Diet Keto dan Merasa Usia Sudah Tua, Bung.

     


Jadi ceritanya, pekan lalu aku menjajal membuat ayam kukus jahe. Ya, tak ada salahnya sih, kalau seorang tukang masak menjajal menu diet keto. Sudah aku tulis sih dalam catatan resepku di situs bapakmemasak.com. Sebetulnya sudah rasan-rasan pengen bikin masakan yang jauh dari area goreng-menggoreng dari kemarin-kemarin. Cuma memang kadang waktu punya caranya sendiri agar keinginan manusia dan kenyataan di lapangan bisa berjodoh. Di mana-mana rumus jodoh kayaknya begitu-begitu sih ya. Klise-lah! Akhir-akhir ini, atau lebih tepatnya tiga tahun belakangan, keluhan-keluhan yang dimiliki manusia sepuh datang satu demi satu ke haribaan. Kadang pas tidur gitu, suka bangun lantaran kaget karena betis berasa kenceng serasa diikat tali kuda. Ternyata itu kram. Lain waktu punggung macam ditempeli pelat baja bahan cor-coran dan kalau buat gerak minta ampun sakitnya. Sebulanan ini malah asli parah deh. Pipis jadi kesendat-sendat kayak klepnya seret atau gimana, pokoknya kenikmatan buang air kecil jauh panggang dari api. Bisa pipis dengan deras sekarang kok jadi barang mewah. Cukup kawanku, kamu-kamu sekalian tak usah menambahi penderitaanku dengan sok-sok an memberi wejangan bahwa ini semua adalah cara Tuhan agar aku mengevaluasi diri.



    Dulu pas masih sering bertemu dengan Kabut di acara-acara terkait tulis-menulis, aku seringya meledek dia yang sebentar-sebentar selalu merogohi kantung celana untuk menyeset Tolak Angin. Babi betul kelakuan macam ini, pikirku kala itu. Lembek. Kabut masih gondrong dan digelung dan wajahnya pucat seperti penderita tipus. Ia tak bisa jauh-jauh dari saset jamu yang katanya diproduksi untuk kaum cerdik pandai itu. Bengek dan kedinginan adalah selimut usianya yang terus merangkak ke pangkal hidup. Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya. Ya pelan-pelan keluhan-keluhan itu mengerubungiku, dan aku tak bisa berbuat banyak.

    Makanya, ketika Fitri protes karena ia sudah merasa capek dan berupaya mengisi tudung saji dengan masakan bikinannya dan tak aku sentuh, aku jadi tambah senewen. Ia tak berempati sedikitpun pada perutku yang kian hari terlihat seperti disumpal ban dalam sepeda motor. Akhirnya sebagai jalan tengah, aku ajak ia mendiskusikan ini. Mendiskusikan bahwa faktanya, usia kami pelan-pelan menyusul mereka yang jadi sering sakit-sakitan lantaran menua. Sudahlah, sekarang kita tak perlu neko-neko soal makanan. Cukup yang dibutuhkan metabolisme saja. Inti perbincangan kami di sekitaran itu. 

    Jadilah sehabis itu aku dan Fitri berupaya tak muluk-muluk untuk meluangkan waktu buat jajan. Paling mentok kalau sedang sange pengen jajan, kami cari warung mi ayam dan bakso. Martabak manis dengan isian keju cokelat pisang favoritku dulu juga otomatis hilang dari daftar kudapan yang harus dibeli ketika aku ingin self reward. Kalau sampai si Brewok Ahsanul Mahdzi tahu ini, ia pasti akan berkelakar, bahwa aku memang ditakdirkan jadi pertapa, yang hidup dengan tapa ngrowot alias makan buah-buahan. 

    Habis, mau bagaimana lagi, usia kian tua saja, Bung!

