PAGI BUTA



aku  memuja  pagi  buta,
yang membangunkanku demi 
bisa  memilah suaramu 
dari alarm  tetangga.

kelak  aku  beritahu diriku.
rindu butuh  jarak  dan  kekosongan.
ia  butuh  memakan keduanya 
demi mengembari betapa
angkuhnya kesakitan

( Agustus, 2014)

ALMA



ALMA
(Junot Diaz)

Kau  punya  pacar. Alma namanya, gadis dengan batang leher setegar  kuda dan segelembung besar pantat  khas milik orang-orang Dominika. Yang padat menyembul menyesaki celana jins. Sebongkah pantat  yang niscaya bisa saja  mendepak  bulan dengan begitu mudah keluar dari lajur orbitnya. Pantat  yang tak pernah ia umpamakan dengan apapun sebelum dia bertemu denganmu. Tak ada hari  terlewat  tanpa keinginanmu memepetkan wajah ke pantatnya  atau menggigit rakus urat halus  lehernya. Kau teramat mencintai bagaimana dia melenguh ketika leher itu kau gigit, bagaimana dengan kedua lengan   mulusnya  dia memberi perlawanan seimbang ketika bercinta  suatu ketika  seusai jam sekolah.

Alma mahasiswi  Sekolah Seni Mason Gross,  gadis  yang diciptakan oleh  era Sonic,  penggila komik alternatinas yang barangkali tak peduli kau perjaka atau tidak. Tumbuh di Hoboken, bagian dari  komunitas orang-orang  Latin yang terbakar oleh amarah di tahun 80 an, ketika rumah-rumah petak mereka  rata oleh api. Menyisakan  masa kanak  di atas Lower East Side,  yang mereka anggap  rumah, namun  kemudian  N.Y.U dan Kolombia menyebutnya nyet,  namun  Alma  sudah dijauhkan dari seluruh hal tersebut sebelumnya. Kini dia   sedang dalam fase belajar melukis. Dia melukis  orang-orang  dengan warna-warna   usang, terlihat  seperti lumpur yang baru saja dikeruk dari dasar sebuah danau. Lukisan terakhirnya adalah dirimu, membungkuk menghadapi pintu:  cuma tatapan matamu yang  menggambarkan ketidaksukaan dari—Aku-Memiliki—Masa kanak—yang Suram—Hingga—Kudapatkan—Seluruh tabiat ini,  yang tersisa untuk  dikenali. Dia melukis tanganmu  kelewat  besar.  Aku bilang aku akan memberi sentuhan estetik  pada  ototnya.  Sungguh pasangan masa lalu,  yang kehangatannya menyebar sampai  sini. Alma tipikal gadis kulit hitam yang bebas, mengenakan  gaun-gaun  tipis kekurangan material, yang barangkali terbuat  dari  kain seperti  kertas tisu; hingga tak perlu  angin yang kencang untuk menelanjanginya. Dia berkata  jika dia melakukan hal tersebut untukmu. Aku sedang membakitkan lagi  warisan luhur Orang-orang Dominika (yang tak lengkap dalam berdusta—dia bahkan menggunakan bahasa spanyol untuk meladeni ocehan ibumu), dan ketika kau melihatnya di jalan, berlenggak-lenggok, pamer, kau tahu  dengan pasti   seperti  setiap orang negro tahu bahwa cara berjalan adalah cara berpikir. Kau bertemu  dengan Alma pada Pesta Latin Akhir Pekan  di New Brunswick. Sebelumnya dia tak pernah pergi ke pesta-pesta seperti ini, kalau tidak diseret oleh teman baiknya sewaktu SMA, Patricia, yang sampai detik  ini masih saja mendengarkan lagu-lagu dari grup musik KTA, dan ini adalah bagaimana kau  mendapatkan  kesempatan untuk menemukan celah, layaknya  teman-teman lelaki sepantaranmu menaruh itu mereka, di antara memek yang berdenyar.

