Episode pertama : Batang

Ialah arti yang dicari cari tubuh selama ini agar tetap tegak.

Sebelum belantara humus di lapis pertama otak mencoba belajar memberikan tendensi pada keinginan yang tiap hari cepat sekali meninggi.

Menjulang.

Memaksa keyakinan untuk menempelkan remah roti, daging kalkun dipotong dadu , serta beberapa cuil sisa keju mozarela diatap langit langit karton bekas kardus mie instan.


Bapak ,
inilah rumah episode naas bagi sebagian tubuhnasib kami disini.
Di tepi muram yang dindingnya tak punya jendela.

Apa daya , kadang perut buncit nan busung ini kerap merengek mendengar bunyi piring diadu , gemerincing garpu tala , lumeran cokelat hangat di cangkir bergagang dua yang bergesek meninggalkan tatakanya.
Tring !

Tidakkah malam ini sesak terisi gemuruh amin dengan intonasi panjang yang teatrikal ?
Penuh harapan makanan kami mendekati kecukupan nilai gizi.


Bapak ,
seperti telah didongengkan pada batang tanpa pembuluh , sebisa mungkin kami tanam mimpi mimpi ini di bawah jembatan , di trotoar.

Di jaring jaring kabut tipis ,yang siapa tahu kemudian hari akan membiarkan ranting baru terbit dengan liar .

Untuk seporsi wajah pengharapan ,
untuk ranting yang tampak segar.
Untuk gerak yang selalu berusaha tumbuh mati matian menangkap matahari cita cita.

: untuk ranting yang sumringah, pak.

Ketika lampu warna warni itu menyala

Jam setengah dua belas malam disebuah kotak hiburan : RENDEZVOUS


- saat semua bising badan berbingkai gairah tanpa rasa malu -

mereka merapatkan kulit kulit syahwati,
membakar tipis sisa malam ini dengan dengung dari piringan discjockey , siraman Tequila !
Bum gedebam debum ,
wanita wanita berkalung bra, bergelang raksa hijau muda memancar cahaya.
Mata ini kedutan melihat spektrum yang begitu genit menggelitik , karna kotak aneh ini didekorasi penuh stalaktit, dan tetes tetes ethanolnya benar benar nguap mendikte rasio yang tak hendak lelah.
Aku tetap setia memegang nampanku,
memegang wanti wanti bapakku.
Membelakangi suara suara indah, menghindar dari nikmat yang antahberantah.Kontraversial.
Apa yang terisi tatkala piring persegi , gelas berkaki, sisa sandwich penuh selada , potongan aroma oregano kujejalkan di mata kalian yang terlanjur menjadi gua gelap ?


Dan aku ,
masih memeram sabar,
melipat bajuku gamisku setengah sampai lengan,
mengelap sisa muntahan alkohol kalian.
Anjing !

Satu hari yang nyaman untuk memasak

Disana akan ku sediakan tangan yang teduh.
Untuk langit ranum yang menjadi terpal diantara bincang bincang kalian :

-cuma ada kau dan cermin wajah milik kekasihmu-


aku mulai mempersiapkan appetizernya ,
biskuit mentega , jus apel , dan sepasang sedotan yang menjembatani kata kata diantara kerinduan yang selama sepekan menjadi beban.
Aih , kalian bertatap pandang bertukar kedip.
Menyenangkan !


Meja oval ini adalah arena dimana dua hati tak berdaya menyambut hening perjalanan yang setia menjadi batas dari tubuh yang gelisah , dari ingatan yang kian melemah.

Sementara itu aku menghormati kepedulian kalian saat tangan kalian berakrab dalam satu remas , dan pijar cinta di kening kalian makin menjadi.
Ini,
mari !
Bersantap ikan pepes bawal , lalap daun kol , rumpun kemangi dan sambal tomat yang menggoda lidah.Menjerat bibir rekah yang sepekan tak menemu kulum.
Aha ! Desir kalian terangsang . Kesakitan yang terobati.
Lalu menu hidangan kedua adalah rangkaian piring piring penuh aroma pekat lengkuas , jintan , kapulaga.
Hm, kalian bertaruh siapa yang menjadi juara memanjakan perut.
Kau pura pura pingsan agar kekasihmu cemas dan segera merasa kehilangan .
Huuh. . . , aku tertawa tapi kurangkum dalam hati , teringat salah satu plot sinema india.
Kau Jaya Bhaduri dan dan cermin di depanmu Amitabhacan nya .

