oh Tuhan !

oh tuhan,
tubuhku kotor sekali.
air mana yang bisa membersihkanya ?
tubuhku kotor sekali.
kotor sekali.
sengaja kukotori.
aku memang bandel.
sudah kau bilang jangan main lumpur.
aku malah sengaja mencebur.

Tuhan yang maha tak bosan.
buatkan aku bak mandi raksasa ya.
aku pingin berenang disana.
aku pingin mandi maaf darimu.
aku yang kecil dan sering ambigu.

Tuhan ?
kok diem aja siiih ?
marah ya ?


gambar dari sini

Padamu rahimku


Padamu.

Pesanku lebih dulu jadi kertas

di genggam hujan.

Yang terbaca cuma batas jalan,

Sungai, batu kali, dan naifnya keraguan.

Kau mencariku,

membolak balik tiap halaman.

Namun percuma.

Tak ada aku disitu.

Padamu.

Kisahku kadang ingin berpaling.

Mencari bibir lain

yang lebih mahir mengucapkan sihir.

Barangkali kudapat rongga lebih lapang,

Menerima alamatku yang baru,

Sesudah nanti kubangun rumah

dari rumput dan aroma tanah .

Namun sia sia.

Tak ada yang lebih mungkin.

Tak ada yang lebih paling.

bagiku janin yang terlanjur dikutuk rahim.

Padamu..

Ku ejakan berapa entah yang tak mau surut.

Labil,

Sering menjadi gelombang memusuhi perahu.

mengucilkan harga diriku.

lihat,

cahaya lampu diatas mercusuar padam.

tinggal matamu menghalau ribuan kunang-kunang.

( rahim, rahim, rahim : saya tak habis pikir, sampai skarang saya terus dihantui perasaan mendua )


gambar dari sini

kita, lilin, korek api


engkau yang datang sambil menyeret bandul jam.

yang kutakuti sebagai utusan penarik upeti.

namaku Juni, cantik dan dinamis.

begitu kau selalu menyapa diri sendiri.

ya, selalu saja aku hampir lupa.

Disaat kau bersila,

membacakan mantera pada angka dua puluh dua.

mengecatkan warna ungu pada ruang pribadi ingatanku.

aku masih sibuk di ruang tengah,

mengaduk kopi, menambahkan gula,

bersiap menjadi makan malam sederhana

diantara kursi dan meja.

aku tahu , diatas meja, kau adalah titik

dimana segala garis silang saling bertemu.

Semerah gerak yang berumah pada darah

Sekilas penglihatan yang dikenakan oleh mata.

Sedenting pendengaran yang dipakaikan untuk telinga.

Letih sungguh usia ini dipinjam tubuh.

Kita, lilin. Korek api.

Makin pucat.

Makin cacat.


( entah dimana yang salah, saya yang sering merasa kehilangan masa kanak saya, atau waktu yang terus saja membujuk saya agar cepat cepat dewasa )


gambar dari sini


lihat betapa dinding dan jaraknya dirimu


lihat betapa jaraknya dinding ini,
terus mengunci tipis bayanganku,
yang ingin menyentuh warna gaunmu.
engkau sungguh aman.
cuma bisa kumaki dari kejauhan

lihat betapa jaraknya dinding ini,

tak pernah mengijinkanku membangun sebuah pintu.
kau tahu.
aku mirip tumbuhan yang diusir dari hutan.
gigil, makin lapuk dirambati pertanyaan.

lihat betapa jaraknya dinding ini,

hingga kadang kutempelkan telingaku,
membiarkan tiap percakapan lepuh,
barangkali rasa sakit bisa kutebak
ia sudah melangkah seberapa jauh

lihat betapa dindingnya jarak ini,

menelantarkanku,
menghapus plang arah dan nama jalan.
hingga kaki,
tak tahu apa yang ia tuju.
sedang pulang atau hendak bepergian.

lihat betapa dindingnya jarak ini

ditinggalkan tiang lampu perempatan.
kini cuma resonansi,
yang pada dadaku,
kuyakinkan itu detak jantungmu.
yang pada telingaku,
kuyakinkan itu getar tangkup bibirmu.
hihhhhh !


