YANG MENYERANG PERCAKAPAN KITA



ini barangkali yang hendak engkau rekayasa; segelas teh hangat
yang telah bersusah payah memeluk  kita. tak mudah memang
menjadi pemenang yang  sehilir ketika sampai di meja.

katamu, mesti ada yang aku engkau sesali. dan aku menunduk.
harapan  ini tak cukup menampung kita yang menggigit jemari
sebab  berkali-kali mengaduh dinyalakan dimatikan remote televisi

dan aku, yang suatu ketika jadi ruangan kecil dimana kerap engkau
menunjuk dan menatap, menyalahkan banyak hal, disaat engkau
dan aku lebih suka berbisik-bisik, mengawinkan sepasang pernyataan.
sesekali mendesah,

: engkau kapan akan mengulang malu-malu engkau [?]

di tangan jam yang sebenarnya gugup, kemudian kita malah menyerah
dan memilih untuk tak sanggup; duh, kata-kata siapa ini meremas hikayat.
kita tidur di lapang dongeng-dongeng yang membangun kota ini dari api.
dari orang-orang yang kesulitan bicara bahkan sekedar mengucap  barangkali.
tapi aku masih yakin tubuhmu tak mudah  terbakar.

di luar jendela, angin, engkau tahu benar  telah menutup mata
dan berpura-pura tidak memperhatikan pecahan lidah  kita

(semarang, 2012)

MEMULAI DARI NOL ATAU SATU

            Saya pulang bu, menemui kamu. menemui rumah. dan ternyata menjadi teledor adalah misi yang memang sudah diincar waktu. aneh, ketika saya lupa letak makam kamu, bu. saya berdoa panjang petang itu. nyaris tanpa amin dan menutup muka. membiarkan banyak hal mengalir dari mata dan dada saya. saya jadi nerveus. atau jangan jangan kamu sudah menuduh saya si anu yang tak tahu berterimakasih. aduh, malin benar saya kalau begitu. meski ketidakhadiran kerap bisa menghapus banyak hal dari ingatan, tapi, ah tapi bu, cuaca rumah tetap tak banyak berubah. cuma perabotannya saja yang kadang berganti, ruang tamu yang digabung jadi ruang keluarga, kamar mandi yang diganti lubang kakusnya, selimut kenang-kenangan milik kamu sudah berubah warna terlalu sering dicuci sama adik. seharian di waktu lebaran, saya memikirkan kamu. tiba-tiba kamu pandai membelah diri. di tembok dilantai di meja televisi di dekat vas bunga plastik. saya kangen dan tiba-tiba jadi sebegitu cengengnya. saya mesti sungkem dengan cara bagaimana, saya sudah berkali-kali meminta maaf dalam hati. kok dingin. kok ada yang mengeras. saya banyak minum dan merokok. sulut lagi. minum lagi. ayah membangun percakapan. adik membangun percakapan. kata mereka semestinya makam kamu ditulisi saja. agar yang pergi terlalu lama tidak tersesat ke makam orang lain.

- maafkan saya ya bu (tuuuh kan lagi-lagi kamu mengangguk) - Love and hugs.

brama kala, sajak Gunawan Maryanto

kuku kuku jarimu yang putih
seperti pertanda buruk
bahwa kelak kau akan melukaiku
sebesar apapun cintamu padaku

( Sajak Brama Kala-- Gunawan Maryanto)