(Puisi) Usaha Sundari Sukotjo Menghibur Kami

 Sembari membetulkan tusuk konde berkata ia

Di hadapan mata cekung anak-anak kami

Cuma gelembung milik gelombang laut berkilauan 

Mampu mengaburkan duka menggores 

Lambung demi lambung tipis kering mereka


Bagaimanapun kami percaya saja kepadanya

Pada selendang beludru merahnya, pada cahaya

Bulan yang akan terus memutihkan tanggal lahirnya

Serta pada bau maut melingkar di leher kami


Bayang-bayang tubuh kami bertiga

Diombang-ambing lidah lampu minyak kelapa

Suara tingginya seketika mengguncang

Aneka bakteri yang tidur di tobong logam

Milik penjual susu tetangga


Ia memilih sehelai rambut dari salah satu

Ubun-ubun kami. Betapa terpukul kami

Menyaksikan bagaimana ia memanjangkannya 

Seolah-olah hendak menyatukan gugus pulau

Tahiti dan Asamoa nun di seberang sana


Galiung-galiung serta jukung-jukung

Itu tak perlu berlayar lagilah kini demi

Terdesak oleh bubuk mesiu atau 

Bebulir merica


Belum habis decak kagum kami, berjanjilah ia 

Pada kami akan juga mengajari bagaimana

Cara menyulut telunjuk agar bercahaya ujungnya

Hingga kami bisa menelusuri jalan gelap sejarah

Dari mana sejatinya wabah cacar air dan kolera

Di kampung kami ini bermula


Aku mengangguk-angguk saja mengikuti

Batang leher anak-anakku meski tetap

Saja langit-langit mulutku mengering seketika 

Tatkala ia meminta kami bertiga agar silih berganti

Menghafal nama depan Tuan Noah Harari


Apakah Ia penakluk semesta atau

Pembenci lagu-lagumu?


Apakah Ia seorang penyair sejati atau

Sebatas kerani belaka?


Apakah Ia pejabat nan tinggi atau

Cuma kaum rendahan seperti kami?


Sekali lagi kudengar suaranya mendaki

Sementara anak-anak kami membelah gelap

Dari samudra


(Semarang, April-Mei 2020)


Nyanyian Terakhir Seusai Makan Malam



Luka menyusup  ke  nyanyianmu yang
Hendak menghibur sepasang kandil mataku
Agar  bangkit sekali lagi musamu, yaqubmu,
Daudmu, yusufmu menghitung pasir
Dengan meminjam bibir birumu yang getir

Tak bisa kita tinggalkan angin panas yang merengek
Meminta sisa reruntuhan rumah kita
: Tunjukkan pada tubuh tipis kami  pohon aprikot yang pernah
Ditanam hawa sebelum rambutnya jadi rajutan
Bagi para pendusta

Tujuh hari. Bukan tujuh abad.
Tujuh abad. Bukan tujuh hari.

Kau perlihatkan padaku  pelepah ek yang ditatah
Oleh sebuah kabilah yang tak henti meminyaki
Tangan-tangan mereka dengan  masalah.


Kampung Brotojoyo, 2014-2017

Sebuah Bangsal



Dia berbicara tentang kesehatan yang  buruk
Sisa air panas dalam termos
Serta beberapa sanak   hendak menjenguk
Namun tak juga sampai di  pinggiran ranjang

Sementara kau dirawat agar terus sedih
Tak bisa menyaksikan kaki mereka yang pendek.

Mereka memang menyukai tersandung
berkali-kali, kata seorang dokter jaga

“Sebab begitulah tersungkur harus
Mereka letakkan di sisi kiri seorang pencipta rumus,
Penimbang  utang,  juga segala bentuk perumpamaan.”

Mereka tak  sedang  menjauhimu
Meski mereka nanti butuh ratusan tahun
Melakukan perjalanan memutar
Ke gurun-gurun
Ke ladang-ladang
Ke seluruh tanah berlempung

Menemukan  celah tersembunyi yang  dinujumkan
kelak akan melahirkan seorang tukang patri

Demi melekatkan ulang manik-manik  perunggu
Yang pernah disematkan memanjang di bagian tengah
jubah paderimu

Angin—ranting  dadap—bintang-bintang—
Roti tawar—bau  langu  milik leher seorang suster,

Tak sanggup lagi kau tulis sisanya,
Sehabis kau minta dia membuka sedikit jendela.