Alma seramping  alang-alang, kau seorang yang keranjingan seks; Alma suka bepergian dengan mobilnya; kau tergila-gila dengan  buku; Alma memiliki sebuah  Saturn (dibelikan oleh Ayahnya, seorang Tukang Kayu, yang cuma mau bicara dalam  bahasa Inggris  di rumahnya), sementara kau tak bisa menunjukkan  Surat Ijin Mengemudi; Kuku-kuku Alma kelewat kotor untuk memasak, Spaghetti Con Pollo-mu paling lezat di jagat ini. Kau jadi merasa sungguh-sungguh berbeda,—Dia memutar-mutar biji matanya tiap kali kau membacakan  berita-berita dan dia selalu berkata bahwa dia tidak akan “mudeng” dengan politik. Bahkan dia tak mau menyebut dirinya Hispanic. Dia membual  kepada teman-teman perempuannya bahwa kau seorang pemuda  “radikal” dan sungguh-sungguh  Pria Dominika Sejati (meskipun dalam indeks Platano kau tak akan pernah mencatat, Alma menjadi  gadis ketiga yang pernah kau kencani). Sementara di bagian lain  kau membual ke teman-teman  lelakimu  bahwa Alma mempunyai koleksi racauan lebih banyak dari yang pernah mereka lakukan—dia   sanggup melontarkan kata-kata umpatan yang  buruk layaknya perempuan kulit putih ketika dientot. Jauh lebih handal di atas ranjang dari gadis manapun yang pernah kau ajak tidur;  bahkan di kencan pertama, dia sudah menawarimu jika nanti kau ejakulasi, apakah akan menyemprotkannya di atas  tetek  atau wajahnya, dan barangkali  selama masa remajamu kau tak mungkin mendapatkan pengalaman  tersebut  sebelumnya, umm, tak mungkin pernah deh. Di  lain  akhir pekan dia akan menekuk lututnya di lantai matras sebelum kau—dengan  salah satu jari tanganmu memelintir   sepasang puting payudaranya yang cokelat kehitaman,  dia akan bermain-main menikmati  diri sendiri, tak mengijinkanmu menyentuh secuil bagian pun  dari tubuhnya,  dengan gerakan jari-jari ia akan mengocok itunya sementara raut wajahnya blingsatan tak karuan, menyala dalam kenikmatan. Dia suka sekali mengerang dan bilang kepadamu saat dia sudah becek, becek sekali, kemudian mendesah-desah, Kau suka menonton aku begini kan; Kau suka mendengarkan raunganku ketika klimaks kan, kemudian dia akan mengakhiri semuanya dengan erangan panjang  lantas  memberimu ijin  untuk  menyentuhnya  lewat  sebuah dekapan sementara dia membersihkan jari-jarinya yang lengket di dadamu. Dia akan berkata kepadamu, inilah aku.

AUMAN LELAKI HARIMAU



AUMAN LELAKI HARIMAU
( Arif Fitra Kurniawan)

/1/
Eka  Kurniawan sendirilah yang mengatakan di dalam tulisan blognya, merangkum kembali  apa yang diungkap Gabriel Garcia Marquez  bahwa  “Kalimat pertama bisa menjadi laboratorium untuk mengetes gaya, struktur dan bahkan panjangnya novel.”

Itu kita bicarakan nanti dulu saja.  Seperti gaya bercerita Eka yang dipenuhi kepiawaian seorang maestro untuk  melebar ke sana-kemari dan maju mundur, sebaiknya para pembaca   tulisan ini yang sudah pernah sampai selesai membaca novel Lelaki Harimau, saya ajak untuk “tamasya” maju ke beberapa halaman  untuk kemudian kembali lagi ke kalimat awal novel tersebut. Terpampanglah begini,

Pembunuhan  itu, sebagaimana  kemudian diyakini semua orang, terjadi tepat  pukul empat sepuluh menit, sebab sepuluh menit sebelumnya Margio masih bersama beberapa kawan dan sepuluh menit setelahnya, ia telah bersama mereka pula, dalam keadaannya yang mengejutkan. “(hal. 23-24)

