YANG SEBENARNYA TERJADI DI KAMAR KAMI


Sungguh  pertanyaan-pertanyaan  itu  tak  mampu  aku  jawab  dengan  baik. Sepasang  matanya  lebih  ganas  dari  mata  serigala. Seluruh  tulang-tulangku  mungkin  juga  sudah  ia  pindai.  Barangkali matanya   memang  dididik  untuk  menjadi  sinar  rontgen.  Seluruh  tubuhku  dari  ujung  kaki  sampai  ubun-ubun, lemas.  Ia  menghardik  lagi. Bayangan  kepalanya  bergoyang  ke  kiri  dan  ke kanan  seperti  lipan. Di belakang  bahunya  jeruji-jeruji  sel  tahanan  mengintaiku. Lampu  terlihat  begitu  suram  dan  aku  merasa  terperangkap   di  sebuah  adegan kumuh   film  india  produksi  tahun  delapan  puluhan.
“Apakah  kamu  sudah  merencanakan  ini  semua?”
Lagi-lagi  aku  menunduk, tak  mampu  menghadang  pisau-pisau  berkilauan  yang  meluncur  dari  sepasang  matanya.
“Jawablah,  bajingan  tengik!”
“Sa—sa —ya,  saya  tidak  membunuhnya, pak…”
Dia  berdiri, wajahnya  merah  nyala, ingin lekas-lekas  membakar  aku. Aku  seketika  jatuh  lantaran  ditempeleng  sebanyak  dua  kali.  Lantai  kantor  polisi yang  dingin  menadah  tubuhku. Telingaku  berdengung.
***

Kami   memang  tidak  ingat  hari  dan  tanggalnya,  yang  aku  tahu  sekitar  pukul  satu  pagi.  Mataku  berair  kurang  tidur.  Aku  menyandarkan  kepala  di besi  ranjang  yang  cat hijau  tuanya  sudah  meledak di  sana-sini, memandangi  perempuan  itu  berbaring  dengan   tubuh  bagian  atas  telanjang  di samping  kepalaku.  Aku  tidak  akan  menggambarkan  lanskap  ini  dengan    kerumitan   seperti    lukisan  surealis  yang  menggambarkan  kehancuran  dunia  dengan  cara  menempelkan  jam  weker    yang  meleleh  kemudian  merangkak  ke  tebing  sebagai  simbol-simbolnya. Tidak  ada  yang  mesti  aku  sembunyikan   juga  ke dalam  beberapa   metafora   dari  payudaranya   yang  selama  24  jam  selalu  terbuka. Lukisan maupun   puisi  sudah  menjadi  daging  yang  perih  bagi  hidup  kami.  Kami  tak  tahu  kemana  mesti  sembunyi.

Perempuan  itu  tertidur. Setengah  jam    sebelumnya   aku  baru  saja  membersihkan tubuhnya  yang  amis.  Payudaranya  yang  kiri  bernanah. Panyakit  itu  telah  memangsa  sebagian  dadanya. Mengubah  gundukan  menjadi  kubangan.  Dengan  kapas  aku  totol-totol  darah dan, sesekali  nanah  yang  keluar  dari dinding-dinding  daging  payudaranya  yang  menyerupai   miniatur  bekas  gunung  berapi   terpangkas  oleh  ledakan  dari  dalam  bumi. Kuberikan  antiseptik.ku  tutup  “kawah”  itu  dengan  lembaran  perban.   Tidurnya  sungguh  menyedihkan. Bibirnya  retak  digigit  giginya   sendiri  melawan  rasa  sakit  yang  tak  bisa  diukur.

Lapar,  tanyaku. Tangannya  mengelus-elus  perutnya  yang  dilapisi  kain  tipis. Pusarnya  terlihat  menyembul. Kipas  angin  sesekali  menggerak-gerakkan satu-satunya  pelindung  kulit  itu.  Aku  mengambil  bubur  di  meja  kayu   di  sebelah  kepalanya.   Menyuapkan  ke  mulutnya  yang  kering. Padahal  sudah  begitu  pelan,  tapi  susah  sekali  ia  telan  bubur  yang  aku  suapkan.

“Kamu  tak  tidur?”, aku  menggeleng.
“Aku  belum  mengantuk, kok”
“Tapi  mata  kamu  sudah  meradang  begitu ”,
“sehabis  ini  tidurlah,”  sambungnya.  Frasa  -sehabis  ini  tidurlah-   seperti  ingin  menggantikan kalimat  ‘maafkan  aku  sudah  banyak  merepotkan’ . Tapi  dia  barangkali  sudah  muak  dengan  permintaan  maaf  semacam  itu,  jadi dia  menggantinya  dengan  ungkapan  apa  saja yang  melintas di  lidah. Ungkapan  maaf   biasa   digunakan  untuk  orang-orang  yang  bersalah  dan ingin  bertobat. Aku  merasa,  tidak  ada  rasa  bersalah  yang mesti  ditebus  dengan  penyesalan   di antara  kami  berdua.

PERTANYAAN YANG TERKURUNG



PERTANYAAN YANG TERKURUNG


Sebuah pagi dibentangkan. Tuhan berhasil menciptakan layar yang bisa dikecap oleh seluruh indera ratusan juta manusia. Tuhan memasang matahari, menambahkan kicau burung, menempelkan suara gerobak sayur keliling, suara-suara orang berangkat dengan kaki saling berkejaran. Dunia adalah template yang rutin dan konsisten diganti. Jam kerja menempelkan rasa terburu-buru pada setiap laki-laki dan perempuan di kampung ini. Kampung yang senantiasa merasa tidak punya rencana dan keinginan apa-apa selain berharap tidak akan terendam air jika musim hujan. Kampung yang diisi oleh ratusan orang yang selalu merasa ragu-ragu sekadar menikmati kebahagian diri sendiri.

