JENDELA DI BULAN HUJAN


di pikiranku ada seorang gadis
aku di jauh. cuma sebingkai jendela.
yang basah kuyup menggigigil
berharap ada yang memeluk

sepasang lengan yang aku tak tahu
muasalnya tiba-tiba datang mengetuk
agar aku membuka diri.
ia mengatakan hendak meminjamkan
hidup dan dirinya

aku berkedip menggunakan
seluruh tatapanku membiarkannya
menyambung harapan-harapanku
yang pendek

apa yang bisa dilakukan seseorang
yang takut dimangsa hujan dan desember?

pertanyaan yang cuma memantul-mantul
tak bisa keluar dari tebing dan dinding
yang mengelilingi urat kayu ubun-ubunku.

desember 2012

Pengumuman Pemenang Lomba Puisi Esai

25 Puisi Esai Terpilih

(Hasil Lomba Menulis Puisi Esai)

Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya tema yang ditulis. Untuk pertama kalinya dalam perpuisian Indonesia ditemukan tema yang demikian beragam. Tema-tema itu meliputi hukum dan peradilan, konflik etnis, problem kebangsaan masyarakat perbatasan terluar Indonesia, transgender, kekerasan sosial, Korupsi, pertanahan, maritim, lingkungan, problem dunia pendidikan, korupsi dan manipulasi, dunia bisnis, ketegangan antaretnis, dunia pesantren, dunia anak dan masalahnya, problem budaya suku terasing, kekosongan vs keriuhan kota besar, dunia penari tradisi dan penari erotis, komunikasi modern, sengketa tanah, kisah cinta antaretnis-antarbangsa-antaragama, dan banyak lagi.
Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden, orang Kubu, anggota masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional, tokoh sejarah lokal, tokoh pemberitaan media massa, pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang kesepian dan ingin bunuh diri, anggota etnis minoritas sekaligus pelaku transgender, warga Tionghoa Indonesia yang dijodohkan (dijual?) ke Hongkong, buruh tani, TKW, pemain band, Raden Saleh, perusuh, dan banyak lagi.
Beragamnya tema maupun aku liris yang muncul dalam puisi esai menunjukkan bahwa puisi esai –entah mengapa—telah membuka katup tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”—disuarakan dalam puisi liris konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat dalam perpuisian Indonesia tiba-tiba muncul dengan penuh warna. Jika meminjam terminologi Edward de Bono, dengan mengubah topi puisi liris konvensional ke puisi esai, nyata banyak hal yang semula senyap kini ramai bersuara, yang semula gelap kini mulai diberi cahaya. Banyak dari padanya memang belum sepenuhnya berhasil sebagai puisi (tepatnya puisi esai) yang utuh dan memikat, namun fakta bahwa banyak segi dalam kehidupan dan kenyataan Indonesia mulai disentuh dalam puisi jelas merupakan sesuatu yang menggembirakan. Di masa depan kita bisa berharap bahwa puisi Indonesia tidak sepenuhnya terpaku pada tema dan urusan kesepian serta kegalauan individual, melainkan mulai menggarap juga kekayaan, keluasan, dan keberagaman situasi dan pengalaman meng-Indonesia.
Tidak kurang dari 400 (tepatnya 429) puisi esai yang masuk ke Jurnal Sajak saat lomba Menulis Puisi Esai ditutup. Mengingat setiap puisi esai terdiri dari puisi panjang –terkadang tidak kurang dari 10 puisi panjang– maka puisi esai yang masuk ke panitia sebanding dengan 4000 s.d. 6000 puisi liris. Untuk menangani hal tersebut dibuat dua jenjang penilaian, yakni Juri Awaldan Juri Final. Juri Awal yang terdiri dari Ahmad Gaus, Jonminofri, Elza Peldi Taher, dan Fatin Hamama memeriksa setiap puisi esai yang masuk dan menilai kepuisiesaian tiap-tiap karya peserta. Puisi esai –ditandaioleh adanya plot, konflik, catatan kaki, keutuhan sebagai sebuah sajak panjang, dan sebagainya– dijadikan kriteria awal dalam memilih puisi esai yang masuk untuk diloloskan ke babak berikutnya. Maka sajak panjang berupa kumpulan beberapa sajak dengan judul berbeda-beda dan tidak memiliki keutuhan sebagai satu puisi esai tidak lolos ke seleksi selanjutnya. Demikian pula puisi yang tema dan panjangnya relatif memenuhi kriteria puisi esai namun tidak disertai dengan catatan kaki, tidak lolos ke babak selanjutnya, karena beberapa fakta di sana tidak dapat dirujuk pada sumber yang adekuat.
Juri Final yang terdiri dari Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, dan Jamal D. Rahman sepenuhnya berhadapan dengan puisi esai. Mereka bertugas memilih pemenang 1, 2, dan 3, serta 10 pemenang Hiburan berdasarkan mutu puisi esai yang masuk lomba.