gambar diambil darisini

Nitip Bingkisan Buat Ibu

Gambar  ini  masih  saya  amati  terus, gambar  usang  seukuran  kartu pos, diambil  tepat  pada  waktu  usia  saya  genap  satu  tahun,  itu  berarti  gambar  ini  diabadikan  duapuluh tiga  tahun  dari  sekarang. Dua puluh  tiga  tahun !
Begitu  lampau  dan  pikun  waktu   yang  saya  punya,  Bril. Begitu  gemuknya  saya waktu  itu ya bril,  bukan  sekadar  gemuk,  tapi  juga  sehat, putih, dan  terawat. dan  lihat, jidatnya itu, jidat  yang  kata  nenek, ya,  benar,  yang  digambar  sedang  memangku  saya  dengan  teguh  itulah,  pernah  bilang  jidat saya   semirip  jidat  milik  Pak  Hatta,  tokoh  proklamator  bangsa. Bukan  Pak  karno,  kata  nenek  Bril. Jidat  pak  karno  nampak  keling,  dan  hitam  manis,  sementara  punya  saya  lebar  dan  putih  bengkoang. Ah,  Bril, saya  tak  tahu  juga, waktu  itu  nenek  sedang  menggigau  atau  sedang  melelo lelo  saya, hm,  ada ada  saja  nenek ya  bril.  Mungkin  dia  ingin  saya  seperti  beliau,  seperti  Bung Hatta,  cendekia, ekonom, demokratis, gemar menabung, dan  satu lagi,  gila membaca !

Perempuan  yang  muda  itu  ibu  saya  bril. Pada  masanya,  kata  orang orang,  ia  perempuan  yang  serba  bisa. Jago  memasak  dan  olahraga. Supel,  terngginas, dan  memiliki  daya  tahan  yang  luar  biasa  saat  melakukan sesuatu. Ah  pokoknya  perempuan  itu  ibu  yang  paling  ibu. Kamu,  tahu, satu  hal  saja  mungkin yang  selalu  mengantar  saya  pada  determinasi paling  tinggi  dalam  kehidupan,  adalah  mewujudkan  satu  permintaan  ajaibnya.  Kamu  pingin  tau  apa  satu  permintaan  itu ?
Bril  ,  perempuan  itu  cuma  minta

ia  pingin  melihat  hidup  saya  lebih  baik. 

Belum  puas  Bril rasanya  saya  menikmati  kedekatan, kehadirannya  dalam  merawat  usia  saya  yang   tiap  detik  tumbuh. Meninggi . menua. Ia  pamit  pergi, waktu  itu  saya  labil,  usia  saya  masih  delapan belas  tahun.  Sulit  rasanya  melepasnya, mengepak  koper  besarnya, membawakan  keperluannya  selama  bepergian. Ia  hijrah, ke tempat  yang  katanya  cuma  bisa  di jangkau  cahaya.  Tapi  aneh,  perempuan  itu  malah  tersenyum,  seriang  anak anak  TK  saat  naik  bus  pariwisata. Tangannya  melambai.  Dan  perempuan  itu  berujar  dari  kaca,  nanti  ibu  kabari  kalau  sudah  nyampe, jaga  dulu  rumah,  ayah,  dan  adikmu  ya  yip…
Waktu  itu  saya  sempat  setengah  berteriak,  ibu,  nanti  kalau  yipp  kangen  bagaimana.
dan  ibu,  menjawabku,  suaranya  menggema  dari  dalam  bis,

kau  kan  sudah  besar,  kalau  kangen  tulis surat   saja.

tak  ada  gerakan  lain  setelah  itu  Bril,  selain  anggukan  kepala   saya yang  mengiringinya  menjadi  titik  putih  yang  kecil,
kemudian  lenyap.

jadi  ini  sebuah  kebetulan  atau  tidak, jika  malam  ini  kamu mampir  ke sini, saya  memang  berharap  begitu, tolong  ya, sampaikan  bingkisan  ini,Bril,  sampaikan  pada  ibu,  ini  kiriman  dari  anak  lelakinya, yang  dulu  pernah  minta  tiap  hari  dimandikan  air  susunya, yang  tiap  akan  tidur  selalu  menodong  dongeng, yang  dulu  selalu  menangis  saat  kehilangan  mainan mainan  kecilnya. jadi  maaf  kalo  di  bungkus  ini  tak  ada  stempel  bea  wesel,  atau  cantuman  alamat, sungguh,  saya  kira,  cuma  kamu  yang  tahu  alamat  ibu  yang  baru.
salamsuperduper  buat  ibu  disana  ya  bril. bilang  yiip  kangen,  makanya  saya  menulis  surat  ini, khusus  untuknya,  di  hari  lahir :  15  juni  nanti.



catatan :  kalau tiap  orang  selalu  bilang  Selamat  panjang  umur  pada  seseorang   saat  ia  berulang  tahun,  maka  kurasa  ibu  sudah  ngga  perlu  itu.  umur  ibu  sudah  lebih  panjang  dari  doa  itu  sendiri.