Bapak sudah bangun, aku rasa ia  tidak akan melewatkan sembahyang subuh; lima sampai enam jam  lebih awal bangun sebelum aku bangun  dengan tubuh remuk seperti habis dipukuli. Bapak masih memegang  pisau besarnya yang mengkilap. Tajam dan berminyak. Celemeknya lusuh dengan noda pekat di sana sini, entah kapan terakhir ia cuci selembar benda yang membuatnya seperti pendekar dalam cerita-cerita silat kolosal itu.   Bau amis dan perasaan mabuk  dalam bis selama perjalanan jauh jadi satu menyerangku. Sisa-sisa daging  babi dengan darah yang berceceran di telenan pada jam sepuluh  pagi seperti ini adalah siklus yang mau tak mau mesti aku terima.
Raup dulu, cuci-cuci muka dulu, itu, tadi bapak beli ketan buat sarapan. Tapi bapak  lupa minta kelapa parutnya dipisah”
Aku meringis. Antara tertawa ditahan dan perasaan mahfum. Kenyataan seringkali menjebak kita untuk tidak bisa berbuat banyak selain mengangguk. Aku lewati tubuh bapak yang membungkuk. Nyaris membentuk sudut sembilan puluh derajat. Aku jadi ingat  mistar  kayu siku-siku yang ada di sekolah dasarku, dahulu, yang digantung  persis di dinding dekat tempat kapur  papan tulis. Yang kadang digunakan buat menghukumku—atau siswa lain, jika terlambat masuk ke kelas. Pantatku mampu  mengingat  kumparan panas yang diciptakan kayu sialan tersebut. Belum lagi ejekan teman-teman yang mencibir sembari bersamaan membuat koor; rasain , kena lagi. Biar tahu rasa si anak babi....

Kemudian mereka akan tertawa melihat wajahku diringkus rasa malu dan kesakitan. Dan aku tidak bisa berbuat banyak, apalagi memprotes. Sesuatu yang menimpa kita secara terus menerus pada awalnya membuat kita terkucil, teraniaya, lantas membentuk benteng imun tanpa kita sadari.  Begitu juga padaku.

***
Orang-orang di kampung  biasa   memanggilku   si anak babi. Aku juga tidak tahu sejak kapan sebutan itu mengganti bahkan  kadang menyambung dengan namaku; Mustapa. Lengkapnya Kairul Mustapa. Jadi lebih lengkap lagi Kairul Mustapa si anak babi. Tadinya aku ingin melawan. Pertama, kedua orang tuaku manusia. Memang aku tidak mengenal siapa sebenarnya ibuku. Tapi aku bukan tokoh dalam sebuah epik atau mitologi, lahir dari seorang perempuan yang kemudian dipelihara seekor babi, atau lahir dari seekor babi yang kemudian bertahun-tahun dipelihara manusia untuk membalas dendam atau mencari  sebuah keadilan.  Tengok saja. Kami jauh berbeda, babi akan memakan  apa saja. Termasuk kotoran dia sendiri yang ada di hadapannya. Aku tidak. Babi suka membiarkan temannya menyetubuhi pasangannya. Aku belum kepikiran. Babi tidak punya leher. Aku punya. Yang tidak bisa aku sangkal adalah babi dan aku sama-sama  berbau apek dan tidak bisa melawan apa yang sudah digariskan.

Selalu Begitu



Dia akan datang rutin, menyeret langkahnya hingga aku begitu hafal suara sruk sruk sandalnya mengenai  lantai.  Dia  akan menaruh semangkuk  bubur di meja dekat kepalaku yang  pasrah  merebahi bantal, menyapu sebentar  bagian tepi spring bed  sampai sudut ruangan, menjumputi jika ada sedikit saja sarang laba-laba di tembok. Tidak ada yang boleh kotor sedikitpun. Ia kemudian akan membuka jendela, membiarkan udara dingin dibungkus  matahari  pukul setengah tujuh  pagi masuk ke dalam kamar. “Sarapan dulu, mas”, sambil mengelus pundakku dia akan lembut mengemas suaranya  seperti penyiar berita di radio RRI jaman dulu. Selalu  begitu. Dia sungguh telaten dan aku akan seperti anakan kucing  mengiau rewel, ”Lidahku bosan Las, tiap hari ketemu bubur lagi,bubur lagi”. Iya, setiap hari aku akan mengudap menu menjengkelkan ini;  kalau tidak bubur  bayam, ya  bubur kacang hijau, kalau tidak bubur kacang hijau, bubur beras merah ikan tuna.  Kalau tidak ketiga aneka bubur tersebut, maka aku harus tabah dan betah menghadapi sederet daftar menu berisi irisan  buah-buahan. Pepaya-Pisang Ambon-Alpukat-Jambu biji.  Trio dan  kuartet makanan omega tiga yang sengaja ia tentukan itu tak pernah bisa aku hindari. Demi jantung dan pembuluh darahku  yang mesti  sehat dan selalu longgar ketika menyuplai darah, katanya, kalau  ia temukan aku mulai ceriwis berkomentar tentang ini dan itu.  

Rasa-rasanya kian hari  tubuhku jadi  demikian  lembek dan menjijikkan. Satu  alasan  saja barangkali yang membuat aku bertahan menjadi manusia pemakan bubur  dan buah-buahan adalah suapan tangannya. Itu saja, Bahwa aku harus sembuh, kata Lastri. Isteriku, suka—dukaku, tidur—terjagaku.
***

Aku kangen sekali pedas  rica-rica bebek”.  Merengeklah aku. Dan dia seenaknya  terkekeh  mendengar kekanakanku kumat lagi suatu hari. Belakangan ini aku memang seperti serdadu yang  dalam pertempuran  diserang  bertubi-tubi tembakan, compang-camping dan nyaris mengibarkan bendera putih. Menyerah.   Dan dia, oh, dialah  keajaiban yang datang layaknya  perawat  membawa gulungan perban. Sebuah lanskap putih panjang  berkilau-kilau  dipenuhi harapan bahwasannya  tiap peperangan akan berakhir dengan kami berdua yang  akan  lolos memanggul kemenangan.

