Aku Betah Bermukim di Dadamu, Ibu



(oleh: Sofyan Adrimen)

BUAH PIR YANG MAHIR BERPURA-PURA
I.

Peristiwa menyembunyikan pemahaman dari ranting kebodohan sebab mungkin ia tahu benar bahwa perbuatan itu bukanlah sebuah dahan yang sanggup menahan buahnya. Pemahaman akan menentukan keutuhan sebuah pohon untuk membebankan dirinya pada manusia, sebagai penampung sementara kebijaksanaan yang tak akan pernah menetap di atas bumi ini, sebab tubuhnya adalah waktu itu sendiri—perubahan  yang abadi di pohon-pohon manusia. Sedangkan manusia hanyalah awal, akhir dan di antara yang dua itu, perjalanan yang sudah ditentukan di mana, kapan atau berapa lama perjalanan itu akan sampai pada ujung-nya.


Kesadaran bisa jadi adalah ‘buah pir yang mahir berpura-pura’. Buah pengetahuan itu telah dimakan oleh manusia, sebagai tanah, maka ia akan menumbuhkan pohon-pohon itu, sebuah hukum alam yang tak bisa ditolak oleh manusia sebagai penanggung ranting-ranting yang akan membungakan ujungnya, berputik terus menghasilkan buah dan membenihkan tubuh baru, yang uniknya sekaligus membawa benih baru untuk ditumbuhkan/tumbuh sendiri. Entah kapan atau di mana waktu itu telah manitipkan kesadaran, pengetahuan, pemahaman ataupun kebijaksanaan tersebut ke dalam tubuh manusia, tetap saja menjadi suatu peristiwa misterius yang harus ditanggung manusia seumur hidupnya.

Pengetahuan memisahkan manusia di tiap-tiap persinggahan dalam perjalanan ke tujuan akhir, mengasingkannya ke dalam tubuh mereka sendiri, samudera dengan segala yang ada dalam rahim, daratan dengan segala yang ditampung dan langit dengan segala yang dikandungnya. Pilihankah ‘pengetahuan’ itu?, bisa ya…bisa tidak, sebab Tuhan tak pernah mendefinisikan sebuah pilihan bagi manusia, melainkan anjuran, saran dan larangan dalam setiap campur tangannya dalam hidup manusia atau ia sebenarnya memang  sebuah ‘buah pir yang mahir berpura-pura’?...

 

ESKAPIS
ESKAPIS-ME/eskapisme/ n Sas kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayal atau situasi rekaan---KBBI. Penyair sepertinya adalah penyangkal ulung dari tata bahasa yang membatasi makna kata-kata. Sebaliknya seorang penyair justru melebarkan makna kata itu ke arah yang sanggup dilakukannya(selama) dalam peran kepenyairannya, seperti nasib kata-kata dalam buku ini yang ditangani oleh seorang juru masak handal(Chef). Sebuah pilihan unik bagi seorang penyair untuk menekuni bidang ini sekaligus menantang dan mengalir liarkan selera kepenyairannya, seperti racikan-racikan dari dapur seorang ibu yang menjadi pijakan dan tumpuan pulangnya bahasa itu dengan segenap maknanya. Namun aku tidak akan menekuni ‘nasib kata-kata’ itu di sini sebagai teks, melainkan  lebih kepada apa yang telah disajikannya secara utuh sebagai ‘buah’ yang harus kita makan, apapun rasanya, setelah ia pergi meninggalkan sajiannya untuk kita.

Ruang imajiner adalah ruang yang tak ada batasnya, ruang yang tak bertepi sejauh-jauh kita menutup mata. Penyangkalan terhadap ruang fisik di sekitar kita yang penuh dengan batasan dan pagar-pagar alami yang kita patuhi berdasarkan, hukum, peraturan, adat, etika, moral dan kebiasaan, dst. Ruang ini dimiliki oleh tiap  manusia yang ada di bumi, tiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui apa yang terjadi atau ada apa dengan imaji seseorang yang duduk di sebelah kita sekalipun, satu detik kediaman bisa jadi ia sudah menyelesaikan sebuah perjalanan yang demikian heroik atau romantik dalam tubuhnya tanpa mengusik sedikitpun obrolan yang sedang terjadi. Sebuah ranah yang misterius yang dibebankan pada tiap-tiap manusia, sebuah ranah yang sangat mungkin untuk membuahkan ‘buah pir yang mahir berpura-pura’ itu.