Gayamsari, 2016-2019

Poire Belle Hélène



Demi  yang menggantung tinggi, putih sunyi
tiap orang akan mati-matian sudi
memanjat seluruh tebing kaca  hendak tahu betapa
mukjizat yang menyusup lewat salib kayu
di ubun-ubun sebuah gereja alangkah menggoda

Tapi barangkali, kau juga  sudah bosan
terhadap kesakitan yang diulang sebagaimana
bulan Desember atau bulan-bulan lain asing
jatuh terpelanting

Sementara sebentang langit  di pagi hari murung
tak bisa menyentuh perangai tanganmu
yang keras kepala memperbesar bara api
di bawah pemanggang roti

Duka masih saja terus menganga
mengolok-ngolok nasib kita, katamu yang lantas
berdiri membersihkan sisa cangkang telur
sembari tetap mengira malam nanti, seusai misa
kita semua akan mati di medan tempur

Aku mengisap kuat-kuat bau pahit panili
yang merembes dari tengkukmu
sebelum nanti dirampas oleh
angin musim dingin yang telah lebih dulu
mengepung kota hingga para tetamu
tak bisa memuji kudapan luhur milikmu

 Semarang, 2019

Tentang Karl



            Aku menunjukkan buku  apa yang  kubaca sebulanan ini pada Fitri, ketika dia bertanya apa yang akan aku tulis untuk agenda Kelab selanjutnya setelah kami semua membaca Vegetarian milik Han Kang. Untuk beberapa saat dia pandangi buku yang kusodorkan. Sampul buku sudah agak kisut di bagian kiri bawah, berpacak gambar separuh badan seorang aki-aki berkumiscambang mengenakan jas. Riwayat Sang Pemikir Revolusioner, tertulis begitu di bawah nama si Tokoh yang dikisahkan oleh buku. Ditulis oleh Isaiah Berlin buku itu rupanya. Siapa itu Isaiah Berlin? Kupikir Fitri bakal bertanya begitu tapi ternyata tidak. Dia meneruskan lempit-lempit baju-baju dan kutang dan cawat dan celana-celana yang sorenya baru diangkat dari tali jemur, sementara aku gagal berolok-olok. Aku pengin dia  bertanya tentang siapa Isaiah Berlin lantas aku akan menjawabnya, penulis dan pemikir terkenal dari seberanglah pokoknya Isaiah Berlin itu.
            Bagi John Elster—orang asing (lagi) yang aku yakin Fitri juga tidak tahu, buku Isaiah ini adalah satu dari dua buku biografi Karl Marx paling apik yang pernah ada. Satu lagi ditulis oleh Rosa Luxemburg, satu lainnya dikarang oleh Leon Trotsky.  Jadi, tulisanku kali  ini tentang Karl Marx?
            Ya, ini tentang Karl Marx. Juga tentang kekeliruan-kekeliruan culunku selama ini.
            Sejak aku kecil sampai akil baligh, nyaris aku melulu dibayangi ketakutan yang timbul dari sensor pengetahuan milik orang-orang sekitarku. Sejak  di sekolah dasar, baik guru-guruku, orang tuaku, tetangga-tetanggaku seperti bersekongkol untuk membuat aturan primitif bersama. Mereka akan menanggungkan dosa besar pada anak-anak mereka yang ingin tahu apa itu Marxis, apa itu Kiri, atau jika ada yang sekadar tanya apa itu kudeta. Kau akan dicap calon penjahat. Kau akan dihakimi seolah kau bromocorah yang ikut-ikutan gerakan terlarang  Partai Komunis Indonesia atau antek PNI. Untuk urusan seperti ini, kau tahu seuprit tentang Bung Karno atau Tan Malaka saja kau sudah dianggap orang yang “berbahaya”.
            Latar penuh halimun macam itulah yang mengantar jalan ketidaktahuanku tentang Karl Marx dan apa-apa yang menjadi buah pikirnya. Sampai aku tamat Sekolah Teknik Mesin-pun di kepalaku cuma bercokol tugu abadi kebebalan: Karl Marx adalah Karl Marx adalah Orang Soviet adalah Orang Komunis adalah Orang keji yang tak punya Tuhan. Kupikir akan lumrah adanya, waktu butuh banyak sekali tetesan airnya buat melunturkan kepandiranku yang kadung mengeras ini.