Tidak mudah memilih juara 1, 2, dan 3. Lebih-lebih tidak mudah memilih 10 pemenang hiburan. Setelah membaca dan mendiskusikannya berkali-kali akhirnya dipilih para pemenang sebagai berikut:
“Mata Luka Sengkon Karta” karya Peri Sandi Huizche sebagai Juara pertama
“Interegnum” karya Beni Setia sebagai Juara Kedua, dan
“Syair 1001 indonesia” karya Saifur Rohman, sebagai Juara Ketiga.
Sebagaimana terlihat dari judulnya “Mata Luka Sengkon Karta” mengangkat permasalahan hukum dan peradilan sebagaimana yang pernah dialami dalam kasus Sengkon Karta yang pernah menjadi pemberitaan utama berbagai media massa di masa Orde Baru dan kini mungkin sudah mulai dilupakan. Puisi Esai ini dipilih karena keutuhan, kelincahan bahasa, alur yang kuat, dan riset yang mendalam atas subjek yang ditulisnya. Penggarapannya cukup ditel, diksi-diksinya pun segar. Penulis mampu membuat kasus lama ini hidup kembali untuk diperhadapkan dengan situasi hukum dan peradilan di masa kini. Ada beberapa ungkapan daerah, namun relevan dengan jalannya cerita sehingga tidak mengganggu keutuhan. Sedikit kelemahan pada puisi esai “Mata Luka Sengkon Karta” ini adalah rentang waktu pengisahan yang sangat panjang dengan sekian lanturan anak kisah. Sekalipun begitu, secara umum puisi esai ini ditulis dengan memikat.
“Interegnum” ditulis oleh Beni Setia, seorang penyair kawakan. Dengan bersih dan padu, kisah lama yang diambil dari sejarah dan cerita rakyat ini dibangun tahap demi tahap secara hati-hati hingga terbangun gambaran peristiwa di Palangan Mejayan masa silam. Dalam bentuk yang rapi tersebut, plot, konflik dan penokohannya dibiarkan tidak tajam dan digantikan dengan suasana-suasana dalam gambaran yang terkendali, Catatan-catatan kaki dibuat untuk menunjang bangunan informasi latar kejadian dalam cerita ini.
“Syair 1001 Indonesia” mengangkat kasus hukum dan korupsi yang menjadi berita hangat berbagai media massa belakangan ini. Dalam “Syair 1001 Indonesia” terjadi fiksionalisasi atas fakta, dan terkadang juga faktanisasi atas fiksi. Fakta dan fiksi terus-menerus dipermainkan. Dengan meminjam tokoh nyata sebagai pencerita orang pertama, maka puisi esai ini dibangun nyaris sepenuhnya dalam bangunan ironi. Ada upaya keras untuk membangun rima (khususnya rima akhir), beberapa berhasil beberapa terkesan agak dipaksakan. Namun, karena bangunan utama puisi esai ini adalah ironi, maka persamaan bunyi akhir yang dipaksakan itu terkadang menggaris bawahi unsur ironi pada puisi esai ini.
Pemenang hiburan agak sulit dipilih karena jumlahnya 10 buah sehingga rentang kualitas antara satu dengan lainnya terkadang cukup besar. Hanna Fransisca, misalnya, mengangkat tema masyarakat etnis Tionghoa Singkawang yang berhadapan dengan kemiskinan di satu sisi dan godaan untuk menjodohkan anak gadis dengan lelaki Hongkong demi beroleh kemakmuran. Puisi esai ini ditulis dengan nada serius, sementara Wendoko menulis dengan gaya santai dan main-main tentang telepon. Ada kisah cinta berlatar kekerasan sosial di Sampit karya Catur Adi Wicaksono, dan ada pula kisah Ki Bagus Rangin yang berlatar sejarah karya Kedung Darma Romansha. Di sisi lain, ada pula puisi esai yang berupa “alegori mistik” karya Rahmad Agus Supartono. Hampir semua pemenang hiburan mengangkat tema yang menarik dan ditulis dengan cukup memikat. Godaan utama pada nyaris semua pemenang hiburan adalah kurang fokus pada satu alur utama sehingga penokohan, konfik, maupun riset (sejauh terlihat pada catatan kaki) kurang terfokus. Kekuatannya, hampir semuanya menunjukkan daya puitik yang menggugah.
Selain 10 pemenang hiburan. Juri memilih 12 puisi esai yang dianggap menarik. Keduabelas puisi esai ini dipilih karena daya tarik permasalahan yang diangkatnya sebagai puisi esai, meski karya mereka belum mencapai keutuhan sebagai sebuah karya yang solid. Tentu saja 12 puisi esai yang dianggap menarik ini memenuhi capaian minimal puisi esai yang relatif baik. Banyak puisi esai yang mengangkat tema serta persoalan yang sangat menarik. Sayang, tema-tema menarik tersebut belum ditunjang oleh kemampuan menulis yang memadai. Kami berharap, para peserta tidak puas dengan apa yang mereka capai sekarang hingga terus berusaha di masa depan untuk mengangkat tema-tema menarik itu dalam bentuk puisi esai yang memikat.

