Perkara Kalimat Pembuka



Beberapa kawanku yang pernah aku kenal sebagai pengarang acapkali bicara berbusa-busa soal kalimat pembuka. Rangkuman kasarnya mereka bakal bilang, kau boleh agak hancur (dengan kapasitas menulismu yang memang masih pas-pasan, mungkin) tapi jangan kau taruh kehancuranmu di kalimat pertama. Kalimat pertama sebagai pembuka mereka anggap sebagai jimat atau jisim. Bagi mereka, kalimat-kalimat pertama itu luhur, dan akan menjadi salah satu pangkat (ingat ya, salah satu, bukan satu-satunya) yang niscaya menandai bermartabat atau tak bermartabatnya prosa milik para pengarang.
            Ketika teman-teman di Kelab memutuskan untuk sama-sama membaca Vegetarian, terpikir olehku  mengulas kalimat pembukanya. Akan jadi menarik kupikir jika membicarakan kalimat pembuka dalam novel Vegetarian, kemudian membandingkannya dengan kalimat-kalimat pembuka di novel-novel lain. Han Kang sendiri merangkum kompleksitas yang terjadi pada dua tokoh penggerak ceritanya—si Jung dan si Hyeong Hye dan si siapalah itu—dengan awalan  begini:
“Aku tak pernah menganggap istriku luar biasa sebelum dia menjadi vegetarian. Jujur, aku bahkan tak tertarik  kepada dia saat kali pertama berjumpa.”
Dengan menaruh kalimat semacam itu, kita jadi tahu novel ini akan mengisahkan apa, itu yang pertama. Membacanya kita manalah mungkin punya pikiran bakal dibawa ke arah cerita  tentang kemalangan penjual martabak, atau cerita tentang  rontoknya duri-duri dari tubuh seekor landak. Novel-novel yang mengunggah bocoran cerita sebagai strategi kalimat pembuka, aku bayangkan cuma memiliki dua kemungkinan. Jika bagian-bagian selanjutnya dari novel bahu-membahu  dengan bekal sebab-akibat untuk memperjelas topik novel  yang dibocorkan di awal, maka itu bakal jadi tulisan bagus. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, kau tahu sendiri mesti menyebut apa untuk karya  macam itu.
Sisi lain kemenarikan dari kalimat pembuka di Vegetarian ini, atau kalimat pembocoran semacam ini yakni sifat agitasinya yang susah dihindari oleh pembaca. Bahwa pembaca seolah sedang diajak untuk sama-sama sok tahu dengan apa bakal terjadi selanjutnya sekaligus was-was seandainya keyakinannya ternyata meleset. Pembaca akan jengah sendiri dan dibuat bertanya, berarti sebelum menjadi vegetarian, si Hyeong Hye ini pastilah manusia biasa-biasa saja kan ya. Sebiasa, sesepele apa sih, menjadi manusia hingga ia perlu dikisahkan? Han Kang tentu menyadari bahwa setelah menyusun kalimat pembuka itu, dia akan mengisahkan babak besar tokohnya si Hyeong Hye. Babak itu adalah babak sebelum Hyeong Hye menjadi vegetarian, dan babak setelah dia  menjadi  pemakan tumbuh-tumbuhan.
            Aku memang tidak tahu, dan memang agaknya tidak perlu-perlu amat untuk tahu bagaimana draft  novel ini dibangun oleh Han Kang. Apakah ia dibuat secara linear, yang artinya chapter-chapternya dibuat berurutan, atau mengalami banyak sekali penyuntingan dari klaster cerita yang dibuat sendiri-sendiri kemudian disatukan. Yang ingin kuteroka adalah bagaimana kalimat awal dalam novel ini menjadi sebuah pertaruhan, apakah ia mampu menjadi pengikat bagi plot-plot cerita selanjutnya atau tak.
Secara lebih luas, kalimat semacam ini bisa digunakan oleh pengarang untuk mengawasi isi novel, jalinan kisah di dalamnya apakah mempunyai keterikatan dengan apa yang ingin dibicarakan atau tak, meluber ke sana-kemari secara berlebihan atau tak.
            Penulisan kontemporer sepertinya sudah banyak memberikan contoh kalimat semestinya dikonstruksikan macam apa dan bagaimana sebuah alur novel dengan bekal kalimat pembuka. Kau bisa ikut deretkan nama-nama pengarang favoritmu beserta novel-novel yang bagimu asyik dibaca, kemudian menengok lagi kalimat-kalimat pembuka yang pengarangnya bikin. Sebagian terbukti menggunakan strategi forward—shadowing macam yang dibuat Han Kang ini, sebagian lagi mencoba tidak menjadi pembebek dengan bermain-main dengan aneka kreativitas. Sisanya, adalah para pecundang yang gagal menyakinkan pembacanya bahwa tulisannya bagus.
            Ada banyak cara membaca kemungkinan-kemungkinan. Biasanya, dengan melihat tahun penulisan prosanya saja kita bisa membedakan bagaimana gramatika kalimat awal dalam prosa ditulis. Jaman tertentu menghasilkan pola-pola dan langgam tertentu.
Memulai tamasya-kalimat-pembuka, asal saja aku mencomot novel Naguib Mahfudz dari rak buku. Kalimat awalnya seperti ini.
“Tanpa sengaja aku datang ke Kafe Kernak. Suatu hari aku melintas  di jalan Al- Mahdi guna memperbaiki jam tanganku.”
Kalimat itu membuka novelet Mahfudz, Kafe Karnak. Dia menerbitkan novel tipis itu kali pertama pada tahun 1974. Itu artinya ada jarak empat puluhan tahun sebelum Vegetarian ditulis Han Kang. Empat tahun sebelum ada Kafe Kernak, publik dibuat terbengong-bengong dengan kalimat pembuka di novel Seratus Tahun Kesunyian milik Gabriel Garcia Marquez: Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak, Kolonel Aurelio Buendia mencoba mengenang suatu senja yang jauh ketika ayahnya mengajaknya untuk melihat es. (Kita bandingkan narative hook ini dengan milik Marquez di novelnya yang lain, Cinta di Tengah Wabah Kolera, misalnya: Tanpa bisa ia cegah: aroma almond pahit selalu mengingatkannya pada takdir cinta yang tak berbalas).
            Menyimak kalimat-kalimat pembuka itu, sepaket dengan bermenung pikir rentang tahun pembuatan serta kronik sejarah yang mengepung novel-novel bikinan para pengarang aku lantas jadi pembaca yang jadi punya banyak keluhan. Aku tahu banyak mengeluh itu tidak baik, tapi mau bagaimana lagi. Kau bayangkan saja, dari tahun 60an sampai 2018, pergeseran kalimat pembuka yang kuambil sebagai contoh bedanya tak kelewat jauh. Agar kalian bisa ikut merasai apa yang kurasai, sebaiknya aku deretkan lagi beberapa kalimat dari novel-novel yang pernah kubaca, seperti ini:


Aku mengirim satu anak ke kamar gas di Huntsville. Satu dan cuma satu itu. (No Country for Old Men, Cormac McArthy)

 Sesungguhnya surat itu takkan begitu menyanyat hatiku, kalau saja sebelumnya aku tak mengirimi surat-surat yang berisi sesuatu yang tak enak untuk dibaca. (Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer)

Akan kucoba untuk menceritakan fakta-fakta hubungan kami sebagai suami istri sebagaimana adanya, sejujur mungkin. (Naomi, Junichiro Tanizaki)

Tiba-tiba kami ingin menghabiskan  senja dan malam di sebuah vila. (Kelambanan, Milan Kundera)

Waktu bergerak tak terbendung. Seolah Batara Kala sedang menyeret gerobak nasib, dan memunguti orang-orang yang malang, yang terlindas roda gerobak mautnya. (Manyura, Yanusa Nugroho)

“Sepertinya hujan akan turun,” aku bergumam.
Bagaimana kalau hujan sungguh turun? (Mata Malam, Han Kang)

Modifikasi dan percobaan yang dilakukan oleh pengarang-pengarang paska Marquez dengan si Bertahun-tahun Kemudian-nya itu cuma bisa kita tandai sedikit dan tak bisa bikin kita heboh. Betapa berat tugas pengarang menciptakan kalimat awal yang akan menimbulkan efek wow atau, bajingan-iki-apik-tenan atau, apalah namanya agar bisa terkenang di benak pembaca.
            Ketika menulis teks ini timbul penasaranku, bagaimana dengan kalimat bukaan novel-novel yang terbit di tahun-tahun lawas? Taruh misal novel-novel yang terbit sebelum 1900 atau bisa lebih lawas lagi antara tahun 1700 sampai 1800. Bagaimana  rentang tahun-tahun lawas itu juga menghadirkan langgam bagi para pengarang buat menyusun kalimat pembuka, atau bisa jadi di masa lampau, para pengarang itu belum mengacuhkan bagaimana sebaiknya memperlakukan kalimat bukaan mereka. Tentunya aku perlu napak tilas lagi karya-karya yang bisa dibilang klasik dari Charlotte Bronte, atau Emilie Zola, sampai Charles Dicken, Mellvile, atau Defoe dan pengarang lain yang hidup segenerasi dengan mereka.
Uh, betapa pendeknya hidup, betapa banyak tanggungan bacaan.[]

Lempongsari, 2018