Lalu pertanyaannya, “siapa yang membuahkan buah ini?”, buku ini diberi judul ‘ESKAPIS’, sejumlah puisi, oleh Arif Fitra Kurniawan. Jawaban itu bagiku tidak/belum menjawab pertanyaan di atas, walaupun di situ tertera nama penyairnya. Aku sangat tertarik dengan judul buku ini, sebuah kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris ‘ESCAPE’, yang berarti melarikan diri, menyelamatkan diri, sebuah kata kerja aktif. Dalam kbbi aku tak menemukan arti kata ‘ESKAPIS ‘ini, yang ada adalah seperti yang aku kutipkan di atas, ESKAPIS-ME.Sebuah faham, isme. Sederhana. Namun penyair ini berhasil memukul kita untuk mereka sendiri apa yang dimaksud, diinginkan atau yang ingin disampaikan atau apa yang ada dalam buku ini, Eskapis adalah buah itukah? Yang harus kita kunyah, penyair ini berhasil ‘menelunjukkannya’ kedalam pikiran kita, terutama aku. Seperti yang aku katakan di atas, aku tidak akan menekuni ‘nasib kata-kata’ di tangan seorang Chef dalam buku itu, aku ingin menekuni yang liyan, yang begitu mengusikku dalam kata Eskapis itu.
 

Penyair memiliki otoritas khusus terhadap kata-kata dalam bahasa. Seperti ranah imajiner, ia seperti tidak mempunyai batasan untuk merombak, menghancurkan kata-kata dengan segenap tanda dan penandanya, sebelum kembali merekonstruksinya. Hal ini tentu juga tak terkecuali dengan kata ESKAPIS itu sendiri. Tempat yang paling aman untuk melarikan diri adalah ke dalam tubuh kita sendiri, tempat paling leluasa menghancurkan diri adalah di dalam tubuh kita sendiri, sebelum penyair  kembali menyusun ke dalam bahasa, tubuh baru sebagai sebuah buku dengan judul di atas. Kumpulan sejumlah peristiwa-peristiwa yang setelah melewati penghancuran, di dalam dapur penyair  kembali menyusun tubuhnya menjadi buah-buah dalam bentuknya yang baru, dengan ruang-ruang lentur yang penuh perhitungan untuk tempat menepirenungnya para eskapis(pembaca) di luar tubuhnya.
Puisi sebagai keindahan hasil bentukan baru dari penghancuran peristiwa kedalam bahasa—peristiwa  yang membenturkan diri ke tubuh sang penyair atau sebaliknya. Ruang puitik—sebagai  salah satu keunikan yang indah hasil dari penciptaan puisi, ini yang ingin di tekankan oleh penyair ini atau oleh tersusunnya kata-kata(puisi-puisi) dalam buku ini. Sebuah tempat yang liyan, di mana segalanya serba mungkin, bukan sebuah kamar seperti di mana Kafka terperangkap sebagai seekor serangga, lebih sebagai sebuah kepompong di luar jendela SDD. Namun tentu semua itu harus mempunyai pijakan/pondasi atau titik awal yang kuat seperti membangun sebuah bangunan yang utuh, terutama dalam sebuah buku kumpulan puisi. Nilai harus menjadi hal utama disadari atau tidak oleh seorang penyair. Nilai yang diharapkan melahirkan kupu-kupu bukan seekor kecoa.

 

BEBERAPA ALASAN SERTA ULASAN MENGAPA 
AKU BETAH BERMUKIM DI DADAMU, IBU
:teruntuk ibundaku Wiwik Wahyuni

- Tiap kali petang datang dan menyelinapi
kisi-kisi dadamu, sengaja bergegas kau menyalakan
saklar lampu- lampu ingatanku.
lampu yang warna cahayanya tabah untuk terus terjaga
demi rabun mataku agar tetap betah bermukin di dadamu
demi membaca masa lalu yang mudah sekali
terhapus dari papan tulis di jantungku,


Ibu representatif dari ‘rahim’, selain rahim, di tubuh ibu juga menyimpan ‘dada’, salah satu agama pun menegaskan kedudukan ibu itu tiga tingkat di atas kedudukan ayah. Apakah dada ibu juga tiga kali lebih lapang dari dada ayah?. Puisi ini diletakkan di awal buku Eskapis, sebagai gerbang penyambut pembacaan kita. Sebuah pelukan yang indah sebagai penyambutan dari buku ini untuk memasuki tubuhnya. Reprentasi dari rahim(penyayang) dan ibu(dada puitik) serta penyair yang juga adalah sang ‘eskapis’ itu sendiri. Penyajian yang menarik dan unik, penyajian yang utuh dan menyentuh, bukankah ini yang harus menjadi awal dan ujung dari lahirnya puisi itu?, sebelum kita akhirnya menjatuhkan tuduhan pada diri sendiri, ‘aku juga seorang ‘eskapis’…, tentu setelah menyelesaikan membaca buku ini secarah utuh, sebelum tuduhan berikutnya tercapai yaitu ‘buah pir yang mahir berpura-pura’.