            Belakangan, ketika segala informasi, referensi, baik dari buku-buku atau omongan orang, atau dari bangku kuliah sudah kudapatkan, aku masih saja tertawa mbedegel, campuran geli dan jengkel karena terus saja menganggap kalau Marx adalah penduduk sebuah kampung di Uni Soviet sana. Sialan.
            Sampai-sampai pada pembacaanku kali ini, aku mesti mengeluarkan stabilo merah, dan menggesutkannya pada lembar halaman 23 di buku untuk menandai bahwa seorang Karl, lahir pada 5 Mei tahun 1818, di sebuah kampung bernama Trier Rheinland, Jerman. (Aku jarang menggunakan alat penanda semisal pulpen atau stabilo ketika menandai buku, karena aku sebagian orang yang percaya kalau buku mestilah bersih dari corat-coret, jika memang tidak perlu dicorat-coret).
            Barangkali, jika kekeliruan menempatkan ingatan ini terjadi pada tempat kelahiran bapakku tak bakal bikin rumit urusan. Tak jadi soal seseorang menyeru bapakku lahir di Pekalongan meskipun faktanya dia lahir di Magelang. Tapi dalam kasus kekeliruanku yang mengingat Karl lahir di Soviet tentu bikin panjang urusan. Jerman dan Soviet terpisah laut dan banyak daratan, dan keliru menempatkan ingatan ini punya konsekuensi besar, yakni juga kekeliruan penempatan sejarah Jerman dan sejarah Soviet utamanya. Goblok sekali aku ini ya.
            Ini genting kupikir. Karena kita mana mungkin meneruskan laju pengetahuan kita, misalnya, lewat Isaiah Berlin aku tahu ternyata bapak dan ibu Karl adalah orang-orang Yahudi tulen. Mereka keturunan rabi ortodoks yang sama halnya seperti orang-orang Yahudi di abad pertengahan, menjadi bagian dari komunitas minor di Jerman hasil diaspora yang mesti bertahan hidup di ghetto-ghetto. Kau bisa bayangkan kekeliruanku juga akan menyeret kekeliruan-kekeliruan lain jika aku punya ingatan Karl adalah seorang laki-laki yang lahir di Soviet! Napoleon Bonaparte tak pernah menguasai Soviet bung dan nona. Karl lahir di antara hiruk-pikuk Jerman ketika kekuasaan Napoleon mulai surup dan gerakan para pemikir Perancis yang radikal mulai merangsek nalar orang-orang Jerman yang jengah kemudian membaiat diri mereka sebagai generasi  Aufklaner. Apa itu artinya? Jika kau salah membuka pintu, maka itu artinya kau juga salah memasuki ruangan dan segala isi di dalamnya.
            Di Jerman, Karl muda tumbuh menjadi laki-laki pengkuh, pendiam, dan tak doyan perempuan tentu saja. Kelak, Karl cuma bisa jatuh hati pada perempuan anak dari tetangganya sendiri yang sering meminjaminya buku-buku. Kehidupan orang tua Karl yang tak kere-kere amat mampu menjaminkan asupan makanan yang membuat tubuhnya montok serta pendidikan layak yang membuat intelektualitasnya memadai. Tak ada kendala berarti untuk urusan makan atau membayar indekos atau membeli buku-buku selama dia mengenyam pendidikan. Semua beres belaka.
            Di Universitas Berlinlah Karl turut serta dalam pesta pora intelektualitas bersama-sama dengan para mahasiswa lain. Jerman kala itu sedang dilanda mabuk  pemikiran Hegel, dan muda-mudinya begitu berapi-api bahwa semata-mata filsafat Hegelianlah yang bakal beri mereka cahaya petromaks menghadapi semakin  suramnya peradaban. Dengan dialektika Hegelian, orang-orang di sana berbondong-bondong ingin lepas dari ilusi-ilusi yang diciptakan oleh para penguasa dan pemuka agama. Tapi perkara menjadi seorang rasionalis sebelum nantinya materialis, Karl sebenarnya sudah ketularan kakeknya sendiri jauh-jauh hari. Sebagai keturunan Yahudi yang mengalami banyak sekali perlakuan tidak adil, Keluarga Marx memang sudah tidak percaya pada iming keselamatan yang dijanjikan oleh pihak kerajaan (waktu itu  Prussia, kemudian Perancis) serta para pemuka spiritual baik para rabi maupun pendeta yang pada waktu itu memang dipenuhi borok korup, menindas rakyat jelata, memanfaatkan dogma-dogma agama untuk melanggengkan previlise mereka sendiri. Muak dengan semua kebobrokan di sekitar, keluarga Heinrich Marx ini memilih memeluk nalar dan kemanusiaan sebagai agama keluarga mereka.
