TANGAN TAKDIR, TUKANG CERITA, DAN HAL-HAL LAIN SEKITAR CERPEN




:oleh  Arif  Fitra  Kurniawan*

Saya  diam  cukup  lama  sehabis  membaca  cerpen  Kunang-kunang  yang  Berterbangan  milik  Adefira  Lestari  ini, menimbang-nimbang  apa  yang  bisa  saya  tulis  setelah berhadapan dengan  teks  tersebut. Tapi  entah  kenapa, saya  jadi  tidak  bisa  berbuat  banyak untuk  melawan kilatan  Umar  Kayam. Realisme  magis. Teks  yang  evokatif. Puisi  M  Fauzi. Murakami. krisis  Oedipal. Clara  Ng. Sastra  Wangi—Katrin  Bandel. Feminisme. Novel  Sylvia  Plath. Realisme Psikologis. Cerpen  Sulung  Pamanggih. Pikiran  saya diacak-acak oleh itu  semua. Aktivitas membaca  bagi  pikiran  saya  adalah menyiapkan  diri  untuk  rela  menjadi sejarah kecemasan  yang  nomaden. Serentetan  kata  itu kadang  demikan  mengganggu  tapi  kadang  bisa membantu menarik  silang  dari  yang saya  baca.  Termasuk  Cerpen  Kunang-Kunang yang  Berterbangan.
***

Beberapa  hari   yang  lalu, sebelum menuliskan ini, saya  sempat memperbincangkan cerpen Adefira bersama  rekan   diskusi  saya. Saya  catatkan  lewat  ingatan beberapa dialog  kami  tersebut,  setelah  membaca  bergantian  cerpen  yang sengaja  kami  cetak di  kertas kuarto.

“Menurutmu  bagaimana,  cerpen  ini?”,  tanya  dia.
“Lumayan”.

MEMBACA KABAR DARI LAUT—CERPEN DINA AHSARA PURI



tulisan ini  dibuat  untuk kepentingan  Meja cerpen#8  yang  diadakan  oleh  komunitas  Lembah  Kelelawar

 
1.
Membaca  cerpen  Kabar  Dari  Laut   milik  Dina  Ahsara  Puri  ini, menempatkan  saya-- pembaca  sebagai  seseorang  yang  sedang duduk  di  atas  kursi,  merampungkan  sinetron di televisi, sambil  menguliti  kacang  bawang. sambil  mengunyah  dan  sesekali berujar  pada  diri  sendiri  o, begitu—nah, pasti  setelah  ini   begini—dan pada  akhirnya...

2.
Apakah   yang  sebenarnya  membuat  sebuah  prosa  menjadi  menarik  untuk  dibaca? , sudahlah  disini  saya  menahan  diri  saya  untuk  tidak  menulis  kutipan-kutipan  dari  banyak  orang-orang  yang  telah mahir  menulis  teori  tentang  bagaimana  menulis.  Sambil  menulis catatan ini,  saya  sesekali  melirik  tab  samping  di  komputer  saya. Kebetulan  di situ  saya  sedang  buka  dua    tautan;  satu  dari  cerpen  AS  Laksana,  berjudul   Rashida  Chairani  dan  satu tautan  lagi  cerpen  Triyanto  Triwikromo  yang  stilistika  judul  cerpennya  mengingatkan  judul-judul  puisi  saya  yang  seperti  jalan  Tol. apakah  saya  sedang  mencoba  memperbandingkan  secara  kualitas cerpen  Dina  dengan  kedua  cerpen  Media  Koran  tersebut?,  bisa  saja  pembaca  lain  menuduhnya  begitu. Saya  membacanya  karena  ingin  membacanya  saja. Justru  saya  mendapat simpulan  sementara; setiap  penulis  memiliki  dirinya  masing-masing.  Cerpen  Triyanto  menantang  saya, untuk  membuat  daftar  panjang  bacaan  apa  saja  yang  sudah  dan  belum  saya  baca.  karya-karyanya  yang  akhir-akhir  ini  berpenyakit  eksebisionis  itu benar-benar sialan. untungnya  dari  beberapa  judul  dan  penulis semacam  Gao, Gabriel  Marques, Murakami  sudah  pernah  saya  sentuh. Sementara  Cerpen AS  Laksana  menghadiahi  pengalaman  baca  nyaris  seperti membaca cerpen  Dina. Cuma....

WAKTU DAN KESUNYIAN DALAM PUISI AHMAD KEKAL HAMDANI DAN TIMUR BUDI RAJA—DALAM BUKU ANTOLOGI MAHAR KEBEBASAN



: oleh  Arif  Fitra  Kurniawan*

dan  adam  turun  di  hutan-hutan/mengabur  dalam  dongengan/ dan  kita tiba-tiba  di sini/ tengadah ke  langit: kosong  sepi....
(Jarak—Sapardi  Djoko  Damono)

Dalam   Refilosofi  Kebudayaan, kepada penulisnya--   Syaiful   Arif,  Gusdur,  pernah  mewanti-wanti :  idfiin  wujuudaka  fi  ardhil  khumuuli,--pendamlah  dirimu  dalam  bumi  kekosongan. apakah  itu  juga  yang  sering  dilakukan  oleh banyak  penyair  tatkala  puisi  datang  dan  meminta untuk ditulis? .