KUNANG-KUNANG PASAR MALAM



KUNANG-KUNANG   PASAR MALAM

            DARI sekian  lelaki yang terdengar sedang berteriak silih berganti mendirikan penyangga-penyangga tinggi dari besi itu, ia yang paling kurus. Berkali-kali terengah ketika tangannya yang mirip kaki belalang ikut menarik tali ke belakang, menyimpulnya ke pasak yang sudah tertancap lebih dulu ke tanah, empat sampai lima tarikan, dibantu Mas Tarno,  kerangka stan  Rumah Hantu, Tong Setan, Bianglala, akhirnya terpasang, tinggal merakitnya lagi dengan perlengkapan tambahan..
“Awas, Nar, talinya kebakar nanti”,  kelakar  Budi yang lewat memikul tumpukan papan sambil mencolek lengan Sinar,
“ Lho, kebakar gimana Bud? “ Sinar celingak-celinguk mengamati barangkali ada sumber api yang sekiranya perlu dicurigai. Tak ada nyala petromaks, tak ada nyala lilin.
“ha ha ha, itu lho, nagamu, ntar dia nyembur-nyembur ndak karuan”
“Bajindul !”, ia lempar  ranting kecil kearah Budi,  deret gigi kusam Budi meringis, kemudian menyambar baju yang tersampir begitu saja di sebatang bambu. Mas  Tarno  cuma  geleng-geleng kepala. Sinar tahu tadi teman serombongannya itu sengaja mengejek  tato-naga  di lengan kanannya, tato yang dibikin amatiran, sebab terlihat ekornya malah lebih mirip cacing sawah daripada seekor naga. Tak ingat lagi sudah berapa lama naga itu bersarang di lengannya, yang tiap kali ia lihat di kaca selalu membuat matanya terbakar; tertembus lidah api.  Sinar  ingat waktu lengannya digambari dan dirajah dengan jarum, ia  baru saja menenggak ciu oplosan sebanyak dua botol air mineral ukuran jumbo, yang ludes  ia gilir memutar bersama dua kawan rombongan pasar malam. Ia  ingat dadanya panas sekali waktu itu, dibakar etanol, meranggaskan musim hatinya yang  membusuk akibat ditinggalkan Nurul, gadis bermata air kunang-kunang di kelopak matanya. Dulu tiap kali  Sinar bersitatap dengan nurul, tubuhnya semakin bercahaya, melebihi namanya sendiri. Sebab ditambah Nurul. Merekalah kuadrat sama dengan  dari semua terang yang pernah dirumuskan. Tapi kemudian Nurul tiba-tiba lenyap dari kehidupan Sinar dengan membawa pergi jutaan kunang-kunang peliharaan matanya. Hati Sinar jatuh pengap dan gelap.   Hati yang sebenarnya jatuh jatah temponya berpanen buah-buahan itupun busuk dan terbengkelai. Sinar melawan rasa putus asa dengan caranya sendiri. Di botol ciu itu ia melihat tubuhnya makin jantan, makin  lebih lelaki. Sinar bertekad melihara, menangkar dan mengembang biakkan kunang-kunang itu sendiri. Tentu saja di kelopak matanya. Sinar optimis ia akan berhasil. Suatu saat.

***

            INI  malam minggu.  Dua  hari  sudah pasar malam  digelar. Dua hari sudah hujan merintih-rintih seperti anak kecil enggan disapih. Sungguh neraka bagi perut-perut mereka. Mana ada yang sudi keluar rumah ketika hujan. Tak ada. Tak ada yang merindukan mainan ketika hujan. Tak ada yang menginginkan diputar oleh komidi, masuk Rumah hantu, naik Bianglala.  Di tiap rumah kampung-kampung ini sudah ada televisi yang mahir memprovokasi.  Kotak milik penyihir yang penuh dengan iklan. Sementara  pasar malam ini tak cukup baik dalam beriklan. Bahkan sekedar membayar pawang hujan, agar memindahkan dulu mendung ke daerah dimana hujan amat diminta turun oleh para petani bawang.  Tapi  lihatlah malam ini langit kering, kandungan airnya barangkali  telah terkuras tandas akibat tumpah selama dua hari kemarin. Mas Tarno berdiri di samping tempat penjualan tiket komidi. Matanya bekelip-kelip diberkati langit. Langit yang malam ini memihak doa-doa bibir mereka, agar diperkenankan tertawa. Pengunjung  tumpah ruah.
“Bang, tiga” seorang lelaki  berkacamata menjulurkan uang beberapa lembar lima ribuan ke dalam loket. Mengekor  perempuan  berkerudung manis dibelakangnya. Sebuah bulatan  gula-gula arumanis di tangan kirinya, merah muda menyala warnanya. Sementara jemari tangannya yang kanan seperti mengamplopi tangan kekasihnya. Melipatnya dengan lem kayu. Mereka seolah tak peduli perasaan hangat itu akan tersirat atau tersurat. Dimana saja, cinta bagi dada adalah api yang akan senantiasa menyengat. Mas Tarno melihat itu. Dan ia tersenyum. Anak- anak kecil berseliweran di depannya. Ibu mereka berteriak-teriak takut mereka hilang atau terjatuh.
“Maaf, Mas, wahana ini untuk anak usia dibawah dua belas tahun” . Seketika lelaki berkacamata itu lebih mendekatkan kepalanya ke lubang loket. Apalah arti umur, apalah arti batasan. Ah,sepasang hati yang berapi kiranya tak mau dibatasi.
“Bang... tolonglah bang, istri saya ini hamil muda. Dia ngidam”
Budi yang menjaga loket gelisah. Keluar menemui Mas Tarno. Mas Tarno terkekeh. ditepuknya pundak Budi dua kali. Merapati bulan madu milik sepasang pengantin barunya itu. Tak mungkin ia menggagalkan kebahagian. Kebahagian adalah kebahagian. Ia jadi ingat Menur, istrinya. Ingat ketika dia mesti keliling kecamatan cuma untuk mencari buah sirsak. Bayangkan betapa susahnya mencari buah yang bukan jatah musimnya berbuah. Tapi demi Menur yang sedang ngidam anaknya yang pertama, ia bertekad tak akan pulang sebelum mendapatkan sirsak itu. Ya, kebahagian memang memerlukan perjuangan. Dan dulu, dia juga sampai guling-guling saking girangnya  macam bocah lelaki kecil menemukan kembali kelerengnya yang jatuh, ketika di dapatinya sirsak-sirsak itu di sebuah pohon bergantung dengan indah. Pemiliknya tak mau dibayar ketika ia ingin membelinya. Maka sekarang giliran ia ingin memberikan kebahagian itu pada mereka. Dipersilahkannya perempuan berjilbab yang asyik menghabiskan arumanisnya masuk ke dalam bersama pengantin lelakinya, bersama cahaya yang sedang diperam dalam rahimnya. Menunggu waktu untuk matang.
“Ooooooooiii, nyalakan motor dieselnya!” Teriak Mas Tarno.