 

Peristiwa bertugas mengalienasi manusia berdasarkan perbuatannya, ibu juga adalah representasi dari peristiwa, yang penuh dengan kasih, yang sangat mempunyai kejelasan kemana sang anak akan dibawanya—ke  dalam dadanya sendiri. Di sanalah pengetahuan itu berawal, yang tersadari dan yang belum/tak tersadari oleh manusia. Ruang tak terbatas tempat di mana pengetahuan bertumbuh kembang, seperti kata pepatah ‘kasih ibu sepanjang jalan’ itu, ruang yang membuat penyair ini mampu mengitari segala peristiwa yang membentur dan mengitarinya dari segenap sudut pandang yang ia maui. Sebuah pijakan untuk berangkat dan sekaligus tempat pulang yang tak terbatasi waktu yang kini telah bermukim di dalam ‘dada’ penyair ini sendiri, sebagai pondasi yang kuat. Eskapis ini sendiri juga merepresentasikan dirinya sebagai keberangkatan itu, yang sangat lentur, yang mampu pergi sejauh yang ia ingini dan kembali pulang secepat yang ia kehendaki—ke  dadanya sendiri, ke dada sang ibu yang kini mukim di dadanya sendiri—inilah  keanehan yang unik dari puisi yang bertubuh bahasa itu atau sebaliknya.

- Aku selalu ingin menjadi masa kecil paling mungil,
seperti kutu atau bahkan kuman
--yang cuma bisa ditangakap oleh mata mikroskop
bertitik api paling panjang--

ketika engkau mengecupkan bibirmu
yang buku itu kepada dongeng mataku sebelah kanan.
dalam tidur tak henti aku membelah diriku ribuan kali,
menjadi tokoh-tokon yang hidup di sepanjang
kisah ajaib yang pernah engkau tumpahkan
dari dada ke liang telingaku yang manja
sebab di sana hidupku yang maha kecil ini
selalu merasa paling menang dari semua perlintasan
yang dicipta oleh keberangkatan---kepulangan
 

2011
 

Kata ‘Aku’ yang dengan sengaja ditebalkan dalam kutipan puisi di atas, adalah anak panah sekaligus busur yan ia rentang ke alamat yang lurus ke dada kita, ketika kita menuruni bait ke baris sampai ke bait dan baris terakhir itu—kapankah  atau siapakan yang telah melepaskan regangan anak panah atau busur itu?, kita merasakan sampainya anak panah itu ke tubuh kita, namun dalam perjalanan pembacaan yang singkat, kita kehilangan pengetahuan tentang apakah ‘aku’ di awal puisi ataukah malah ‘aku’ di tubuh kita sendiri yang telah melepaskan lesatan anak panah itu(sebuah kesadaran yang jauh pada akhirnya mendekat kepada  kita  untuk memantik pengetahuan itu) Yang kita sadari setelah itu hanyalah benturan sebuah ‘peristiwa’, peristiwa yang sebenarnya tidaklah ‘asing’ dalam tubuh ini, namun tetap saja hasilnya suatu keasingan yang datang dengan tiba-tiba.
Salah satu keagungan Tuhan adalah, Tuhan tidak menciptakan manusia yang sama presisi antara satu dengan yang lainnya, meskipun orang itu dikatakan sebagai kembar yang identik sekalipun. Kesadaran yang secara politik dan sosial, yang berusaha keras disangkal orang banyak dalam sejarah kehidupan manusia. Demikian juga dengan seorang penyair, eskapis yang mahir ini—hasil  rekonstruksi peristiwa yang kini menempati kata-kata dalam bahasa puisi di atas, sebagai peristiwa puitik, ia membawa ‘keberbedaan’ secara kemanusiaan(umum), kepenyairannya(khusus) dan yang utama adalah pengetahuan yang telah membesarkannya di ‘dada’ ibu itu(spesifik), sebuah nuansa yang tidak hanya membentuk dirinya dari kepemilihan kata-kata dari bahasa sastra itu.