Baiklah,  begini,  sial memang, jika saya  termasuk  sebagian orang  yang    mudah  terprovokasi dengan  beberapa  kelompok  kata  dalam  sebuah  puisi untuk  menjadikannya  pijakan  menyebrangkan   sebuah  teks  dengan  hipogram-hipogram  teks  lain  diluar  yang  sedang  saya  baca. begitu  juga  ketika  menyimak  puisi  Ahmad  Kekal  Hamdani  dan  Timur  Budi  Raja.

Bolak-balik  saya  membaca  Senjakala  milik  Kekal,  Serenade  milik  Timur, dan  Jarak  milik  Sapardi.  Bagaimana  mereka  menyusupkan   sihir  mereka  dalam  kata-kata.  Metafora-metafora  pedih, personifikasi,  alusi,  citraan-citraan yang,  ah, konon   waktu  dan  kesunyian  seperti  tangan  doktrin  yang   terus  memberikan  tongkat  estafet  kepada  tiap  penyair untuk  terus  diajak  berlarian. Saya  sendiri, di  lain  sisi  sebagai  penulis  puisi kerap  ingin  menampik  doktrin kesunyian itu. Dan  Gagal.  Benar  kiranya  apa  yang  ditapiskan  Jassin  kepada  Subagyo  Satrowardoyo  dalam  suratnya, membebaskan diri dari  sebuah   doktrin  dengan  menciptakan  doktrin  baru  tak  lain  sekadar  kamuflase.  barangkali  itu  itu  jadi  kutukan  yang  mesti  kita  tanggung. 

Meski  begitu, dalam  setiap  teks  puisi  yang  saya  baca, saya  merindukan  dan  mencari-cari kebaruan  dalam memaparkan  kesunyian. Memang,  cara  ini menyodorkan  resiko suatu  kali  akan  jatuh  pada  kemungkinan  menyukai—dan  tidak  menyukai  dari  bentukan-bentukan  puisi  yang  mengolah  dua  hal  yang  saya  tulis  di  atas.

SENJAKALA

gerbang  waktu  yang  membuka  palungnya
menerima  matahari, melepas arwah  bangkit
dari tidur  bunga-bunga.  satu  dua  camar  memucuk
kenangan.  lautan  yang  resah  menikam  detik  istirah.

lalu  engkau  turun  telanjang
mencelupkan  kaki  ke dadaku  yang  hampa
matahari rebah  ke  lahat  bumi
mencair  ke  mataku  yang  sunyi

Yogyakarta, 2012
(Ahmad  Kekal  Hamdani)


SERENADE

ketika  matahari  lepas  dari  gantungan,  bibirmu  adalah
tidur-tidur  perdu.  penuh   bayangan  malam,  dingin doa
tengah  dilafalkan.  mataku,  kunang  api  rabang  yang 
merangkak  memasuki  tahunmu.  dibatas  antara 
keriangan  dan  sunyi,  pada  dadanya  tumbuh  perahu.

yang  melayari  subuhmu  menjadi  dongeng.  tiap  kali  laut 
hendak  tumpah  dan  nyanyian  dilepaskan  ke  langit.

2012
(Timur  Budi  Raja)

Saya  nyaris  bertaruh  dengan  diri  saya  sendiri,  seumpama  Puisi  Senjakala  dan  Serenade  tidak  diberi  nama  penyair, susah  sekali  menentukan  siapa    menulis  puisi  apa.  Matahari, langit, malam, sunyi,  waktu  dan  penanda  waktu, tidur,  mata,  citraan-citraan  itu  menjadi  nama-nama  orang  yang  seperti pernah  saya  hafal  dalam  silsilah keluarga  saya.   Saya  tidak  tahu  dan  penasaran,  apakah  puisi  bisa  dijinakkan  dengan menyangkut pautkan  roh  geografis  dari  kampung  halaman  si  penyair. Sebenarnya  ini  menjadi  mudah  dipatahkan  ketika  kita  berpendapat  bahwa  ini  benar-benar  kebetulan  belaka  dari  ratusan judul  puisi  yang  barangkali  sudah  Kekal  dan  Timur  tuliskan. Ah, meranalah  saja  Julia  kristeva  dengan  pemahaman  intertekstualnya  itu.