DI SEBUAH KAFE





 (secara  tak  sengaja  saya  menemukan  tulisan ini  di  folder, saya  tertawa-tawa  sendiri  membacanya, cerita  pendek  ini  saya  tulis di  tahun  2010. sebelum  saya  terlupa  lagi,  saya  mesti  menyelamatkan  tulisan  saya  ini  di  blog,  sebagai  dokumentasi  proses  saya.  dan  untuk  menghibur  diri  sendiri,  tentu  saja.) 


 DI SEBUAH KAFE

            LANGIT malam bulan Januari pertengahan, adalah langit yang tiap malam ditumbuhi  sepasang lengan panjang, menjuntai begitu saja ke bumi,  rajin menjumputi  kembali  sisa uap-uap hujan. Dan malam ini lengan yang menjuntai itu merayapi Dago yang nampak makin lembab seusai curah hujan  berpora pesta  sesorean  tadi. Kata orang-orang, ini pesta kesedihan. Pesta duka dan airmata dari langit,  barangkali di bulan januari langit  sedang bersedih karena mendapati banyak kehilangan. Aku tak yakin, apakah  kehilangan terkait erat dengan kesedihan.

Sesekali pandanganku  hujam ke lanskap  bawah sana, Bandung beserta hiruk-pikuknya  cuma  titik-titik kecil kuning bercampur merah marun  dalam gulita. Kerlip-kerlip lampunya, meski  lama-kelamaan  membuat mata  kedutan    tapi   lumayan menghibur, paling tidak ada yang dilihat daripada menunggu nyala bintang di langit yang malam ini mirip gulungan karpet  lama  disimpan di gudang.

“Kok nggak diminum ?”.

Tanyamu. Bersamaan  dengan  tercecapnya aroma khas kayu manis oleh hidungku yang entah sejak kapan  menguar dari dua cangkir choco au lait  di tengah-tengah kita. Kupindahkan pandanganku kepadamu, sedikit kikuk. Lantas  seperti  teleskop mengamati pergerakan benda yang ada di seluruh galaksi,  mataku jeli mengelilingi  Coffe Corner  yang dipadati meja kursi dengan payung-payung bundar ini. Bersemangat sekali merekam detailnya. Beberapa pasangan bercengkerama, sesekali salah satu dari mereka terlihat sedang membenarkan baju hangat atau syal milik pasangan, atau iseng  melirik arloji. Jam menunjuk angka delapan, suhu tempat dataran  tinggi  ini  benar-benar menggigilkan. Tapi dingin itu relatif  menurutku, seperti halnya jam. Panas-dingin, lama-sebentar adalah subyektifitas dan kitalah yang menentukan. Buktinya aku seperti dijaga rasa hangat, dan lagi,  dua jam bersamamu cuma terlewati dalam tiga hentakan nafasku, singkat sekali rasanya. Ya, sesuatu memang kerap berubah-berubah pemahamannya sesuai dengan kondisi.

“Eng,..kamu kira lidahku panci  teflon tahan panas...”,

aku tertawa, tapi tak yakin sedang  menertawakan  apa. Tidak. aku tidak sedang menertawakan pertemuan ini, bagaimana mungkin aku meremehkan dan menganggap lelucon suatu momen yang sepanjang malam aku gelisahkan. Aku sedang kesulitan menyembunyikan  kegugupanku padamu. Berkali-kali tanganku mengibas kuaran asap dari  zat cair selesai mendidih dari cangkirku. Kamu ikut tersenyum.
Kamu lucu, masih kayak dulu…”
“Apa ?”
Ya, aku memang dari dulu lucu, dari lima tahun yang  lalu. Sejak pertama mengenalmu, sejak  aku belajar mengenakan  antingku   yang pertama  pada dating kita, dan sampai sekarangpun, saat  umurku  menginjak  angka  kepala tiga semua masih nampak lucu di matamu. Dimana tempat, kronologi kejadian, serta kesenjangan yang mungkin ada pada kita selama  kurun waktu lima tahun  itu menjadi tak berarti. Aku memang lucu, dan aku tahu kamu mengagumi itu. Aku  yakin kamu masih memahami benar segala bentuk bahasa tubuhku.

“Terus terang aku  bingung Na, mesti darimana mulai bercerita”.

Ah, kamu dari  dulu  masih saja ambigu. Sayangnya suaraku tercekat dipangkal lidah, tertelan masuk ke dalam perut lagi, terkunyah perlahan-lahan oleh otot lambung, aku jadi ingin cepat-cepat buang angin, melepas keresahan yang menggumpal, membebaskanya agar menjadi gas.

“Cerita aja, ayo, cerita Bi, kalau  kamu masih kaku, kamu bisa mulai ceritamu  dari sepasang cangkir cokelat kita ini”.

Oh, tidak, aku terlalu gegabah memberi  tendensi  pada kata  “kita”, harusnya  jangan  terburu-buru. Ketergesaan acap  menimbulkan multi prasangka. Dan benarkan, ada perubahan warna  di wajahmu. Aku tahu. Aku tahu itu.