Juri Final
Agus R. Sarjono
Acep Zamzam Noor
Jamal D. Rahman

Juri Awal
Ahmad Gaus
Elza Peldi Taher
Fatin Hamama
Jonminofri

Juara
1.         Peri Sandi Huizche – Mata Luka Sengkon Karta
2.         Beni Setia – Interegnum
3.         Saifur Rohman  - Syair 1001 Indonesia

10 Pemenang Hiburan
1.         Arief Setiawan – Ngati
2.         Arif Fitra Kurniawan – Bukan Lagi Rahasia Kita Raisa
3.         Catur Adi Wicaksono – Jejak Cinta Madun Di Kota Sampit
4.         Hanna Fransisca – Singkawang Petang
5.         Jenar Aribowo – Suara Suara Ingatan
6.           Katherine Ahmad – Dalam Belenggu Dua Dunia
7.           Kedung Darma Romansha – Rangin
8.           Rahmad Agus Supartono -  Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas
9.           Wendoko – Telepon
10.       Yustinus Sapto hardjanto – Ziarah Tanpa Ujung

12  Puisi Esai Menarik
1.  Alexander Robert
2.  Baiq Ratna Mulyaningsih
3.  Carolina Betty
4.  Chairunnisan
5.  Damhuri Muhammad
6.  Huzer Apriansyah
7.  Nur Faini
8.  Onik Sam Nurmalaya
9.  Sahasra Sahasika
10. Sifa Amori
11. Stefanus P. Elu
12. Yudith Rosida


diambil dari :  http://puisi-esai.com

sebelum 121212

jam memang terus berdetak. adik saya + suami nya + mbimbi   datang. (oiya, mbibi sekarang jadi item deh perasaan. dan kurus) mereka tahu besok bukan saja hari bahagia buat saya, tapi bagi mereka yang jadi kami, melihat saya lulus jauh lebih wah dari hari  lebaran. itu makanya adik saya bolos kerja bolos kuliah, ayah saya libur. mamak saya libur. hari akan jadi tampak lebar saudara. besok pada jam 9 pagi saya wisuda. hari ini wajah saya dan mereka sama sama neon 100 watt.