 

Alasan kenapa ia betah bermukim di dada, ibu, telah nenumbuhkan pengetahuan pada sang eskapis ini. Pengetahuan itu sendiri telah juga menumbuhkan kesadaran baru sebagai produk dalam dunia sastra, kepenyairan, akibat peristiwa-peristiwa yang berlaku sebagai katalisator dari proses berkreativitas dan berkehidupan dalam masyarakat, sebatas yang ia jalani sebagai bagian dari komunalitas manusia dan lingkungannya.
Sebuah pijakan telah ditapakkan, sebuah pondasi telah ditanam, ‘…di dadamu, ibu’, katanya. Di mana aku betah berlama-lama, di dada kita juga begitu, ia telah menumbuhkan ketertarikan agar betah berlama-lama juga di dada kita sendiri ataukah ini dadamu, ibu?. Aneh yang unik bahasa ini, puisi ini, sastra ini—hujan  pasti akan membasahi kita, namun hujan tak akan pernah mampu melunturkan kenangan, kenangan tentangmu ibu. Dan eskapis ini telah membawa kenangan itu seperti haru suara hujan ke tubuh kita yang sering membatu ini, menyiramkan basah dan hitam yang ingin memutih seperti kesadaran, kesadaran yang begitu gampang tertimbun dalam pikiran dan keinginan kita.

Seperti kepompong di luar jendela SDD itu, yang ingin terbang sebagai kupu-kupu,sampai di sini ‘ESKAPIS’ ini  mekar, sekaligus lewat aromanya mengabarkan, bahwa ia tak berhenti sampai di sini, ada putik yang mendesak bunga itu agar menggugurkan kelopaknya, ketulusan yang dimohon kata secara puitis, ada titik yang akan menjadi buah, buah yang liyan—buah  pir yang mahir berpura-pura.


Kecil-Kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak
 

sebesar genggam padaku
masa depan kau lempar menjadi berhala pikiran
sekali saja skala itu sengaja mencipta masing-masing
tangis kita agar salah memasang linang
            sebab sebenarnya di peti mati, tuhan             
            serahasia mungkin menyimpan
            peta buta silsilah mata kita

yang mengelabui jutaan duri
yang tumbuh dari dalam daging ingatan
kita sendiri
hingga aku berpikir perlunya
berganti-ganti tubuh
berkali-kali menjadi kaca mata utuh
agar tiap kenyataan yang cacat
mampu lekas-lekas kita ralat


Eskapis | 21


Semarang, 20 Jan 014
(tulisan pertama dari dua tulisan yang di rencanakan)

Dari The Cost of Living

untuk marmut-marmut dan rubah dan apa saja di muka bumi yang terancam dan terteror oleh ras manusia.
-- Arundhati Roy, The Cost of Living.

TANGAN SEORANG CENAYANG


di kejadian ini telapak tangan kasapnya
menutup wajahmu, dan dunia pelan-pelan
terbuka.

kau paham jalan keluarnya dan mulai
berbisik-bisik kepada benda-benda menghitam
bekas disentuh ekor kebencian Kerala.

akan aku ingat sebuah pagi mampu kau saksikan
dirimu sendiri berkata
: peras, peraslah surgaku seperti
sepasang melon busuk ibumu.

Eskapisme dan Migrasi ke Dunia Khayal



Eskapisme dan Migrasi ke Dunia Khayal
(Oleh: Muhammad Aswar)

Semacam Pembuka
Untuk memulai perbincangan ini, izinkan saya mengajukan beberapa pembelaan apologetik atas pembacaan saya terhadap Eskapis. Pertama, buku ini baru saya terima tiga hari yang lalu: tentu sangat tidak komprehensif untuk melakukan pembacaan terhadap sebuah buku, apalagi kumpulan puisi, dalam tiga hari. Terlebih, kecenderungan puitik Arif Fitra Kurniawan, yang, bagi saya pribadi, berbeda dengan puisi-puisi yang sering saya baca. Ia penuh dengan metafora dan diksi yang segar, juga citarasa bahasa yang khas.
Oleh sebab itu, pembacaan saya pasti sangat sederhana dan tak bisa sepenuhnya dijadikan rujukan untuk memasuki dunia puisi Arif dalam Eskapis. Tulisan ini hanya percobaan awal sebelum memasukinya.