Jangan  takut, seperti  dulu, bukankah  aku selalu menjadi telinga  paling  sabar  saat  menunggui  ceritamu  yang bahkan  kadang  seperti  dongeng  seorang  penyihir  yang dikirim  dari dunia  para  peri ?”

Kamu terkekeh  kali  ini. Mengambil cangkirmu,  melekatkanya  pada  hidung sebentar, seperti  tak  ingin  kehilangan barang berharga  dari  sebuah  aroma, kemudian  menenyeruput  cairan  kental harum  di dalamnya. Leleh ia diantara  syaraf lidah. Mungkin  sekarang  lidahmu  sedang memberi  respon  positif  pada serangkaian  kandungan protein cokelat.  senyawa feniletilamin- nya   akan  segera  memberi  efek  afrodisiak, perasaan  nyaman, familiar, sedikit  flirt.  ya, dopamin pelan-pelan pasti  sedang  mencairkan  kegugupanmu. Malam  ini, lidahmu benar-benar akan menjadi tumbal chocolate craving !

“Na…”.

Kemudian cerita panjang itupun keluar dari persembunyiannya, pori-pori lidahmu. Masih dengan intonasi yang presisi, seperti  dulu di sepenggal malam minggu kepalaku terjatuh begitu saja di pangkuanmu, berbaring dan rebah dengan nyaman, kemudian kamu tumpahkan segala cerita yang menyenangkan itu ke rambut dan kepalaku yang akhirnya  seperti keramas dengan cairan manis dari para kurcaci, dari para putri dan pangeran yang dipisahkan oleh kutukan. Tak ada keabadian, bahkan dalam kutukan maupun dalam perpisahan. Klise memang, dan kamu pasti juga berpikir bahwa selama ini kita juga sedang dikutuk dengan perpisahan oleh nenek sihir.

Na, tau  nggak, selama  empat  tahun, aku  selalu  membayangkan  pertemuan  seperti  ini…, empat  tahun Na…., bukan waktu yang seb…,”

Cukup, cukup ! Aku  bukan  takut  mendengar kata-katamu yang terakhir ini, tapi  aku  takut  di saat  seperti  ini tak bisa kukuasai  luapan  emosiku, di depanmu, terus terang, telah  ku usahakan  menyembunyikan  warna  kesedihan  ke  titik  terjauh agar insting-insting paling peka-mupun  tak  bisa  menjangkaunya. Aku  ingin  terlihat  tegar. Bahagia. Kamu  tak perlu  tahu detil  hari-hari  yang kuisi tanpamu.  Hari-hari  yang  kuperjuangkan dengan  dada  lapang, dada  yang  awalnya  kupikir akan  rusak parah karena  disana terlanjur ada satu nama  yang liar menjulurkan lidahnya kemana mana. Ke jantungku, ke paru-paruku, ke empeduku, sampai suatu ketika  naik ke otakku. Empat tahun  yang lalu, setelah  perpisahan kita, aku  selalu  berdoa pada Tuhan, memohon  tiap  hari, agar  aku  bisa  melupakan  semua ini. Aku  seperti  orang  sakit. Ingin  segera  sembuh  tapi  tak  tahu sakitku  ada  dimana. Bagaimana  mungkin  ada rasa sakit sembuh  oleh  obat  tanpa  tahu  diagnosanya?

Tuhan  ternyata  tak mau  mengabulkan doa-doa teraturku  yang kurapal  seperti  mengkonsumsi  resep  dari dokter. Buktinya, pernah  Tuhan  menawarkan  nama-nama  lain untuk  mengganti  namamu. Aku mencoba  mengiyakan, tapi  hatiku tak mau. Ia enggan  di lekati  nama  lain. Sepertinya  ia  menganggap  nama  itu telah menjadi pasangan yang  tepat untuknya. Aku heran, dalam  hal ini,  aku  yang egois atau hatiku  yang egois.

Banyak, sebagian   dari  lelaki  yang menawarkan  harapan  kebahagian itu  berkata  ada  yang  tak beres  denganku. Kata  mereka  aku terlalu naif. kehilangan penalaran. Aku dianggap seperti  anak kecil  yang entah  kenapa  setia berdiri  di pintu yang  siang malam terbuka, memastikan  diri menunggu seseorang  datang  membawakannya  buah ajaib  yang  ditanam di kebun luar angkasa. Tapi aku  tahu dan yakin untuk bersikukuh bahwa seseorang itu  akan  kembali. Kalau kini ada seseorang disamping kehidupanku, dalam keseharianku,  aku tahu, itu cuma pelarian atas kejenuhanku.

“Na ?”
“Ya.”
Stage di ujung  sana sedang  menampilkan pertunjukkan  musik. Suaranya  ikut memompa  hatiku  yang  bergelembung-gelembung. Nyaris pecah. Ya, aku sedikit  hafal  lagu  itu, lagu  milik  Ballads of the Cliché,  kalau  tak  keliru  judulnya  About a Boy, dibawakan  dengan  arensemen  akustik, gitar klasik  dan  peralatan  perkusi  yang  saling menyahut. Malam  makin  teraduk-aduk. Kali  ini kutatap matamu lekat-lekat. Begitu dekat. 

DI BAWAH MOMIJI




Kali ini mataku benar-benar dimanjakan spektrum warna  hasil    benturan  ajaib  daun  momiji. Guguran daun merah, kuning serta cokelatnya ingin melumat seluruh lapisan  tanah  taman ini. Aku duduk menghadap barat, dimana  orang-orang  duduk  bergerombol, tubuh-tubuh yang   sengaja menghadap matahari, menggelar   tatami dibawah batang-batang kekarnya momiji, tikar yang  lumayan  luas untuk berbagi tawa, mereka   semut mengerubungi rimbun riang kemanisan yang   nguar dari  aroma  gula.

Belum merasa lapar, Arif-san ? ucapmu disampingku,  sambil membenarkan letak dudukmu, menggeser, merapatkan diri ke tubuhku. Ya, suhu tubuhmu berkali-kali menawarkan  sensasi lain  musim gugur bulan september. Tak mau kalah bersaing beradu keeksotisan dengan angin yang  beberapa  kali  berloncat-loncatan, menepuk-nepuk wajahku.