Semua tawa telah mulai tuntas , hari ingin segera di kemas .
Dalam satu pintu , dalam satu anggukan setuju .


Dan sekarang sambil membersihkan sisa riasan meja ,
aku lekat memandang rangkul kalian dalam langkah yang huyung sempoyongan .
Aneh , aku bisik bisik lagi.
Padahal tak ada menu minuman berakohol petang ini .Aku geleng geleng , menyampirkan kain serbet . Huuf. . .

Jangan jangan cinta lah yang membuat kalian mabuk kali ini .Aku curiga.

Ayaya . . .
Mari bersulang !


( yip , chef de cousine )

Untukmu ( : aku mencoba ada )

Untuk yang selalu kukagumi ,
telah kita bangun baris aksara yang tiap hari berjajar saling menguatkan.
Untuk hangat yang kita bagi secara adil , lantas kerling keibuanmu meminta ijinku agar pangkuanmu bisa menjadi rumah.
Rumah yang mungil ,
yang di dalamnya , jika aku menyebut sebuah nama, maka tiap harapan niscaya akan menemukan pasanganya.
Aku mencari keseimbangan , maka kini kusayangi jiwamu ,maka tak ada keraguan di dadaku yang tak bidang ini. Karna aku terlanjur merasa gagah saat mengayomimu , melengkapi celah feminimmu.

Djeng ,
aku tak memaksakan diri untuk dipercaya,
aku cuma meyakinkan diri : aku ada.

Keajaiban kecil

Saya mendapati momentum ini secara tak sengaja , ketika sore sore sambil memperbaiki vespa hijau saya yang memang manjanya minta ampun. Saat tiba tiba si bungsu , ulul kecil berteriak teriak sehabis pulang ngaji dari TPA ,sambil tergopoh hendak menarik paksa kerah baju saya : mas mas mas lihat mas , pelangi ,pelangi !
Tapi lantaran saya terbiasa dikerjain oleh si kecil , ya acuh tak acuhlah saya , apalagi saya dalam zona konsentrasi penuh layaknya dokter ahli bedah akan melakukan ritual caesar , jadi ya begitu deh , saya tetap berjibaku pada pasien saya : demi integritas kerja.
Tapi , beberapa sekon saat badan saya berbalik akan mengambil tanggem ,
Subhanallah...!
Mata saya begitu terkesimanya menyaksikan lanskap di hadapan saya :
langit biru agak tua , dari ujungnya kecil melengkung yang berisi tumpukan warna seperti di padatkan ,merah kuning biru hijau , ah lantas dalam hitungan menit padatan warna itu melebar menjadi ornamen langit yang , saya rasa , sudah bertahun tahun tak pernah lagi saya jumpai sejak saya memasuki usia akil baligh.Pelangi. Ya ,takjub saya dibuatnya , saya mengira benda bernama pelangi telah ( cuma sekadar ) menjadi dongeng saja. Dan sore ini , saya seperti menemukan dunia kanak saya yang telah lama sempat hilang, tiba tiba hadir mengajak saya untuk bernostalgia.
Dan untung ,saya masih sempat menangkap gradasi paduan warna tersebut lewat tangkapan mata kamera.Hm, saya jadi ingat dongeng uyut saya dulu , bahwa pelangi adalah tangga yang menghubungkan antara kahyangan dengan sebuah telaga , dan dapat dipastikan kalau ada pelangi maka para bidadari berduyun duyun mempercantik diri dan berbasah basahan mandi di telaga . . . .
Dan,
dari reka kata itu ,
sore kali ini saya berharap bisa menjadi Jaka Tarubnya ,
nekat menyembunyikan selendang milik larasati.
Agar dia bingung dengan apa mesti naik lagi , lantas saya akan buru buru menawarkan pakaian ganti yang saya pinjam dari emak. . .
Ho ho ho . . .
Ada ada saja .

Tapi yang jelas , saya kagum pada langit sore itu.