            Aku pikir kita sudah kerap dengar seuprit kata-kata Karl “agama adalah candu”. Politik negara inilah yang memilintirnya sedemikian rupa, hingga tafsir yang bisa kita ambil adalah seluruh pemikiran Karl tabu karena Karl menghina-dinakan agama. Kita diberi dongeng-dongeng tentang kekejian dan kemerosotan moral jika kita dekat-dekat dengan apa yang Karl pikirkan. Di masa-masa orde baru khususnya,  melihat sendiri dari dekat konteks sejarah bagaimana Karl Marx mengecam agama adalah sebuah kemewahan yang cuma bisa dicecap sembunyi-sembunyi.            
            Aku sendiri baru bisa leluasa membaca Karl dan pemikirannya beberapa tahun silam. Kran kebebasan yang katanya dibuka paska kejatuhan Suharto itu telek minti jika berhadapan dengan sensor otomatis yang kadung beroperasi di kepalaku. Jadi beginilah imbasnya. Aku jadi telat memiliki pengatahuan tentan Karl.
            Volume pertama dari Das Kapital akhirnya terbit tahun 1867, dan aku baru tahu. Meskipun aku juga belum membaca isi Das Kapital, paling tidak sementara ini akhirnya aku tak keliru menyangka, buku Das Kapital adalah buku Panduan Mendapatkan Jodoh Dunia Akhirat. Sebab di kata pengantar Das Kapital Karl menegaskan tujuan buku tersebut ia tulis “untuk menemukan hukum ekonomi dalam gerakan masyarakat modern”. (Anjing, aku pernah lihat di salah satu komentar fesbuk, bahwa mempelajari Das Kapital bisa menjeremuskan kita ke neraka).
            Aku juga baru tahu, lewat buku ini, bahwa draft pertama dari Manifesto ditulis pertama-tama secara kasar justru oleh Engels sebelum dipoles oleh Karl, karena Karl merasa tulisan Engel terlalu mendayu-dayu, tak ada elan vital di kalimat-kalimatnya. Bedebah nian, yang aku tahu adalah jika kau buruh, kau harus hapal bait terakhir dari Manifesto “...seluruh buruh di dunia, bersatulah.”
Tapi dari banyak sekali ketidaktahuanku tentang Karl, paling membuatku terenyuh sendiri adalah ketika dikisahkan bahwa Karl adalah seorang bibliomania. Dia keranjingan bacaan sedari kecil. Sejak dia berkenalan dengan tetangganya yang meminjami buku-buku, di sekolahan sampai masa remaja, tak pernah dia berjauh dari bacaan. Tidak di Jerman, tapi ketika dia akhirnya menjadi eksil di Perancis lantas tersingkir ke Inggris, si bung pendiam dan pendendam hidup ini kalap terus dalam membaca. Dikisahkan, selama tiga puluh tahun lebih dia habiskan usianya di London, orang-orang yang berkarib dengan dirinya selalu bisa melihat Karl akan datang masuk ke salah satu ruangan perpustakaan British Mouseum pada pukul tujuh pagi dan terlihat keluar dari sana pada pukul sembilan malam.  Karl kalap tidak hanya pada buku-buku pemikiran dan ekonomi dan politik. Apa saja dia baca selagi itu terbuat dari huruf. Dia membaca Gogol, membaca Pushkin, dan begitu menyanjung Balzac setelah di masa-masa mudanya dulu sempat hapal di luar kepala karya-karya Shakeaspeare. Karl bahkan membebek trik-trik yang digunakan Hegel untuk menjaga ingatannya agar tidak luntur dengan mengahapalkan stanza dari sajak-sajak klasik. Karl mungkin rela tubuhnya digerogoti radang selaput dada, tapi tidak dengan ketajaman berpikirnya. Bahkan, aku menganggapnya sebagai klimaks penceritaan Isaiah Berlin, Karl meninggal dunia dalam kondisi tubuh terduduk di meja belajarnya. Itu terjadi pada 14 Maret 1883.[]