Aku  menggeleng  untuk  yang kedua, ah, dalam  suasana seperti  ini,   momiji  barangkali benar-benar telah menandas-tanduskan rasa lapar, bahkan  tukak lambung  sekalipun. Kutatap mata sipitmu  yang berusaha mengejar masalalu dimataku, kusediakan kasempatan bagi  matamu  untuk terus  berlarian, dengan harapan  segala  pertanyaan yang  kamu  kejar  dapat  kamu tangkap, karena  sungguh, padamu  aku tak  cukup mempunyai kekuatan  untuk  menjawab.

Pukul setengah enam petang, namun siang teriknya  belum  ingin  menggelincir ke arah lipatan  bumi  lain. Anomali  yang  tak kutemui mungkin  di hari-hari biasa, matahari menunjukkan keganjilanya di perayaan hari equinox. Ini  artinya   tanggal  23  september,  Hari  dimana  matahari musim  gugur berdiri tegak dan  angkuh di garis ekuator, hingga jadwal siang untuk  hari  ini  akan  sangat panjang,  rakus memangsa malam hingga jamnya   jadi  sangat tipis. Siang  yang  mendukung  agar  posisi  kita  terus seperti  ini, rapat  di bangku  panjang  taman, melawan  mahkluk  jahat  bernama perpisahan.

RUMAH MANG ADIN



(secara  tak  sengaja  saya  menemukan  tulisan ini  di  folder, saya  tertawa-tawa  sendiri  membacanya, cerita  pendek  ini  saya  tulis di  tahun  2010. sebelum  saya  terlupa  lagi,  saya  mesti  menyelamatkan  tulisan  saya  ini  di  blog,  sebagai  dokumentasi  proses  saya.  dan  untuk  menghibur  diri  sendiri,  tentu  saja.)


             Bunyi   tak  tik tak  tik   riuh   menjadi bunyi   yang  mudah  diingat  ketukan  jatuhnya, ritmis yang  hadir dari  tetes  air   menimpa  baskom, ember  plastik, dan  panci  alumunium  yang  sepertinya sengaja   dipasang di  hampir seluruh   penjuru  rumah  ini.  Sebuah sonata sedang  disuguhkan  hujan. Hadiah  desember  yang  begitu  ramah  dalam  membagikan  curah. Wadah-wadah  itu  semakin  penuh asin  air, yang  kadang  berkecipak  melompat  begitu  saja ke  lantai  berpelur  semen  kasar, namun sayangnya  tetap  saja  masih  kurang,  padahal  semua  perabot pengghuni  dapur  sudah  dikerahkan,  tetap  saja  tak  mampu  menyelamatkan  permukaan  lantai   ini  dari  bocor yang  enggan berhenti turun  menyerang.

            Rusuk-rusuk  genting yang  melengkung keropos,  yang  telah  membuatkan  alur  aliran  air  diatas  sana satir  mengejek  harga  diri  Mang  Adin, sebagai  satu-satunya  Lelaki  dirumah  ini. Sebagai  suami  sekaligus  sebagai  bapak  dari  anak-anak. Lelaki  yang  semestinya  berdada  lebih tangguh  dari lempeng  baja,  karena  mesti  mengayomi  istri  dan  ketiga  anak  perempuannya. Beuh, bahkan  sekarang  ia  merasa,  dadanya  bukan  lagi  dada , melainkan  tempurung  tertutup  gelambir tipis  kulit  martabak, yang  melempung  sewaktu  panas  di  penggorengan, lantas  lembek  ketika  durasi jam  menggerus  kehampaan  dan  dingin  menaklukkan  keperkasaan. 

            Mang  Adin  menutup  kedua  telinganya  rapat-rapat, mengamankan  telinganya  dari  bunyi  yang  entah sejak  kapan  mulai  ia  benci. Nia,  anak  keduanya  yang  sudah  bersekolah  taman  kanak-kanak  itu  terus  saja dengan  girangnya,  sambil  berlenggak-lenggok di muka   jendela sana tak  henti-hentinya  bernyanyi;

“Tik tik  tik,
Bunyi  hujan  diatas  genting,
Airnya  turun  tidak  terkira,………”

Rasanya, bagi  Mang  Adin  lagu  dari  bibir  marun  anaknya  itu langsung melesak-lesak  ke  dalam  telinganya membawa   jutaan  kilo hz gelombang  suara , melumpuhkan  bagian-bagian  terpipih  tulang  rawan, saluran  eustachius, selaput gendang  telingannya   hingga   ia   hampir  hilang  keseimbangan.  Ia   sedang  mengumpat  dalam  hati, alangkah  brengseknya  seseorang yang  telah  menciptakan  lagu  itu, lagu  kebangsaan  mahkluk  bernama  hujan. Barangkali  besok  ia  akan  melabrak  guru  TK  anaknya,  dan  akan  memaksanya  untuk  menghapus  lagu  itu  dari  kurikulum  pendidikan. Bukankah  lagu  Burung  Kakaktua  dan  Balonku  Ada  Lima  sudah  cukup  membuat  hati  riang  anak  seusia  Nia? Geramnya. Tak  perlu lagi  ada  lagu  tentang  kemerdekaan  hujan.  Sungguh,  dengan  adanya  lagu  itu  sama  saja  menginjak-injak  martabatnya  sebagai  kepala  keluarga.  Ini  harus  secepatnya  dihentikan!  