MALAM DINGIN DI DEPAN HALAMAN


di sini aspal dingin, pohon-pohon dingin
hari-hari dibentuk dari jutaan es batu

nasibku tetap selamat malam
yang ingin aku selimutkan
ke kuncup mata tidur engkau

yang kelak akan mekar demi memeluk keyakinan
bahwa di mimpi, kita akan saling menciumi
warna-warna televisi yang sekarang
pandai menciptakan perang untuk menyakiti diri sendiri
di mimpi, entah kenapa kita jadi kehilangan banyak sekali agama.

kemudian dari datar dada kita yang runtuh
akan memantul; alamat-alamat yang lama
diburu para pendaki
yang mengira sudah sampai di puncak
membawa kaki mereka yang bodoh.

kita tidak punya puncak.
kita tidak punya puncak.
kita cuma punya dasar.
katamu. ditelan oleh kejauhan.

dan mereka tersadar.
buru-buru mereka melilit tempat mereka
tumbuh layaknya seekor ular

tapi percuma. luka-luka yang dulu
tidak bisa memaafkan kita itu juga akan mengubur
mereka satu-satu sebagai kesalahan besar
yang dimiliki usia benalu
: nenek moyang seluruh bayi-bayi bencana

di sini aspal dingin. tidak ada lagi pohon-pohon.
tapi hari-hari terus dibentuk dari jutaan es batu.


(grabag, november 2012)

KAMERA GHAIB DI SAJAK-SAJAK A GANDJAR SUDIBYO



Seandainya kita katakan, sebuah sajak adalah bentuk mimesis dari apa yang dihadapinya di luar sebuah wujud penciptaan, tentu ia kita perkenankan mengambil, menyerobot, dan mendaur ulang semua itu sebagai sebuah representasi kejadian-kejadian yang pernah dialami.  Dan bagi pembaca,  menikmati sebuah sajak  tak lain memberikan pelajaran pada –ketubuhan- kita, untuk  menerima, setelah upaya mempertanyakan  serta mempernyatakan terkadang mesti gagal, kita diminta menabahkan diri ketika  tidak mendapatkan apapun  yang kita inginkan.  ... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat. Penggalan dari Chairil Anwar  itu kiranya yang akan mewakili kita ketika berhadapan dengan sebuah teks sastra. Kita seperti diminta untuk menerima sesuatu yang  transenden dalam pemahaman yang temporal.

Adalah camera obscura, bahasa Latin untuk "ruang gelap", mekanisme awal untuk memproyeksikan tampilan, menangkap gambar maupun bayangan. Yang muncul pada abad 16, dan kita mencatat nama Girolamo Cardano, sebelum pada akhirnya pada tahun 1829 Joseph Nicepore dan Louis Daguerre—dua orang perancis,  membuat kamera Daguerreotype, cikal bakal kamera yang digunakan banyak orang sekarang.  Jadi di wilayah inilah  penciptaan sajak-sajak Ganjar saya curigai; dia berupaya memotret (baca: mengabadikan) peristiwa-peristiwa yang melintas dan berlalu lalang melalui mata dan telinganya, melalui media elektronik headphone-nya,  komputernya, pemutar musik telepon genggamnya.


