NOVEL PERTAMAKU



NOVEL  PERTAMAKU

“Ya pokoknya novel, pokoknya novel !” , aku  berteriak-teriak lagi. Ibu sih (Ibuku maksudnya), selalu bertanya  apakah  aku tahu yang dimaksud dengan novel. Sudah aku katakan kepada Ibu meski usiaku  belum genap delapan tahun (ingat ya, aku berulang tahun  di bulan April), aku paham  apa itu novel. Yang  lebih tidak aku sukai adalah pertanyaan Ibuku selalu  disertai  tawa. Untuk memudahkan mengingat, tertawa  jenis ini  kemudian aku namai saja jenis tertawa yang buruk. Suaranya bergelombang  tidak karuan karena mengandung ejekan. Hidung milik Ibu seperti buah terong dilubangi ketika tertawa.  Terus terang  aku merasa terhina  dengan tertawa  jenis ini.

Padahal baru beberapa minggu yang lalu. Apa memang orang dewasa mudah lupa ya, ibu tidak ingat,  Ibu sendiri yang menjelaskan kepadaku, apa itu novel.  Aku  memang  ceriwis  bertanya ketika  Ibu  selonjoran di sofa ruang tamu sehabis  selesai menyetrika pakaian.
“Ibu sedang baca apa sih, kok senyum-senyum sendiri?”
“Mmm, baca novel, sayang” (Ibu mengelus-ngelus hidungku sebentar, kemudian membaca lagi)
“ Nokel?, apa itu, nokel, Ibu?”
Ibuku  tersenyum.
“N-O-V-E-L, Mbimbi sayang, bukan NOKEL”
“Yaaa  Ampuuuun, NOVEL  ya bu.  Trus, novel  itu  apa?”

Nah. Sehabis  pertanyaanku tersebut, Ibu menerangkan panjang sekali. Jika aku ringkas, mungkin akan seperti ini; Novel adalah Cerita. Bisa cerita pembunuhan. Bisa cerita  persahabatan. Bisa  cerita tentang  dua orang dewasa yang  saling mencintai. Bisa cerita tentang  sebuah perjuangan dan politik (untuk  politik ini, kalian bisa tanya kepada Ayahmu, soalnya  ketika aku bertanya kepada Ibu tentang arti kata politik, Ibu menyuruhku  bertanya kepada Ayah. Kalau sudah tahu, nanti  aku diberi tahu ya, karena ketika bertanya kepada beliau, jawaban Ayah sungguh mengecewakan. Semoga Ayahmu tidak menjawabnya seperti ayahku, politik itu ya politik. Sungguh Ayah  yang tidak cerdas rasa-rasanya)

GJORG



tanah ini tak pernah benar-benar bisa kau unting,
bahkan demi wajah merdeka yang ingin ibumu kenakan
agar bisa tuntas menyerap bau kotoran ratusan gagak
yang jatuh di sepanjang balkan

sementara sisa kegelapan gigih menyerbu
gesekan perih senar lahuta-mu
sebuah nyanyian lagi, sebuah sayatan lagi,
untuk menyambut bahasa yang tak bisa
mereka rebut dari benteng lidahku (seketika kau
ingat ada sempalan nada yang belum sanggup
kita beri nama)

PADA SEBENTANG JALAN (Puisi Amal Bayu Ramdhana)



: untuk Arif Fitra Kurniawan

/1/
Tiba di sini yang kudapati malah senyap gerbang.
Dan orang dan satpam mungkin memang durhaka
telah mengganti kokok ayam dengan bunyi bel kuningan.
Kucari-cari coretanmu di pintu gudang penyimpanan.  
Siapa tahu kau pernah mengguratkan semacam tanggal;
menyepi-diri kalau sedang menghalau denyut cita-citamu
untuk membeli sepotong topi pada waktu gajian nanti.
Cita-cita nan tentunya harus kautukar dulu dengan
belasan kali bergonta-ganti shift kerja malam.

Satpam hanya gusar, Anak muda jangan banyak longgar,
supaya kau tidak sempat sedih sehabis dibuai berita.
Ia sama sekali tak pernah mendengar nama pun hari baikmu.
Sama sekali tidak suka mengenang-ngenang orang
atau slogan yang dipampang di jendela bis jemputan.
Aku merasa salah soundtrack salah kostum salah baca pesan.