Langit sore ini

Maka diantara panorama yang tergenang aku ikan bersembunyi di kegagahan milik terumbu.
Karena langit astronomi tak pernah lagi bisa dihapal ahli nujum,
Rob malam tadi memastikan bahwa diri berhasil menampilkan wajahnya untuk menakutiku,bukan saja menakutiku tapi juga menakuti doa doa.
Bagaimana bisa tertawa diantara ranjang yang apung , sandal jepit , dan kulit pisang yang menyembul dari celah jendela ?
Padahal kematian dimana dimana , hinggap begitu akrab sambil berayun menyelaraskan nada.
Saat seperti ini adakah yang tak mengimani tangan milik Tuhan begitu panjang menjadi garis garis koper.Hingga pakaian, boneka panda ,dan denyut kaki farises karna berjaga semalaman menunggu air surut akhirnya berlapang dada untuk dikepak.Mengungsikan diri.Menetralisir kengerian. Ah, jika malam ini habis , dan kau lihat kilap di lampu minyak padam, maka pasti ada yang telah tenggelam diperjalanan.

Semarang , 21 April

Banjir ,dimana mana tergenang air. Aku ,diatas ranjang masih saja melafal doa sama basinya seperti kemarin :
TUHANKU,
lindungi kami seperti biasa, jauhkan kami dari rasa cemas yang berlebih.
Amin.


Catatan : saat ini ditulis, air sudah masuk kamar , setinggi seperempat kaki pria dewasa.

Uforia

Horee...

Hari ini nilai stewarding saya keluar : 100 !

Kaget,gembira,sungguh kolaborasi perasaan yang ciamik !
Jauh malam saya belalakan mata,mengudap materi , melawan rasa kantuk , menyerukan semangat pada diri saya sendiri. Dan lhadalah, kini ekspektasi positif dari ( ehm, baca : perjuangan ) saya ,menuai ranum yang saya ingkinkan.

Yuuk , kita tunggu hasil hasil mengejutkan lainya !
Ciihaa...

Saat puber itu datang lagi

Diantara lampu bohlam berlapis kertas minyak merah muda.
Kamu berhasil mempercepat intensitas debarnya.
Jantungku menyala nyala.
Riang , seperti yang selalu kulakukan saat merapikan dasi , merias cinta di permukaan kaca.
Lalu tak capek-capeknya aku akan membersihkan berulang ulang , lapis tipis debu , kalimat rindu.
Djeng,
di depan cermin , sambil melirik gambarmu di pigura,
mendadak aku menjadi lelaki paling gagah abad ini . Melebihi Achilles , meremehkan Herodotus.
Berjingkrak jingkrak memegang sisir ,seoalah olah Elvis Presley mengebohkan panggung paduan suara.

Djeng ,
aku membuktikan diri untuk tegap , agar konsep rasa ini tak cuma himpunan kotak kotak berisi kejenuhan kata.
Tak sekedar tubuh verbal yang surealis.
Dan diantara pesan tersirat itulah kamu berada.
Mengaduk aduk , kegairahanku.Mengkombinasikan empat warna ajaib di halaman buku.
Djeng,
di kaca , aku melihat babilonia tergantung asimetris ,
aku jadi ingat poni mu,
aku jadi ingat pipi lesung mu,
aku jadi ingat bahwa aku mudah sekali jadi pelupa.

Inikah puberku yang pertama ?

Sebuah disempati

Aku cuma diam,
surya,anak kecil kelas satu SD itu dihajar sampai berdarah oleh kakaknya.
Aneh,kulihat kali ini dia tidak mengeluarkan airmata sedikitpun.Aku penasaran.Adakah hajaran kakaknya selama ini menjadikanya imun,membentuk dinding halus yang kalau tiap hari di lapis maka akan menebal.Ah,sakitkah ia, pedihkah ia? Rindukah ia pada emaknya yang merantau ke jiran? Mengigaukah ia menyebut nama bapaknya yang mungkin tak pernah ia kenali wajahnya.Sekarang aku yang seperti dihajar rasa bersalah.Rasa apatis menyaksikan wajah anarkis,seolah tak percaya,bahwa anak sekecil surya, telah diasah menjadi pisau ,telah di serut sedemikian tajam.Tinggal menunggu waktu saja ,kulit siapa yang bakal robek karna sayatan.Saat epidermis kestabilan emosinya terkelupas lupas , saat ia sendiri akan meledakkan dirinya sendiri dalam kungkung isolasi sebuah trauma masa kecil.
Aku tak berkedip.
Lantas airmataku leleh.
Aku lebih cengeng dari seorang surya.