmu, meninggal dunia. Dia  kecelakaan dan sempat koma beberapa hari.  Aku pulang  boncengan sama Ayah  (dia sepanjang perjalanan tidur melulu). Sampai rumah, langsung siap-siap ikut acara pemakaman.  Orang-orang sedusun  berkabung. Sedih. Aku lihat  kesedihan itu dari wajah mereka yang  layu. Aku sendiri sedih, bukan lantaran kematian Risun kupikir, tapi justru  kenapa tak bisa kutemukan bentuk kesedihan di diriku. Kesedihan yang sama-sama dimiliki orang-orang dan dulu juga pernah kumiliki. Aku cari-cari kemungkinannya, mampat. Kali ini, kamu boleh mengejekku, tapi  jawablah, kesedihan sebenarnya terbuat dari apa?

Aku juga tidak tahu, kenapa, beberapa bulan lalu, ketika kakak perempuanmu—budheku, meninggal dunia, sama sekali aku juga tak bisa bersedih.

Ketika dalam perjalanan balik ke Semarang, di atas motor yang melaju dalam  gerakan zigzag lantaran Ayah masih saja ngantukan dan motor  berkali-kali oleng ke kiri dan ke kanan, aku terus dibayangi tentang  kematian, kehilangan,  yang sekarang sudah tak lagi mempan dalam menggerowongi kepekaan manusiawiku.

Buku-bukuku kian banyak, bu.  Sungguh di luar perkiraan, aku bisa punya buku sampai dua rak, ditambah lagi berkardus-kardus, bermeja-meja, berkontainer-kontainer.  Haha, dulu, aku cuma punya novelnya Freddy S, melencengnya ya Abdullah Harahap, warisanmu kan?—picisan. Kubaca buku-buku tersebut berkali-kali sampai halamannya lecek dan sampul belakangnya sobek dan aku selotip dan sobek lagi dan aku lem dan sobek lagi dan kuselotip lagi. Aku ingat Kamu baru  ijinkan aku membaca novel  itu selang setahun  selepas itu-ku disunat, Bacaan Terlarang, alohamorahola!  Lantaran katamu, di beberapa bagian ada adegan syurnya.  Sial, padahal cuma cipok-cipokan sebentar, mengelus rambut dengan mesra, adegan vulgarnya juga—aku masih ingat betul:  si perempuan melepas longdress  dan  perlahan menyusul si Bram ke bath up hotel di kawasan puncak. Mereka tenggelam dalam gelembung busa kasih sayang. Alah, kampret,  sundal benar.