Eskapis, Eskapisme, Universum
Dimulai dari judul buku, Eskapis. Eskapis mungkin diambil dari kata bahasa Inggris, escapist. Escape berarti lepas, keluar, lari, melarikan diri. Sementara eskapisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan sebagai kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketentraman dalam dunia khayal maupun situasi rekaan.
Mengapa lari dari kenyataan? Sebab gagasan, ide dan segala yang timbul sebagai pengharapan, tidak sesuai dengan kenyataan yang sedang berlangsung. Ibaratnya seseorang yang telah berdandan dan mengharapkan dirinya lebih indah, namun ketika bercermin, ia ternyata tidak indah sesuai pengharapannya. Menghindari atau menghancurkan cermin, bahkan merusak wajahnya sendiri, bisa jadi bentuk eskapis.  
Sikap ini, dalam sosiologi Durkheim, timbul akibat melemahnya solidaritas sosial: ketika kohesi sosial semakin melemah, dan struktur sosial tidak mampu melindungi tiap individu, pada saat itulah individu melepaskan diri dari sosialnya. Durkheim sendiri, karena meneiliti fenomena bunuh diri, menyimpulkan bahwa tindakan bunuh diri merupakan bentuk pelarian dari realitas sosial.
Dalam filsafat, pelarian bisa dari dua situasi, kenyataan dan realitas. Lari dari kenyataan disebut eskapisme, sementara lari dari realitas disebut posmodernisme. Kenyataan adalah apa yang terjadi dan dapat diamati dengan panca indra. Realitas adalah apa yang di balik dari kenyataan itu. Jika kenyataannya orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin, berarti realitasnya terjadi ketimpangan sosial.
Kita tidak mencoba untuk melihat bahwa eskapisme berasal dari kenaifan dan posmodernisme dari idealitas, tapi keduanya berada dalam satu cara berpikir, yang sering diistilahkan sebagai mazhab abstraksionisme. Mazhab ini merupakan gelombang baru yang mengingkari kenyataan dan realitas serta berupaya untuk melarikan dirinya darinya, lalu mendekam di “alam gaib”.
Ada dua ciri utama dari mazhab abstraksionisme. Manusia dan universum (alam dan realitas) berbeda, kadang saling mengisi, tapi lebih banyak diposisikan sebagai oposisi. Manusia adalah wujud yang mengindra dan merasa. Manusia adalah makhluk pencipta yang, tentunya, lebih tinggi derajatnya dibanding entitas-entitas material lainnya. Alam adalah benda mati; tidak memiliki pikiran dan perasaan. Ia tidak memiliki daya mencipta, membangun dan inovasi. Manusialah yang berkehendak, memilih, membangun, dan merasakan apa tindakannya dan apa yang telah dipahaminya tentang alam. Karenanya, alam yang bergerak (realitas) merupakan konstruk dari pikiran dan keinginan manusia.
Pemahaman ini cenderung menghasilkan manusia-manusia yang selalu merasa terasing dengan universum. Keterasingan muncul disebabkan atas dasar merekalah yang mengontrol alam, namun alam berjalan tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan dan inginkan. Tidak sebatas itu, mereka akan menghindari alam dan membangun dunianya sendiri lewat khayalan dan rekaan.
Di Eropa dan Amerika, paham ini menampakkan diri terutama dalam kesenian. Ia kemudian menciptakan sinetron-sinetron dan sastra populer. Keduanya bangkit membawa dunia yang sepertinya tidak realistis bagi kaum borjuis dan pengagum keagungan seni.
Sampai hari ini, karena sastra kita terlanjur berpatokan pada sejarah sastra di Barat, maka klasifikasi yang kita gunakan pun tetap mengikut kepadanya: sastra mainstream, sastra avant garde dan sastra populer. Sastra mainstream dan avant garde tumbuh dari suatu kebudayaan dan tradisi intelektual suatu bangsa. Kegiatan intelektual itu bertujuan mencari kenyataan hakiki kehidupan, untuk dapat memperbaikinya. Sastra populer tumbuh dengan mengikuti sastra sejati, namun peniruan sebatas bentuk lahirnya dan kurang berminat terhadap pencarian hakiki kehidupan. Alih-alih memperbaiki, sastra populer justru mengajak pembacanya melupakan nilai hakiki kehidupan dan masuk ke dalam kehidupan yang tidak realistis.