KURBAN



KURBAN
             KAU  bisa  melihat raut-raut  simpang siur  kami  dengan  jelas  meskipun  tempat  yang,  lebih  cocoknya  disebut  ruang  sidang  ini, cuma  di terangi  bohlam limabelas watt kan  ?Semuanya  Sembilan  belas. Angka  Sembilan  belas  cukup  membuat  kami  merasa  bahwa  kami  menyerupai  kafilah  besar. Bambu - bambu yang  dirakit  dadakan dan  terlihat asal  tancap   ini  sungguh  memberi  pertanda  betapa  kami  adalah  sekumpulan  rasa  cemas  yang  secara  tak sengaja  berbagi  nasib  satu  sama  lain.Dan  mungkin  kau lah  orang  yang   paling tepat  yang  bisa  kuajak  bercerita. Apa ?  mereka ?
            Jangan  bercanda, bicara  pada  mereka  sama  saja  cuma  memindah  beban  ke tempat  lain  dengan  menanggungkan   kepenatan  dua  kali  lebih  dahsyat ke  punggung sendiri. Tidak. Sudah  kubilang  aku  ingin  berbicara  padamu  saja, berbagi  cerita  dengan  mereka  semakin  memperparah  rasa  cemasku  kau  tahu, atau  begini  saja,  karena  kelihatanya  kau  masih  sibuk, kau  boleh  menyelesaikan  pekerjaanmu  sambil mendengarkanku  bercerita, aku  tahu, aku   kau mesti mempertanggungjawabkanya  pada  Haji Asroni. Daun  nangka  dan  daun  galendra  di  pojok  sana  itu  mesti  kau  rajang-rajang  dulu  untuk  kau  hidangkan  pada  kami sebelum  isya,  karena  kau  tak  mau  haji  gendut  itu akan  mengomelimu  lagi  seperti  kemarin  kan?           
            Kau  masih  saja  mondar  mandir  membawa  sabitmu. Namamu masih  Saman  bukan ?
Man, aku  sebenarnya  takut  kali  ini  Man, sebenarnya  kau  juga  paham  itu, terdengar  sangat  jelas dari kesembilan belas  embikan kami   yang  sahut  menyahut  di liputi  kedukaan ini  makin  menjadi semenjak  kandang  ini  kau  buat  dan  kami  menyadari,  kami  di sini  sedang  menunggu  hari  itu. hari  yang  menurut  Haji  gendut  Asroni   adalah  hari  Raya, Hari pengorbanan, Man. Oh, Man.  kau  belum  pernah  tahu  bagaimana  rasanya  menantikan  datangnya  kematian  yang  sudah  terjadwalkan. Menggigil,  Man. Mengerikan. Man  tolong  nyanyikan  lantunan  lagu  sesuka bisamu, kami  butuh  hiburan. Hei, kenapa  malah  tertawa ?  adakah  kepanikan  kami  lucu  adanya  bagimu?

            Sekarang  aku  malah  jadi  curiga  padamu,  jangan-jangan  kau  serupa  dengan  majikan  gendutmu  itu, Haji  Asroni. Kau  pasti  sedang  membayangkan,  betapa  besok  dua  hari  lagi, kau  akan  mendapat  jatah  paling  banyak,  karena  sebagai  warga,  kau  akan  dapat  empat  kupon  pengambilan  daging, dan, tambahan  lagi  sebagai  jagal,  kau  berhak  atas  kepala, kaki kaki dan  jeroan  kami. Bangsat  juga  kau  rupanya  Man !  membayangkan  cincangan  daging, tulang  kaki,  kepala, kami terhidang  dengan kuah gulai, atau kau akan bumbui kami dengan lada sebagai sepiring rica-rica. kau pasti membayangkan hari penuh kekuatan. Punuh libido.  Sungguh  tragis  apa  yang  akan  nanti kami  alami, sehabis  ini  kau  pasti  mengasah  lagi  belati  pusakamu  itu. Dan  aku,  serta  kedelapan belas  teman-temanku ini, debar- debar  membuat  hitungan.  Siapa  kiranya diantara kami  yang  akan mati  lebi dulu ?

            Man, kalau  aku  dapat jatah  kau habisi  duluan,  aku  ingin  kau  titipkan  salam  pada  anak  nomor  duamu, si Ujang  itu, sebenarnya  berat  manyampaikan  perpisahan  ini, dia  bagiku  adalah  teman  bercanda  selama  dua  tahun ini, selama dia menjadi penggembala Haji Asroni. Dia  anak  yang  baik  Man, diantara  kami  telah  tecipta  tali  kasih  yang  magis, aku  juga  sering  duduk  bersamanya  sore  hari  sebelum  ngandang,  ketika  kami  selesai  di  giringnya  dari  sendang,  dan  dia  mengajakku  di  bawah  pohon  dekat  padang  rumput  sana, entah, kami  jadi  saling  becerita,  menceritakan apapun. Termasuk  menceritakan  kisahmu,  sebagai  bapak  kadang  kau  tak  menganggapnya  anak,  cuma   karena  telinganya  tak  mirip  denganmu. Cuma karena  daun telinganya yang kiri melipat seperti jamur payung. Kau tega memperlakukan dirinya seperti cerita  Ratapan anak tiri. Dan  desus-desus  tetangga,  kalau  Ujang  buah  perselingkuhan. Aku heran, jika memang- seandainya itu memang terjadi- harusnya kau menyelesaikan semua kemarahanmu cukup sampai pada istrimu. Subyek yang melakukan, bukan  Ujang. dimana-mana bayi lahir tak mengetahui apa yang telah diperbuat bapak ibunya, Man.
Ujang,  tersiksa  Man, dia  sering  menangis sambil  mengelus-elus  tandukku.   membayangkan  kau  memeluknya  sehangat  bapak-bapak  lain  yang  sedang  memanjakan  anaknya. Katanya, katanya  kalau  kau  marah  sering  bilang  ia anak  haram. Padahal  setelah  menangis  dan  bercerita  seperti  itu  padaku,  dia  pasti  tertidur  di  perutku,  dan  aku  menjilati  wajahnya.