Seperti dalam teks-teks serial detektif, di bagian ini Eka ingin sekali meyakinkan  pembaca  tentang  detail  waktu. Pembunuhan Anwar Sadat oleh Margio haruslah diterima oleh nalar  sebagaimana hitungan eksak.  Sebuah keyakinan membabi buta hasil dari perhitungan “Tepat pukul  empat sepuluh menit” dibagi dirinya sendiri. Tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Seolah dengan ini siapapun dan dimanapun  ia  berada, tiap orang  boleh saja meragukan rotasi  dan  menganggap bumi itu datar, laut terbuat dari kencing  kambing Etawa, tapi  tak diperbolehkan menebak-nebak  kapan Anwar Sadat mati.   Lantas, adakah yang perlu dipermasalahkan di bagian ini? Tidak ada.  Jika ada yang ingin mencari-cari polemik dengan mempermasalahkan bagian ini, silakan buatlah tulisan tersebut. Saya cuma ingin seperti  Eka dalam mengulur waktu dan menyamarkan topik utama. Tapi saya berjanji, bagian tersebut penting.

Roadkill



ROADKILL
(Romesh Gunesekera*)

Malam pertama  tiba di Kilinochchi aku masih saja merasa cuma setitik perasaan kuatir yang begitu kecil. Lantaran nyaris semua dari yang tinggal di Srilanka bagian selatan memang berpikir  kota inilah  yang menjadi  jantung  nadi dari bermacam teror. Sebagaimana ujar Tuan Wahid, lelaki Malaysia yang menjadi penumpang pertamaku, bahkan meski dalam bahasa Inggris, perumpamaannya masih saja terdengar begitu keji— Kota ini kota  dimana kau bisa mengangankan  seorang   Clint Eastwood merangkak masuk untuk menumpuk persediaan senjata bersama pembunuhan tak masuk akal sebelumnya. Namun  kenyataannya memang begitu, bertahun-tahun Kilinochchi  menjadi ibukota  gerakan merdeka Macan Tamil. Di sinilah orang-orang Macan Tamil  mendirikan  pusat administrasi publik, kantor sekretariat, juga gedung konferensi.  Di Kota inilah, tempat di mana Perangko Macan Tamil, L.T.E.E  Travel Passes, G.C.E School-Exam Papers, ranjau darat, dan granat loreng hitam pernah dibuat. Bank orang-orang Tamil juga ada di  sini, dengan gaya khas bank Swiss, sebelum akhirnya hancur mengenaskan  akibat  perang saudara. Inilah tempat yang kemudian Macan Tamil luluh lantakkan, mereka menumbangkan menara air dan membumi hanguskan bangunan-bangunan kota, sebelum evakuasi ke hutan dilakukan oleh barisan serdadu tentara Srilangka, perangpun meledak, demi pertikaian pada bulan Januari tahun 2009.

Sekarang, dua tahun setelahnya, aku telusuri lagi jalanan, yang sesak oleh celeng-celeng dan hewan pengerat, meluncur sampai  depan penginapan The Spice Garden Inn, perkiraanku, bisa jadi inilah wujud  inkarnasi terakhir dari  Hotel Colombo: Sepupu dari utara yang memacak diri dengan bendera warna-warni, kaca mata hitam, serta pita-pita. Sebuah kafetaria yang dinding kacanya berkilau, serta meja penerima tamu yang dipenuhi manggar kelapa dan bunga bugenvil. Aroma pernis, obat pembasmi serangga,  dan aroma daun karapincha yang digoreng dalam minyak wijen meruap dari jejak lama seekor kucing. Penginapan ini seolah sedang memberi percikan sinyal sebuah   era baru kepada  kota yang usang.