...pasanglah headphone, lalu nikmatkanlah dirimu rapat-rapat,
nikmatkanlah. sebuah kaset tak habis-habisnya untuk diputar;
sembari kita tahu, ini minggu yang sibuk:
--aku yang menerjemahkan bibirmu
--kamu yang mengisyaratkan bibirku.

dalam sajak “Nota Perjanjian”



Betapa memang, kita tiap hari, bahkan tiap sepersekian menit, telinga kita, mata kita, nalar kita  diserang oleh sesuatu yang masif dan bertubi-tubi. Lagu-lagu, suara pengamen, teriakan demonstrasi, orasi-orasi politik, tayangan iklan dari televisi, radio, arus informasi  internet yang  sesak berjubelan memaksakan diri mereka untuk kita dengar kita baca. Sebuah arus kebudayaan membawa kecanggihan yang membuat  telinga-mata-nalar- kita niscaya akan  “berdarah” sebelum sempat menangkapnya utuh lantaran semuanya melintas sedemikan cepat setelah seenaknya mengiris keberadaan  kita.

...jurang-jurang itu
adalah doa-doa kita dulu yang terlampau tinggi. memohon
tuhan untuk melarang manusia mendirikan gedung-gedung
bertingkat, perumahan-perumahan mewah, dan menciptakan
internet...

dalam sajak  “Glosoli”


ini barangkali yang, mengulang kembali apa yang telah dikatakan Terrence Francis  Eagleton,  pada prinsipnya, estetika adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang dalam konteks  ini menjadi antonim bagi penciptaan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan segala sesuatu  yang bersifat inderawi (sensuous), konkret, bersifat nisbi, terbatas,  kesementaraan.

...
kami sedang ada di atas, melukis kalian, kata mereka
.....

maka berkatalah seorang di antara yang lain:
dunia ini akan lekas penuh angin
dan kata-kata akan lekas kembali dibutuhkan
untuk membikin kalian abadi 

dari sajak “Hoppipolla”

dan Ganjar memotret yang menghantui inderawinya, agar dalam keniscayaan,  yang berkelebat dengan sangat cepat bisa diabadikan, kita diajak untuk membekukan ingatan demi kita yang merasa labil akibat kehilangan. Kita diingatkan pada penggalan sajak Goenawan Mohamad: ... separuh ilusi//sesuatu yang kelak retak// dan kita membikinnya abadi// .


...ah, kita selalu saja risau pada ingatan. apapun itu.
tak ada doraemon di sini. tapi di masa lalu, diam-diam
kita seringkali adalah nobita dan terkadang sinchan;
waktu telah diuji, kita berulang-ulang ingin saja
pun khusyuk membayangkan: dunia ini
mudah sekali berubah, bukan?

aku ingin sekali punya sayap, kitaku
sebelum ingatan menamakan dirinya hantu.

 dalam Sajak  Glosoli



Peristiwa, kejadian yang membahagiakan dan bahkan tragedi berkemungkinan melintasi kita saling sengkarut dan bergantian. Selalu ada yang berubah sebab kita terus menerus tak bisa dengan mudah  keluar dari lajur perwaktuan. kita akan sangat sulit sekali lepas dari elemen-elemen waktu—masa lalu-masa sekarang-dan masa depan.  Sementara  kita memerlukan media sebagai representasi dari yang bergerak cepat itu.  Maka di wilayah kegelisahan ini Ganjar mencoba mengabadikan itu semua. Sebab tiap orang sejatinya merasa cemas, dan berusaha mengabadikan apapun yang pernah dan sedang dimiliki, betapa kecemasan itu menjadi  pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh sajak Ganjar,


Gelang

terima kasih, dik. katamu. yang putus telah kembali;
kamu telah susah payah mencari di toko ini-itu
sampai ke toko mainan anak-anak.