Ditulis dari pembacaan buku Karl Marx: Riwayat Sang Pemikir Revolusoner, ditulis oleh Isaiah Berlin. Terbitan Pustaka Promothea, 2007. Diterjemahkan oleh Eri Setyawati Alkhatab dan Silvester G. Sukur.

Urutan Cemburu Ibuku yang Masih Bisa Kau Acak


1.
Ia memikirkan senapan. Duduk.
Membiarkan kepicikan seperti rambut
Yang disisir. Kelak, yang meledak
Dalam jantung ayahku bukan lagi
Sepotong cerita busuk tentang
kampung-kampung.

2.
Lampu (kau bisa mengira ini perumpamaan
Dari rasa marah atau benci) dinyalakan.
Dimatikan. Dinyalakan. Ia hadiahi ragu-ragu
dan jarinya sendiri dengan gigitan.

3.
Siapa berani membengkokkan pepatah,
Habis manis dibuang sepah. Ayahku menangis.
Tak mampu meringkihkan dirinya
jadi lebih kerdil dan pengecut.

4.
Pesawat jet. Kolam renang.  Ruji sepeda motor.
Dubur ayam. Dengan keempat hal itu, ia berjanji
akan mengenangmu lewat sebuah  puisi panjang
yang tak akan mudah meledak oleh  kesedihan.


5.
Ayahku pulang. Pintu terkunci.
Aneh ketika aku intip dari jendela,
Ia ketuk dirinya sendiri berulangkali.

6.
Dini hari  membengkak. Dijejali
kutipan orang-orang yang kalap menulis
Tentang cita-cita dan masa depan.
Ia tertidur. Seseorang datang ke mimpinya
Dan berharap bisa menjadi sesuatu
Yang bisa kau tangisi.




Bayang-Bayang Tanah Air



Seusai menamsilkanmu  ke dalam bayang-bayang
Sepenggal sajakku yang buruk rupa

Aku putuskan mengembalikan dahaga  milik
Jari-jarinya sebelum  ia merayap jauh ke utara

Sudah terlanjur beku dan agak percuma
Saat kertas dan mangsi tak mau menjadi
Peta tanah air kami.

Aku serukan nama-nama berdarah
Pahlawanmu yang jatuh di padang laga

Aku dengungkan lagu-lagu dan menarik
Jantung bendera agar lebih dekat ke angkasa,

Iringan perkusi itu tetap saja mengiringi
Dayang-dayang  melepaskan lapis demi lapis
baju zirah mereka.

(Semarang, Maret 2015)