Adalah Nyonya Arunachalam, perempuan dengan umur kandungan tujuh bulan dan duduk mengangkang di kursi tengah taksiku, mendambakan sebuah tur singkat delapan jam  ke Jaffna. Seperti seekor semut dalam lajur gundukan gula pasir.  Memang semestinya ia tidak perlu mengunjungi semua tempat, itu cuma akan membuatnya muntah dan jatuh pingsan, suaminyalah yang sebenarnya mendesak nyonya Arunachalam untuk memperlihatkan kepadanya sebuah properti yang berhasrat ia beli untuk ia bangun sebagai rumah baru mereka, itu sebabnya Nyonya Arunachalam mau tidak mau mesti datang ke sini.

“Vasantha, tolong lebih pelan ketika menyusur tikungan, bisa?” dia masih saja bicara, dalam nada rifrain yang menyebalkan, diulangnya terus sejak kami meninggalkan Rajagriya tadi.

“Baiklah, Nyonya.”  Aku ulangi saja lagi. Baik. Baiklah. Baik. Ketika  baru saja kulewati tikungan tajam.

Terlihat dia terlampau girang ketika dilihatnya berwarna-warni bendera dan pita-pita. “Itu, itu tempatnya. Yang   kita pesan untuk bermalam kan, Kollu. Keren ya?”

TIGA SENAR SULAIMAN

Dang ding dung dang ding dung. Selamat siang untuk  si ahli nuklir  yang sekolah sampai tamat dan suka  mengumpulkan barang-barang rongsok dan suka bolos mengaji, sudah  aku gosok gigiku dengan pasta  sambil  mikir-mikir  sampai wajahku jadi jelek diantara  nasib perang di belahan bumi sana. Pasti  gedung-gedung pencakar langit ambruk dan anak-anak menangis Dang ding dung dang ding dung…

“Lagu yang ini   buatmu, ya, ahli nuklir .“
Lingkaran  di depan masjid itu  terbuat  dari  tubuh-tubuh berjongkok  beberapa anak kecil. Sebuah pertunjukkan di antara angin siang  pukul dua yang semribit. Satu  dua lagu berloncatan dari mulut Sulaiman,  menyentuhi  pendengaran milik  Rahmi, Riwayadi, Kurnia, Meno, Jujuk, Ayu dan  Nurul, susup-menyusup  di antara rongga-rongga  rumput yang sebagian  tergencet  diinjak kaki  untuk kemudian merangkaki daun-daun  pisang yang meneduhi  pertunjukkan kecil mereka. Sulaiman ajeg menjadi pusat  perhatian mata jelalatan milik anak-anak. Satu Lagu. Dua  lagu. Dang ding dung dang ding dung. Jarinya  begitu sakti  memiuh  senar-senar dari kotak musiknya. Kotak dari  papan kayu sengon. Kasar, terlihat diamplas seadanya. Senar dari  bekas ban dalam  sepeda motor. Tiga senar. Cuma tiga senar dalam dang ding dung dang ding dung.

Dalam Dahaga



kita bagi  rahasia  yang disimpan kendi
kau luruhlah ke dalam lubang dahagaku
biarkan merah lidahku jadi telik sandimu
sementara waktu

2013

MERIWAYATKAN CACING



MERIWAYATKAN CACING

Demi  menyerupai cerita murungmu,
Berkeras aku lubangi jukungku.

Semoga  lengket  asin  air rawa
Tak sekedar menggapai  tumit telanjangku
yang  tak mengenal airmata

Tuhan di langit  meremas dirinya sendiri
Sebelum menghapus namaku di seluruh
Bagian  kitab suci

(2014)

Resensi: The Name of The Rose--Umberto Eco




KUTIPAN BESAR DARI ABAD PERTENGAHAN

Judul: The Name of The Rose
Penulis: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih
Cetakan:   (I, Maret 2008), (II,  April 2014)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: xxx + 686 hlm.; 20,8 cm.
Judul Asli: Il nome della rosa.
ISBN: 978-602-291-017-6