bagaimana tidak...kita memang selalu
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan:
mencari untuk melengkapi atas apa
yang kita rindukan, atau
menerima diri kita yang sebenarnya
telah tuntas

mengenakan atau melepas

2012 


Mencatat  proses kreatif sajak-sajak Ganjar adalah menimbang lagi bagaimana secara   terbuka Afrizal Malna dalam tulisan panjangnya di akhir kumpulan sajak Kalung Dari teman,  ia  juga  merasa pernah dihantui oleh bayangan sajak Amir Hamzah-Chairil anwar-Rendra kemudian merasa bersamaan juga  dikerubungi oleh teks-teks  Goenawan Mohamad- Sapardi Djoko Damono- Sutardji Calzoum Bachri  dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, Bukankah seperti  yang ditulis di sajak Ganjar, Kesepian sebenarnya tidak pernah ada. Kita adalah tubuh yang mengalami aktivitas tarik menarik dengan apa yang ada di sekitar kita. Sajak Ganjar juga barangkali mau tidak mau terkontaminasi dengan teks-teks yang pernah ada dan berkeliaran di sekujur perangkat inderawinya. Tidak ada sebuah teks  yang lahir sendirian. Namun bergeser  dari itu, sajak-sajak yang selama ini diciptakan  Ganjar, terutama  beberapa sajak yang terlihat di sini, begitu terasa  kerapianya, bagaimana enjambment  menciptakan ayunan yang dialektis, konstruksi suasana yang hampir menyergap di sana-sini, simbolik-simbolik dan personasifikasi yang timbul-tenggelam-merayap-merandai dalam lingkaran romantisme melankolis. kita jadi melulu merasa menjadi kekasih atau seseorang yang memliki kekasih dan didorong untuk berterima kasih kepada jarak, kepada kepenatan  lantaran dari sanalah kita bisa membahagiakan kerinduan. Dari proses rajut kepengrajinan sajak penyair ini yang membekas adalah bagaimana kegigihan dalam mempertahankan upaya-upaya eksplorasi-intelektualitas, memanfaatkan benturan maupun sergapan sesuatu yang asing dan membawa unsur ensklopedis. Seperti membiarkan pintu sajaknya terbuka begitu saja agar bahkan sesuatu yang barangkali kita anggap asing, baik itu berupa bahasa, film, lagu, gaya hidup dari nun jauh yang bahkan awalnya tidak kita kenal masuk, masuk begitu saja. Itu barangkali yang menjadikan sajak-sajak Ganjar kaya penafsiran, kaya pengucapan.  Seperti di beberapa sajak yang saya tangkap di sini, ada Glosoli, Hoppipolla, dan Olsen, yang  pada akhirnya, sajak  tersebut  saya tangkap sebagai  potret tertulis yang mekar dari lagu-lagu milik Sigur Ros, sebuah ambient-post rock  band dari  Reykjavik, kota di negara Iceland. Barangkali kita memang tidak perlu mencari sumber deviasi antara  sajak-sajak Ganjar dengan lagu-lagu tersebut. Seseorang bisa saja dan boleh menulis sajak dari  medium televisi, memperhatikan selokan di depan rumahnya, menjerat lukisan dari sebuah pameran, mengintip orang-orang yang berjalan dari jendela kamar, menciptakan sajak dari kemacetan, perjalanan dari kota satu ke kota lain.Mengais sajak dari kutipan-kutipan bijak orang-orang, dari buku-buku atau dari apapun.

Saya rasa keberhasilan sajak Ganjar adalah, ketika pembaca justru tidak memerlukan kondisi korelasi dengan lagu-lagu  milik Sigur Ros....., keadaan  a-historis yang menciptakan interpretasi diskursif  terhadap sajak-sajaknya, justru menjadi serangkaian pemaknaan yang merdeka di hadapan pembaca. Ya, sekali lagi, kitalah pembaca itu,

... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat.

________________________________________________________________

Semarang, 1 november 2012.
Arif Fitra Kurniawan. Bergiat serius di Komunitas Lacikata-Semarang

Pernikahanmu

tanggal 8 nopember. aku akan mengingat hari itu seperti pernah ada tanggal dan hari yang telah bersusah melahirkan sekaligus menelentarkan keinginan-keinginan aku. padahal masih ada waktu untuk berpura-pura tabah. menyapa terus diri sendiri.ya. masalalu kenapa datang membawa masalah baru bagi kita.