Baik  Timur  maupun  Kekal  memposisikan  menjadi  aku-lirik  yang  tidak  terlihat,  Kekal membuka  lanskap  kematian, kenangan,  dengan    tangan  personifikasi. Waktu  menjadi  pintu  raksasa  utama  yang   mesti  pembaca  hadapi pertama  kali  untuk  “menyelam”  lebih  lubuk  dan   menemukan  lanskap  alusi  yang  ia  ciptakan .  Timur  memaparkan  waktu  dengan  menempelkan  turunannya  sebagai  tahun-tahun  yang  mesti  kita  masuki  sebelum  menemukan  dongengan  yang  transenden.  Tidak  seperti  dalam   sekumpulan  puisi  DukaMu  Abadi  milik  sapardi  Djoko  Damono  yang terbit  di  tahun  1969,  di  puisi-puisi  ini  kita  akan  dipertemukan  dengan –mu, -mu  kecil   yang  sejajar  dengan  kita,  hingga menawarkan  kemungkinan baru (?) dalam  merefleksikan  teks.  Membiarkan sesuatu  yang  ghaib  dan lama  menjadi  ritus  terasa  intim  sekaligus  asing  dan  liar.

barangkali  yang  perlu  saya  catat,  dan  ini  bagi  saya penting.  Saya  merasa  janggal  dengan   perpindahan  yang  dilakukan citraan  kekal. Benar, seorang  penyair  tidak  perlu    musti  berpatokan,  puisi  yang  baik  adalah  puisi  yang padat  padu.  ia  boleh  saja  membuat  struktur  puisinya  berisi  peristiwa, analogi, atau  aforisma  yang  tidak linear.  Kadang  yang  khaos  dan  saling  bertolak  punggungpun bisa  digunakan.  Saya  belum  bisa  memasuki  loncatan  tidur  bunga-bunga  ke satu  dua  camar    memucuk  kenangan. entah  kenapa  ada  jarak  yang  tidak  mungkin  saya jangkau begitu  saja, saya   secara  spontan  memberikan  konjungsi berupa  frasa  dari  saya  sendiri  untuk  menjembatani  pembacaan  saya,  padahal  di  kuplet  kedua, kekal memberikan  sesuatu  yang  utuh  kepada  saya.

Dalam  puisi  Timur,  kecemasan  kita  dimulai  dengan  menyaksikan  matahari  yang  lepas  dari  gantungan--bukankah  ini, gambaran  lain  dari   “matahari  rebah ke  lahat  bumi” milik Kekal , Timur  juga menggunakan  perangkat  personifikasi, ia  menggerakkan  adjektiva—nomina dengan  tenang  dan  tangan  yang  lembab. Namun  di  puisi  ini  dia  menghindarkan  kemelut  metaforis. ia  mengerahkan  seluruh  “kepasrahannya”  kepada  bahasa.  Laut--perahu—melayari:  suatu  hari,   penyair  Timur  pernah  melemparkan  guyonan  tentang  diksi-diksi  agraris  dalam  sebuah  diskusi. Saya  terbahak  jika  ingat  itu,  dan  mungkin  akan  melemparkan  guyonan bahwa  dia  menggunakan  diksi  maritim  atau  malah  nautika di  puisinya  kali  ini. 


 Saya  yakin, meski  nama  besar  mereka  sebagai  penyair  tidak  membuat  keobyektivan  pembacaan  saya  goyah, akan  kelewat  sempit  dan  rapuh jika  puisi  cuma  dijangkau  dengan  pelabelan  baik  dan  buruk. Matang  atau  belum  matang. Baik  kekal  maupun  Timur  dengan  puisi-puisinya  menjadi  guru  tan-kasat  mata  bagi  proses  menulis  saya. bagi  saya   pribadi, usia  proses  kreatif  mereka  adalah  mata  pelajaran.

Tidak,  saya  tidak  sedang  menaruh  dua  puisi  ini  dalam  sebuah  ruangan  kelas    yang  berkemungkinan  contek-mencontek  ketika tiba  sesi  menulis  puisi  dalam  pelajaran  Bahasa  Indonesia.  Justru  saya  meyakini, selalu  muncul  aksentuasi  berbeda   dari  obyek  pandang  yang  sama. Seperti  halnya  tadi  saya  singgung, bahwa  Kekal,  Timur, Sapardi,  memiliki  peta  sendiri  ketika  mesti  mempresentasikan  waktu  dan  kesunyian.

Mulialah  kekosongan.  Amiin.
__________________________________________________________________________

Arif  Fitra  Kurniawan,  bergiat  di  Komunitas  Lacikata-semarang. Tulisan  ini  dibuat  untuk  kepentingan  Diskusi  buku  “Mahar  Kebebasan”, Antologi  Puisi  Wika  Setiawan  DKK  di  WatuJowo  Art  Studio. Borobudur, Kabupaten  Magelang
saya  sudah  terima  buku  "Back  to  Ubud",  bang  Saut Poltak  Tambunan,  terimakasih.

SEPENGGAL DARI SUBAGYO

Seperti berabad lalu anak Tuhan
sebelum ajalnya di salib berteriak:
"Allah, Allah, mengapa daku
kau telantarkan!" keluh itu

-- Subagyo  Sastrowardoyo, Sajak  yang  Tak  Pernah  Mati