Perkara Kalimat Pembuka



Beberapa kawanku yang pernah aku kenal sebagai pengarang acapkali bicara berbusa-busa soal kalimat pembuka. Rangkuman kasarnya mereka bakal bilang, kau boleh agak hancur (dengan kapasitas menulismu yang memang masih pas-pasan, mungkin) tapi jangan kau taruh kehancuranmu di kalimat pertama. Kalimat pertama sebagai pembuka mereka anggap sebagai jimat atau jisim. Bagi mereka, kalimat-kalimat pertama itu luhur, dan akan menjadi salah satu pangkat (ingat ya, salah satu, bukan satu-satunya) yang niscaya menandai bermartabat atau tak bermartabatnya prosa milik para pengarang.
            Ketika teman-teman di Kelab memutuskan untuk sama-sama membaca Vegetarian, terpikir olehku  mengulas kalimat pembukanya. Akan jadi menarik kupikir jika membicarakan kalimat pembuka dalam novel Vegetarian, kemudian membandingkannya dengan kalimat-kalimat pembuka di novel-novel lain. Han Kang sendiri merangkum kompleksitas yang terjadi pada dua tokoh penggerak ceritanya—si Jung dan si Hyeong Hye dan si siapalah itu—dengan awalan  begini:
“Aku tak pernah menganggap istriku luar biasa sebelum dia menjadi vegetarian. Jujur, aku bahkan tak tertarik  kepada dia saat kali pertama berjumpa.”
Dengan menaruh kalimat semacam itu, kita jadi tahu novel ini akan mengisahkan apa, itu yang pertama. Membacanya kita manalah mungkin punya pikiran bakal dibawa ke arah cerita  tentang kemalangan penjual martabak, atau cerita tentang  rontoknya duri-duri dari tubuh seekor landak. Novel-novel yang mengunggah bocoran cerita sebagai strategi kalimat pembuka, aku bayangkan cuma memiliki dua kemungkinan. Jika bagian-bagian selanjutnya dari novel bahu-membahu  dengan bekal sebab-akibat untuk memperjelas topik novel  yang dibocorkan di awal, maka itu bakal jadi tulisan bagus. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, kau tahu sendiri mesti menyebut apa untuk karya  macam itu.
Sisi lain kemenarikan dari kalimat pembuka di Vegetarian ini, atau kalimat pembocoran semacam ini yakni sifat agitasinya yang susah dihindari oleh pembaca. Bahwa pembaca seolah sedang diajak untuk sama-sama sok tahu dengan apa bakal terjadi selanjutnya sekaligus was-was seandainya keyakinannya ternyata meleset. Pembaca akan jengah sendiri dan dibuat bertanya, berarti sebelum menjadi vegetarian, si Hyeong Hye ini pastilah manusia biasa-biasa saja kan ya. Sebiasa, sesepele apa sih, menjadi manusia hingga ia perlu dikisahkan? Han Kang tentu menyadari bahwa setelah menyusun kalimat pembuka itu, dia akan mengisahkan babak besar tokohnya si Hyeong Hye. Babak itu adalah babak sebelum Hyeong Hye menjadi vegetarian, dan babak setelah dia  menjadi  pemakan tumbuh-tumbuhan.
            Aku memang tidak tahu, dan memang agaknya tidak perlu-perlu amat untuk tahu bagaimana draft  novel ini dibangun oleh Han Kang. Apakah ia dibuat secara linear, yang artinya chapter-chapternya dibuat berurutan, atau mengalami banyak sekali penyuntingan dari klaster cerita yang dibuat sendiri-sendiri kemudian disatukan. Yang ingin kuteroka adalah bagaimana kalimat awal dalam novel ini menjadi sebuah pertaruhan, apakah ia mampu menjadi pengikat bagi plot-plot cerita selanjutnya atau tak.
Secara lebih luas, kalimat semacam ini bisa digunakan oleh pengarang untuk mengawasi isi novel, jalinan kisah di dalamnya apakah mempunyai keterikatan dengan apa yang ingin dibicarakan atau tak, meluber ke sana-kemari secara berlebihan atau tak.
            Penulisan kontemporer sepertinya sudah banyak memberikan contoh kalimat semestinya dikonstruksikan macam apa dan bagaimana sebuah alur novel dengan bekal kalimat pembuka. Kau bisa ikut deretkan nama-nama pengarang favoritmu beserta novel-novel yang bagimu asyik dibaca, kemudian menengok lagi kalimat-kalimat pembuka yang pengarangnya bikin. Sebagian terbukti menggunakan strategi forward—shadowing macam yang dibuat Han Kang ini, sebagian lagi mencoba tidak menjadi pembebek dengan bermain-main dengan aneka kreativitas. Sisanya, adalah para pecundang yang gagal menyakinkan pembacanya bahwa tulisannya bagus.
            Ada banyak cara membaca kemungkinan-kemungkinan. Biasanya, dengan melihat tahun penulisan prosanya saja kita bisa membedakan bagaimana gramatika kalimat awal dalam prosa ditulis. Jaman tertentu menghasilkan pola-pola dan langgam tertentu.
Memulai tamasya-kalimat-pembuka, asal saja aku mencomot novel Naguib Mahfudz dari rak buku. Kalimat awalnya seperti ini.
“Tanpa sengaja aku datang ke Kafe Kernak. Suatu hari aku melintas  di jalan Al- Mahdi guna memperbaiki jam tanganku.”
Kalimat itu membuka novelet Mahfudz, Kafe Karnak. Dia menerbitkan novel tipis itu kali pertama pada tahun 1974. Itu artinya ada jarak empat puluhan tahun sebelum Vegetarian ditulis Han Kang. Empat tahun sebelum ada Kafe Kernak, publik dibuat terbengong-bengong dengan kalimat pembuka di novel Seratus Tahun Kesunyian milik Gabriel Garcia Marquez: Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak, Kolonel Aurelio Buendia mencoba mengenang suatu senja yang jauh ketika ayahnya mengajaknya untuk melihat es. (Kita bandingkan narative hook ini dengan milik Marquez di novelnya yang lain, Cinta di Tengah Wabah Kolera, misalnya: Tanpa bisa ia cegah: aroma almond pahit selalu mengingatkannya pada takdir cinta yang tak berbalas).
            Menyimak kalimat-kalimat pembuka itu, sepaket dengan bermenung pikir rentang tahun pembuatan serta kronik sejarah yang mengepung novel-novel bikinan para pengarang aku lantas jadi pembaca yang jadi punya banyak keluhan. Aku tahu banyak mengeluh itu tidak baik, tapi mau bagaimana lagi. Kau bayangkan saja, dari tahun 60an sampai 2018, pergeseran kalimat pembuka yang kuambil sebagai contoh bedanya tak kelewat jauh. Agar kalian bisa ikut merasai apa yang kurasai, sebaiknya aku deretkan lagi beberapa kalimat dari novel-novel yang pernah kubaca, seperti ini:


