KEPADA BUKU-BUKU YANG TERBAKAR (Jawa Pos, Minggu 26 Mei 2015)

Tahun ini buku  kumpulan puisi dari penyair Makassar, M Aan Mansyur; Melihat Api Bekerja terbit dan saya belum sempat membelinya. Judul buku puisi tersebut saya akrabi dari beberapa media sosial yang mengunggah sampulnya. Pada Sabtu malam, 9 Mei 2015 dari pukul sembilan  Pasar Johar Semarang terbakar dan sampai siang pukul satu keesokan harinya api baru bisa dipadamkan. Dari situlah frasa  judul buku puisi  Aan  Mansyur mengganas menghantui penglihatan saya. Memberikan visi  apokaliptik yang buruk sekali tentang api. Tentang pasar—yang bahkan tukang becak pun sampai membuat ledekan getir; pasar belum jadi pasar jika belum terbakar. Saya diikuti terus  oleh kelebatan  benda-benda yang moksa  di antara rimba nyala api yang “bekerja”. Semakin berjejalan  saja gemuruh emosi yang tumpang tindih di atas ingatan-ingatan atas pasar Johar ketika seorang kawan mengabarkan bahwa ia baru saja mendapatkan keterangan via pesan singkat dari Pak Edi, salah satu pedagang buku loak di sana. Seluruhnya ludes bro, minta doanya  saja ya. Begitu pesan singkatnya.

Kali pertama saya menginjakkan kaki di deretan kios-kios buku lantai dua pasar Johar, adalah ketika  saya kelas III SD dan diajak oleh ayah, yang biasanya memberikan  saya hadiah  dua  minggu sekali  berupa bundelan majalah Bobo  lawas atau majalah Donal Bebek atau beberapa jilid kumal dari seri komik Kungfu Boy milik Takeshi Maekawa. Waktu itu saya naik kelas dengan nilai tanpa warna merah dan  sebagai imbalan prestasi gemilang tersebut saya merajuk untuk ditunjukkan tempat di mana ia selama ini memborong majalah-majalah  dan komik bekas.

Di sanalah kemudian seorang anak kecil duduk dan tersenyum sendiri menemukan sorga itu ada dan tidak perlu menunggu mati dulu seperti dikisahkan oleh  orang-orang saleh.

Anak kecil itu tak pernah berpikir, bahwa di masa-masa usia dua puluhannya kelak ia akan banyak berhutang kepada buku-buku di kios-kios tersebut.