Nyanyian Terakhir Seusai Makan Malam



Luka menyusup  ke  nyanyianmu yang
Hendak menghibur sepasang kandil mataku
Agar  bangkit sekali lagi musamu, yaqubmu,
Daudmu, yusufmu menghitung pasir
Dengan meminjam bibir birumu yang getir

Tak bisa kita tinggalkan angin panas yang merengek
Meminta sisa reruntuhan rumah kita
: Tunjukkan pada tubuh tipis kami  pohon aprikot yang pernah
Ditanam hawa sebelum rambutnya jadi rajutan
Bagi para pendusta

Tujuh hari. Bukan tujuh abad.
Tujuh abad. Bukan tujuh hari.

Kau perlihatkan padaku  pelepah ek yang ditatah
Oleh sebuah kabilah yang tak henti meminyaki
Tangan-tangan mereka dengan  masalah.


Kampung Brotojoyo, 2014-2017

Sebuah Bangsal



Dia berbicara tentang kesehatan yang  buruk
Sisa air panas dalam termos
Serta beberapa sanak   hendak menjenguk
Namun tak juga sampai di  pinggiran ranjang

Sementara kau dirawat agar terus sedih
Tak bisa menyaksikan kaki mereka yang pendek.

Mereka memang menyukai tersandung
berkali-kali, kata seorang dokter jaga

“Sebab begitulah tersungkur harus
Mereka letakkan di sisi kiri seorang pencipta rumus,
Penimbang  utang,  juga segala bentuk perumpamaan.”

Mereka tak  sedang  menjauhimu
Meski mereka nanti butuh ratusan tahun
Melakukan perjalanan memutar
Ke gurun-gurun
Ke ladang-ladang
Ke seluruh tanah berlempung

Menemukan  celah tersembunyi yang  dinujumkan
kelak akan melahirkan seorang tukang patri

Demi melekatkan ulang manik-manik  perunggu
Yang pernah disematkan memanjang di bagian tengah
jubah paderimu

Angin—ranting  dadap—bintang-bintang—
Roti tawar—bau  langu  milik leher seorang suster,

Tak sanggup lagi kau tulis sisanya,
Sehabis kau minta dia membuka sedikit jendela.

Gayamsari, 2016-2019

Poire Belle Hélène



Demi  yang menggantung tinggi, putih sunyi
tiap orang akan mati-matian sudi
memanjat seluruh tebing kaca  hendak tahu betapa
mukjizat yang menyusup lewat salib kayu
di ubun-ubun sebuah gereja alangkah menggoda

Tapi barangkali, kau juga  sudah bosan
terhadap kesakitan yang diulang sebagaimana
bulan Desember atau bulan-bulan lain asing
jatuh terpelanting

Sementara sebentang langit  di pagi hari murung
tak bisa menyentuh perangai tanganmu
yang keras kepala memperbesar bara api
di bawah pemanggang roti

Duka masih saja terus menganga
mengolok-ngolok nasib kita, katamu yang lantas
berdiri membersihkan sisa cangkang telur
sembari tetap mengira malam nanti, seusai misa
kita semua akan mati di medan tempur

Aku mengisap kuat-kuat bau pahit panili
yang merembes dari tengkukmu
sebelum nanti dirampas oleh
angin musim dingin yang telah lebih dulu
mengepung kota hingga para tetamu
tak bisa memuji kudapan luhur milikmu

 Semarang, 2019