Aku mengirim satu anak ke kamar gas di Huntsville. Satu dan cuma satu itu. (No Country for Old Men, Cormac McArthy)

 Sesungguhnya surat itu takkan begitu menyanyat hatiku, kalau saja sebelumnya aku tak mengirimi surat-surat yang berisi sesuatu yang tak enak untuk dibaca. (Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer)

Akan kucoba untuk menceritakan fakta-fakta hubungan kami sebagai suami istri sebagaimana adanya, sejujur mungkin. (Naomi, Junichiro Tanizaki)

Tiba-tiba kami ingin menghabiskan  senja dan malam di sebuah vila. (Kelambanan, Milan Kundera)

Waktu bergerak tak terbendung. Seolah Batara Kala sedang menyeret gerobak nasib, dan memunguti orang-orang yang malang, yang terlindas roda gerobak mautnya. (Manyura, Yanusa Nugroho)

“Sepertinya hujan akan turun,” aku bergumam.
Bagaimana kalau hujan sungguh turun? (Mata Malam, Han Kang)

Modifikasi dan percobaan yang dilakukan oleh pengarang-pengarang paska Marquez dengan si Bertahun-tahun Kemudian-nya itu cuma bisa kita tandai sedikit dan tak bisa bikin kita heboh. Betapa berat tugas pengarang menciptakan kalimat awal yang akan menimbulkan efek wow atau, bajingan-iki-apik-tenan atau, apalah namanya agar bisa terkenang di benak pembaca.
            Ketika menulis teks ini timbul penasaranku, bagaimana dengan kalimat bukaan novel-novel yang terbit di tahun-tahun lawas? Taruh misal novel-novel yang terbit sebelum 1900 atau bisa lebih lawas lagi antara tahun 1700 sampai 1800. Bagaimana  rentang tahun-tahun lawas itu juga menghadirkan langgam bagi para pengarang buat menyusun kalimat pembuka, atau bisa jadi di masa lampau, para pengarang itu belum mengacuhkan bagaimana sebaiknya memperlakukan kalimat bukaan mereka. Tentunya aku perlu napak tilas lagi karya-karya yang bisa dibilang klasik dari Charlotte Bronte, atau Emilie Zola, sampai Charles Dicken, Mellvile, atau Defoe dan pengarang lain yang hidup segenerasi dengan mereka.
Uh, betapa pendeknya hidup, betapa banyak tanggungan bacaan.[]

Lempongsari, 2018