            Kalau  bersedia juga,  pesanku  yang  kedua,  tolong  setelah  ini  sampaikan,  pada  Juraganmu  Haji  Asroni  itu,  kenapa, kenapa  Man, Dahulu  Tuhan  mesti  Mengubah  penjelmaan  Ismail  Dalam  bentuk  Kambing, kenapa bukan  onta  atau  sapi ? atau  ikan, atau  tak  belalang  saja ?.Bukan  aku  tak  iman,  apalagi sampai  murtad dan  menolak  janji  akan  surga  Man. Sungguh, ini  semata-mata  karena  ketakutanku, aku  benar-benar  tersiksa, jika mendengar  takbir, tiap  kambing  jantan  yang  bertanduk  sudah  agak  kokoh  pasti  gentar  Man. bertanya-tanya  apakah  tahun  ini  tahun  yang di pilih  Tuhan  untuk  menjemput  mereka. Ah,  Man,  aku  cuma ingin  menumpahkan  unek-unekku , aku  cuma  tak  ingin, pengorbananku  besok  cuma  di jadikan  sarana  bagi  Haji  Asroni. Karena  aku  masih  curiga,  semua  ini  cuma  akal-akalanya  saja  memanfaatkan agama,  biar  dia  dipandang orang  paling  banyak berderma ! melengkapi  sandangan   haji dibelakang  namanya  itu, padahal  kau  tahu  sendiri,  dia  punya  sumur,  satu-satunya  sumur  berair  jernih  di  kampung  ini,  tapi ?, cuma  kerabatnya  saja  yang  boleh  menimba  di  situ ! orang lain  yang  bukan  kerabatnya  pasti  kena  damprat  bila  berani  menyentuh  bibir  sumur  miliknya.

Man, Kau  sudah  selesai  ya, kumakan  dulu  ya  daun  nangka  muda  ini,...
*** 

selamat  ya,  sebab  hari  ini, 11  november  2013  pada  jam  1  siang  tadi  anakmu  lahir  dengan  selamat,  dhec.  Kamu  juga  sehat. Segera  aku  pulang  dong, negok  ponakan.

TANGAN TAKDIR, TUKANG CERITA, DAN HAL-HAL LAIN SEKITAR CERPEN




:oleh  Arif  Fitra  Kurniawan*

Saya  diam  cukup  lama  sehabis  membaca  cerpen  Kunang-kunang  yang  Berterbangan  milik  Adefira  Lestari  ini, menimbang-nimbang  apa  yang  bisa  saya  tulis  setelah berhadapan dengan  teks  tersebut. Tapi  entah  kenapa, saya  jadi  tidak  bisa  berbuat  banyak untuk  melawan kilatan  Umar  Kayam. Realisme  magis. Teks  yang  evokatif. Puisi  M  Fauzi. Murakami. krisis  Oedipal. Clara  Ng. Sastra  Wangi—Katrin  Bandel. Feminisme. Novel  Sylvia  Plath. Realisme Psikologis. Cerpen  Sulung  Pamanggih. Pikiran  saya diacak-acak oleh itu  semua. Aktivitas membaca  bagi  pikiran  saya  adalah menyiapkan  diri  untuk  rela  menjadi sejarah kecemasan  yang  nomaden. Serentetan  kata  itu kadang  demikan  mengganggu  tapi  kadang  bisa membantu menarik  silang  dari  yang saya  baca.  Termasuk  Cerpen  Kunang-Kunang yang  Berterbangan.
***

Beberapa  hari   yang  lalu, sebelum menuliskan ini, saya  sempat memperbincangkan cerpen Adefira bersama  rekan   diskusi  saya. Saya  catatkan  lewat  ingatan beberapa dialog  kami  tersebut,  setelah  membaca  bergantian  cerpen  yang sengaja  kami  cetak di  kertas kuarto.

“Menurutmu  bagaimana,  cerpen  ini?”,  tanya  dia.
“Lumayan”.

MEMBACA KABAR DARI LAUT—CERPEN DINA AHSARA PURI



tulisan ini  dibuat  untuk kepentingan  Meja cerpen#8  yang  diadakan  oleh  komunitas  Lembah  Kelelawar

 
1.
Membaca  cerpen  Kabar  Dari  Laut   milik  Dina  Ahsara  Puri  ini, menempatkan  saya-- pembaca  sebagai  seseorang  yang  sedang duduk  di  atas  kursi,  merampungkan  sinetron di televisi, sambil  menguliti  kacang  bawang. sambil  mengunyah  dan  sesekali berujar  pada  diri  sendiri  o, begitu—nah, pasti  setelah  ini   begini—dan pada  akhirnya...

2.
Apakah   yang  sebenarnya  membuat  sebuah  prosa  menjadi  menarik  untuk  dibaca? , sudahlah  disini  saya  menahan  diri  saya  untuk  tidak  menulis  kutipan-kutipan  dari  banyak  orang-orang  yang  telah mahir  menulis  teori  tentang  bagaimana  menulis.  Sambil  menulis catatan ini,  saya  sesekali  melirik  tab  samping  di  komputer  saya. Kebetulan  di situ  saya  sedang  buka  dua    tautan;  satu  dari  cerpen  AS  Laksana,  berjudul   Rashida  Chairani  dan  satu tautan  lagi  cerpen  Triyanto  Triwikromo  yang  stilistika  judul  cerpennya  mengingatkan  judul-judul  puisi  saya  yang  seperti  jalan  Tol. apakah  saya  sedang  mencoba  memperbandingkan  secara  kualitas cerpen  Dina  dengan  kedua  cerpen  Media  Koran  tersebut?,  bisa  saja  pembaca  lain  menuduhnya  begitu. Saya  membacanya  karena  ingin  membacanya  saja. Justru  saya  mendapat simpulan  sementara; setiap  penulis  memiliki  dirinya  masing-masing.  Cerpen  Triyanto  menantang  saya, untuk  membuat  daftar  panjang  bacaan  apa  saja  yang  sudah  dan  belum  saya  baca.  karya-karyanya  yang  akhir-akhir  ini  berpenyakit  eksebisionis  itu benar-benar sialan. untungnya  dari  beberapa  judul  dan  penulis semacam  Gao, Gabriel  Marques, Murakami  sudah  pernah  saya  sentuh. Sementara  Cerpen AS  Laksana  menghadiahi  pengalaman  baca  nyaris  seperti membaca cerpen  Dina. Cuma....