PRODUK BENCANA PASCAKOLONIAL (Jawa Pos, Minggu 4 Januari 2015)




PRODUK BENCANA PASCAKOLONIAL
Judul: Angela
Penulis: Frank McCourt
Penerjemah: Meda Satria
Cetakan:  I, Oktober 2014
Penerbit: Penerbit Matahari
Jumlah halaman: 594 halaman
Judul Asli: Angela’s  Ashes
ISBN: 978-602-1139-55-4

Milan Kundera dalam  bukunya Art of Novel menulis, seorang novelis bukanlah ahli sejarah dan juga  bukan nabi. Melainkan  seseorang yang bersungguh-sungguh mengeksplorasi eksistensi tokoh-tokohnya. Keberadaan manusia itulah yang memang mesti diolah sedemikian rupa, tak peduli jika  kadang berurusan dengan sejarah, ia harus tampil beda dalam memberikan nilai estetisnya kepada pembaca. Sejauh ini kita mungkin bisa bertanya dan berhitung, sudah berapa novel hadir menyajikan peperangan, kemiskinan, genosida, atau segala renik  dari tragedi humanitas, tapi kita juga tetap akan berdecak untuk mengakui, bahwa  beberapa dari teks-teks tersebut memang muncul untuk kita kagumi, seolah novel tersebut lahir dalam upayanya menonjok dan memberi tahu kita: Setiap mahkluk tidak sesederhana yang kerap kita pikirkan.

Itu juga kiranya yang ingin disodorkan  oleh Frank McCourt lewat  novel  Angela (2014, Penerbit Matahari). Novel pertama McCourt yang mengantarnya menjadi pemenang anugerah Pulitzer Prize pada tahun 1997, juga bersamaan dengan itu ia juga diganjar penghargaan dari national Book Criitic Award, Los Angeles Time Award,  serta Royal Sosiety of Literatur Award. 

Novel yang berisi kronologi kemelaratan   Angela dan keluarganya,  produk sebuah bencana post-kolonial. Perempuan yang diciptakan di dalam gambaran lanskap sengkarut  periode di mana Irlandia  terus saja  gamang dengan kemerdekaannya. Namun  800 tahun memang  bukan sekedar angka kesakitan  bagi penduduk sebuah negeri. Itu adalah neraka yang mesti diceritakan kepada  anak cucu  sambil mengumpat, sambil menuding-nuding dan tentunya dengan sedakan  air mata.
Sejarah mencatat, The Troubles, istilah yang digunakan khalayak untuk menyebut kecamuk konflik yang terjadi di Irlandia, irisan kepentingan yang menjadi luka sejarah antara utara dan selatan Irlandia, antara kaum republik dan kaum loyalis yang berlangsung hampir empat puluh tahun dari rentang tahun 1960 sampai 1998, dan sampai saat pun ini percikan-percikan dari konflik itu masih saja belum hilang. Demikianlah data sejarahnya. Namun Frank McCourt lewat novelnya ingin berbicara lain. Dalam novel, sebuah sejarah tak pernah sesederhana angka statistik. Dia menjadi kumparan kompleksitas karena tiap tokoh membawa sesuatu bernama eksistensi.

Adalah Angela, perempuan yang awalnya bermigrasi ke Amerika untuk bertaruh barangkali di tanah utopis yang waktu itu dipimpin oleh Rosevelt,  kehidupannya akan membaik, tidak hanya jadi rongsokan ketika di negeri sendiri. Namun apalah daya, nyatanya Amerika  tak lebih ramah dari Irlandia. Angela  lantas kembali ke Irlandia, kembali  terlempar ke dalam mimpi-mimpi buruk. Angela harus mau menerima kutukan hidup di gang sempit Limerick— zona kumuh di Irlandia selatan kala itu. Melahirkan banyak anak. Hidup dari mengemis kupon makanan di Dinas Sosial. Menjadi saksi bahwa agama selalu saja berdiri di atas tiang kepentingan masing-masing yang kadang menyakitkan.

Kronologi kemiskinan ini  diceritakan oleh  aku  narator, bernama Frank— sulung  dari  enam bersaudara  anak-anak Angela, hasil dari pernikahannya di Amerika dengan Malachy, seorang  mantan pasukan IRA, yang  hidup dari halusinasi  dari pub ke pub untuk minum sampai mabuk, ketidakpedulian terhadap  apapun selain membangunkan Frank dan adik-adiknya tiap fajar, untuk menyanyikan yel-yel lagu patriotik dan menyuruh mereka  bersumpah siap mati demi Irlandia.  Sementara perut  Frank dan adik-adiknya ini tak berisi apapun berhari-hari.  Dengan narator  anak kecil, Frank McCourt  tidak sulit kiranya menampilkan hal-hal menakjubkan dalam novel. Anak-anak adalah semesta liar.  Kita bisa melihatnya dari cuplikan ini,