Di Biara Melk yang terletak di kaki pegunungan Apenia pada bulan November 1327, tujuh bilahan hari tiba-tiba menjadi begitu penting bagi kehidupan Adso—seorang monacella  Fransiskan dari  Jerman. Adso, sebagai juru tulis yang menemani William Baskerville, seorang biarawan Inggris mantan polisi inkuisisi yang ia agungkan sebagai guru bagi sebuah paket dari kebijaksanaan, semangat, dan kecemerlangan dalam berpikir  diutus untuk menyelidiki kematian seorang biarawan yang punya reputasi teratas  dalam hal menggambar ilustrasi buku-buku perpustakaan dalam Biara Melk bernama Adelmo, disamping misi lain dari Raja (Louis dari Bavaria) untuk mempersiapkan pertemuan antara kelompok Paus Yohannes XXII  yang didukung para Dominikan dan kelompok Fransiskan (diwakili oleh Michael dari Cesena) yang meminta pengamanan ketika  nantinya akan pergi menghadap Paus ke Avignon guna  mencari jalan tengah atas pandangan-pandangan reformisnya. Terorpun tak terelakkan ketika satu demi satu rahib biara Melk mati. William dan Adso diseret oleh alur cerita yang menuntut mereka memecahkan kasus demi kasus dengan paparan hipotesa.

“…,demi menyambut saya, pencarian anda terhenti. Tetapi jangan khawatir. Kuda itu lewat jalan sini dan mengambil jalan ke kanan. Ia tidak akan pergi jauh karena harus terhenti kalau mencapai tumpukan kotoran itu. Ia terlalu pintar untuk terjatuh ke dalam lereng yang curam itu…”[hlm 28]. 

Ya, Analisa dari William tentang Brunellus, kuda kesayangan milik kepala Biara yang kebetulan hilang ketika mereka tiba  di Melk menjadi pijakan untuk  mengantarkan pembaca  merunut alur detektif yang membungkus novel   ini. Teknik abduksi, yang menurut ST Sunardi yang menuliskan pengantar, menjadi rumusan  yang digunakan Umberto Eco  di antara  konsepsi deduksi yang sering digunakan Severus dan induksi yang digunakan Adso dari tiap silogisme ketika mengiris sebuah kasus. Bahkan bisa dikatakan, abduksi ini menjadi kerangka besar keseluruhan novel Eco. Lewat bungkus inilah, Umberto Eco membawakan kekayaan Abad Pertengahan kepada pembaca. Eco yang kita kenal sebagai pakar mediaval, dengan begitu jernih menyuguhkan detail kehidupan para rahib,aroma buku-buku lawas, regula biara, wajah kaku polisi inkuisisi, arsitektur-aritektur gotik  yang mengisi lembaran masa itu.  Seakan ingin membeberkan konstruksi semiotik tentang kebenaran dan kebohongan kepada kita  yang kadang  terlanjur dibutakan bahwa cuma  renaisans yang bisa dikeruk dari abad pertengahan. Di dalamnya mudah sekali pembaca menemukan intertekstualitas berupa teks-teks dari Bibel, pemikiran Thomas aquinas, Roger Bacon,  Albertus Magnis, Dante, William of Auckham, dan tentunya gagasan-gagasan  Aristoteles yang pada masa itu menjadi doktrin yang selama berabad-abad  dikristenkan oleh pihak gereja. Seperti kemenjulangan bangunan Aedeficium yang menjadi arsitektur sentral di Biara Melk—dimana  Labirin  perpustakaan tersembunyi, Ilmu pengetahuan berupa kutipan pemikiran dan buku-buku inilah yang juga akan mencolok pembacaan kita. Ilmu pengetahuan yang  dikerubungi oleh kekuasaan agama, kepicikan politik, obsesi individual.

untuk jelasnya,  gereja itu lebih mudah dimasuki, lebih gampang dipertahankan daripada perpustakaan. Perpustakaan itu sudah sejak dulu ditakdirkan oleh keadaannya yang tidak bisa dimasuki, oleh misteri yang melindunginya, oleh pintu masuk yang sedikit. Gereja itu, bagaikan seorang ibu terbuka bagi semua orang pada jam berdoa, selamanya terbuka bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan. [hlm 627]

Menyaksikan konflik-konflik yang meruap di dalam novel ini, kita akan teringat  kepedihan intelektual  Copernicus, pada Galileo, juga Luther. Perseturuan  antara agama dan ilmu pengetahuan yang sukar dipadamkan.