TAK SEPADAN – CHAIRIL ANWAR

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
  
Chairil Anwar
Februari 1943

Dear, Ayah

hari ini kamu ulang tahun kan? 

saya siang tadi membeli topi yah, semoga pas ya. untuk menutupi kepala kamu yang beruban. untuk membentengi kepala kamu dari cuaca yang panas minta ampun. saya lihat kamu tertidur nyenyak sekali di lantai. jadi tidak tega rasanya membangunkan di jam selarut ini  untuk tiba-tiba memberi kejutan. saya juga sudah menelepon adik kok, mengingatkan, siapa tahu dia lupa hari jadi ayahnya yang paling tampan ini. 

sstttt. kamu tahu, kami begitu mencintaimu kan?, ingat ya, besok tidak boleh cengeng kalau saya peluk. selamat ulang tahun. semoga napas kamu tetap yang paling panjang.




UJIAN BUKAN AKHIR

gambar diambil sebelum memasuki ruang ujianhari ini saya ujian skripsi ibu, tidak ada perasaan macam-macam, selain, ya, kamu tahu sendiri; seperti kata seorang  teman, apa yang saya dapati biasa-biasa saja, semua orang toh juga melewati fase ini. cuma konteksnya menjadi terkesan heroik ketika saya mencapainya dengan susah payah. setengah hidup saya bertahun-tahun lalu "merindukan" yang berkenaan dengan, ah, lagi-lagi saya mulai muluk-muluk bicara tentang cita-cita, tapi saya mesti mencatat ini. mencatat bagaimana dulu sekali, saya rajin  menyisihkan uang 5000 tiap hari di celengan, deg-degan menghitungnya di akhir tahun bekerja sebagai teknisi mesin sebuah pabrik kecap, norak  dan berharap banyak dari tabungan untuk biaya sekolah. mencatat bahwa saya butuh lebih dari 3 tahun untuk mengumpulkan 7 celengan ayam saya sampai penuh dan memecahnya. dan benar saja,takdir ternyata kita sendiri yang menentukan. saya di sini, bu. membayangkan kamu memeluk saya. membayangkan kamu tidak akan bisa berkata banyak.kamu akan menangis saking bahagianya. saya kerap ngungun sendiri mengingat kamu yang penjual bubur itu, yang sering dicemooh itu. yang selalu berjalan berkilo-kilometer jauhnya menggendong saya ketika membeli ketan mentah, bagaimana kamu selalu punya alasan untuk tidak membelikan sepatu baru menggantikan sepatu saya yang jebol, dan akhirnya cuma di sol berulangkali, diganti dengan karet ban. saya selalu ingat bagaimana kamu menghardik ayah: sekurang-kurangnya kita, anak-anak harus sekolah setinggi-setingginya. 

setinggi apa bu?

banyak yang mengira, bahkan saya sendiri kerap sangsi akan sampai di titik ini. tapi apa boleh buat, kengeyelanku untuk berusaha kadang membuahkan hal-hal di luar dugaan. salut saya bu, kepada ayah, suamimu paling tampan itu, yang selalu saya candain si jacky chan itu. napasnya luar biasa panjang. bangun sangat pagi dan tidur pagi lagi. tak ada hari libur di kepalanya. dan kemarin ketika saya ulang tahun, dia memeluk saya, menangis dan berbisik: maaf. saya tak tahu kenapa dia selalu saja meminta maaf ketika memeluk saya bu. apa selama ini saya menderita? duh.

harapan kamu kesampaian bu, bulan desember nanti saya wisuda.  saya tahu. jauh di sana kamu berdoa terus. ya, doamu itu saya yakin yang mengantar saya sejauh ini. terimakasih, telah mengajarkan, dan saya akan melanjutkan berjalan sekuat saya dan doa kamu lagi. jangan diamini dulu ya, bu. berdoa tidak pernah berakhir.