The Name of The Rose adalah novel pertama dari Umberto Eco, yang terbit pada 1980 dengan judul Il nome della rose, dialihbahasakan dari versi bahasa Inggris terjemahan William Weaver. Di Italia sendiri, novel ini mampu menembus bestseller dan pada 1988 sudah masuk cetakan yang ke-23. Menurut Eco novel ini berangkat dari sebuah memoar Adso Of Melk—bagian dari manuskrip dari abad pertengahan yang ia dapatkan dari seoarang wakil Abbas (Kepala Biara)  di perancis.  Seperti di naskah tersebut, novel ini juga dibagi menjadi tujuh hari, masing-masing hari dibagi berdasarkan jam ibadat harian: Matina, Lauda, Prima, Tersiat, Sexta, Nona, Vespers, dan Komplina. Dalam catatan terakhir yang terlampir di novel ini, Eco menerangkan, demi mempertahankan suasana abad pertengahan, dia tetap mempertahankan istilah, dialog, logat dalam bahasa latin. Itu juga yang berusaha dipertahankan ketika William Weaver mengalihbahasakannya dalam Bahasa Inggris (juga ke Bahasa Indonesia pada akhirnya), tentu dengan mengupayakan catatan kaki sebagai keterangan untuk memudahkan pemahaman teks.
***

*Arif  Fitra Kurniawan.  Bergiat di  komunitas Lacikata  dan  Kelab Buku Semarang.

Sebuah Pintu

di pintu kau pernah masuk
aku seperti sedang mengurusi perkara
sisa bayanganmu yang dirusak cahaya--

PUISI-PUISI YANG MUAT DI INDOPOS (Sabtu, 11 Oktober 2014)



JALAN KECIL

Rumah yang dulu pernah mengenalkanku
kepada kakimu yang menggurat seperti kayu
pada akhirnya akan kembali aku kisahkan
untuk mengusik air tenang yang tercetak
di dasar  puisi-puisiku yang tenggelam
menanggung beban berhulu hilir  kiasan

Di antara gingsul gigimu  yang menyeringai.
Yang  ingin menghentikan sebentar  perjalanan
melingkarku yang tak kunjung sampai,

Petang mengerucut.

Merasa pernah menyentuh
sebongkah rasa keibuan yang tak mungkin
bisa aku temukan lagi  sebagai padanan.

(Semarang, Agustus 2014)



DI PUING-PUING RUMAH KAMI

mesti kugambar dengan apa pecahan perangmu.
sebab pernah kukagumi juga bentuk roket,
bau belerang dan sikat gigi.

: kemarilah, temukan tanganKu,
sujudilah welas asihKu.

-- adakah yang  meleset aku hapalkan dari firmanmu?

aku obati keningku sendiri yang terbentur.
rasa putus asa sembunyi dalam jaket
aku cium biji-biji zaitun seperti mengenang
yang mustahil dari tangan nenek moyang
tentang
 harapan yang keliru mereka wariskan

(Semarang, Juli 2014)

SELALU BEGITU (Tabloid Cempaka edisi 29/ XXV/ 11-17 Oktober 2014)



Selalu Begitu

Dia akan datang rutin, menyeret langkahnya hingga aku begitu hafal suara sruk sruk sandalnya mengenai  lantai.  Dia  akan menaruh semangkuk  bubur di meja dekat kepalaku yang  pasrah  merebahi bantal, menyapu sebentar  bagian tepi spring bed  sampai sudut ruangan, menjumputi jika ada sedikit saja sarang laba-laba di tembok. Tidak ada yang boleh kotor sedikitpun. Ia kemudian akan membuka jendela, membiarkan udara dingin dibungkus  matahari  pukul setengah tujuh  pagi masuk ke dalam kamar. “Sarapan dulu, mas,” sambil mengelus pundakku dia akan lembut mengemas suaranya  seperti penyiar berita di radio RRI jaman dulu. Selalu  begitu. Dia sungguh telaten dan aku akan seperti anakan kucing  mengiau rewel,

Lidahku bosan Las, tiap hari ketemu bubur lagi,bubur lagi.
Iya, setiap hari aku akan mengudap menu menjengkelkan ini;  kalau tidak bubur  bayam, ya  bubur kacang hijau, kalau tidak bubur kacang hijau, bubur beras merah ikan tuna.  Kalau tidak ketiga aneka bubur tersebut, maka aku harus tabah dan betah menghadapi sederet daftar menu berisi irisan  buah-buahan. Pepaya-Pisang Ambon-Alpukat-Jambu biji.   Rasa-rasanya kian hari  tubuhku jadi  demikian  lembek dan menjijikkan. Satu  alasan  saja barangkali yang membuat aku bertahan menjadi manusia pemakan bubur  dan buah-buahan adalah suapan tangannya. Itu saja, bahwa aku harus sembuh, kata Lastri. Isteriku, suka—dukaku, tidur—terjagaku.
***

Aku kangen sekali pedas  rica-rica bebek”.  Merengeklah aku. Dan dia seenaknya  terkekeh  mendengar kekanakanku kumat lagi suatu hari.

Dia mengelus rambutku kemudian  mendekatkan sendoknya lagi ke mulutku. Sesuap lagi.  Sungguh, aku sudah benar-benar  ingin  muntah.
Iya, nanti kalau mas sudah sembuh, aku masakin rica-rica dengan cabai dan merica sekarung ya, bibirnya itu, aduh, selalu ranum ketika merekah. Ah, aku jadi gemetar sendiri, aku ingat kapan pertama kali nekat menciumnya; koridor gelap kampus. Sepasang manusia yang ditinggalkan teman-temannya. Perasaanku yang tiba-tiba begitu laki-laki. Cuaca dengan curah  hujan semau-maunya. Wajah pucatnya yang dingin. Tangannya yang basah. Buku-buku-terjatuh. Suara geluduk dan kilatan petir.  Sungguh sebuah adegan dalam ingatan  yang  niscaya  kedramatisasiannya cuma bisa ditandingi oleh  adegan Jack yang begitu khidmat memeluk Rose di palka ujung kapal Titanic.

Waktu bisa saja menggerus ingatan tentang hari-hari, tanggal-tanggal, jam-jam dan kejadian yang menyusunnya.Tapi tidak untuk ciuman pertama itu. Sebab sejak itulah kami tahu.  Kami digiring dan dimasukkan Tuhan ke  sebuah medan magnet  maha kuat untuk saling tarik menarik dan masing-masing mustahil keluar  dari sebuah rumusan;  aku mencintainya dan dia mencintai aku. Titik.
***
Selalu begitu. Dia akan senantiasa bersikap (ah, aku selalu berhalusinasi, dialah mahkluk  bersayap keperakan, yang diciptakan  Tuhan dari kejernihan cahaya, nyaris tanpa bopeng dan kerusakan sedikitpun.  Hati, pikiran dan jasad. Di buku pelajaran agama mahkluk itu diberi nama malaikat), sampai-sampai aku tidak yakin, apakah aku bisa terus mengimbangi cara dia dalam menyayangi atau tidak.  Hening.  Pikiranku menyeruak, menakar-nakar  kembali bagaimana dia selalu tergesa-gesa belanja ke pasar pada  jam   lima pagi, sesudah itu menyapu halaman, menyiapkan keperluanku dari mulai  sarapan, mandi, dan buang air. Sebelum akhirnya berangkat ke tempat dia bekerja, sebuah toko perlengkapan bayi. Sejak menikah  kami memang menyepakati untuk  tidak mempunyai pembantu rumah tangga, sebab  kami merasa masih mampu mengatur  banyak  hal dengan  tangan dan kaki kami sendiri.