peluk dan cium*



YANG MENYERANG PERCAKAPAN KITA



ini barangkali yang hendak engkau rekayasa; segelas teh hangat
yang telah bersusah payah memeluk  kita. tak mudah memang
menjadi pemenang yang  sehilir ketika sampai di meja.

katamu, mesti ada yang aku engkau sesali. dan aku menunduk.
harapan  ini tak cukup menampung kita yang menggigit jemari
sebab  berkali-kali mengaduh dinyalakan dimatikan remote televisi

dan aku, yang suatu ketika jadi ruangan kecil dimana kerap engkau
menunjuk dan menatap, menyalahkan banyak hal, disaat engkau
dan aku lebih suka berbisik-bisik, mengawinkan sepasang pernyataan.
sesekali mendesah,

: engkau kapan akan mengulang malu-malu engkau [?]

di tangan jam yang sebenarnya gugup, kemudian kita malah menyerah
dan memilih untuk tak sanggup; duh, kata-kata siapa ini meremas hikayat.
kita tidur di lapang dongeng-dongeng yang membangun kota ini dari api.
dari orang-orang yang kesulitan bicara bahkan sekedar mengucap  barangkali.
tapi aku masih yakin tubuhmu tak mudah  terbakar.

di luar jendela, angin, engkau tahu benar  telah menutup mata
dan berpura-pura tidak memperhatikan pecahan lidah  kita

(semarang, 2012)

MEMULAI DARI NOL ATAU SATU

            Saya pulang bu, menemui kamu. menemui rumah. dan ternyata menjadi teledor adalah misi yang memang sudah diincar waktu. aneh, ketika saya lupa letak makam kamu, bu. saya berdoa panjang petang itu. nyaris tanpa amin dan menutup muka. membiarkan banyak hal mengalir dari mata dan dada saya. saya jadi nerveus. atau jangan jangan kamu sudah menuduh saya si anu yang tak tahu berterimakasih. aduh, malin benar saya kalau begitu. meski ketidakhadiran kerap bisa menghapus banyak hal dari ingatan, tapi, ah tapi bu, cuaca rumah tetap tak banyak berubah. cuma perabotannya saja yang kadang berganti, ruang tamu yang digabung jadi ruang keluarga, kamar mandi yang diganti lubang kakusnya, selimut kenang-kenangan milik kamu sudah berubah warna terlalu sering dicuci sama adik. seharian di waktu lebaran, saya memikirkan kamu. tiba-tiba kamu pandai membelah diri. di tembok dilantai di meja televisi di dekat vas bunga plastik. saya kangen dan tiba-tiba jadi sebegitu cengengnya. saya mesti sungkem dengan cara bagaimana, saya sudah berkali-kali meminta maaf dalam hati. kok dingin. kok ada yang mengeras. saya banyak minum dan merokok. sulut lagi. minum lagi. ayah membangun percakapan. adik membangun percakapan. kata mereka semestinya makam kamu ditulisi saja. agar yang pergi terlalu lama tidak tersesat ke makam orang lain.

- maafkan saya ya bu (tuuuh kan lagi-lagi kamu mengangguk) - Love and hugs.

brama kala, sajak Gunawan Maryanto

kuku kuku jarimu yang putih
seperti pertanda buruk
bahwa kelak kau akan melukaiku
sebesar apapun cintamu padaku

( Sajak Brama Kala-- Gunawan Maryanto)

--

inilah saya, yang tampak bodoh namun akan selalu percaya kepada hal-hal baik, sebab dengan begitu mereka akan mempercayakan kebaikan mereka untuk saya kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja. terima kasih kepada banyak hal buruk yang, ah, ternyata saya bisa mengolah kalian.

--

...mengapa harus seseorang mencintai kesetiaan lebih dari
kehidupan dan sebagainya, dan sebagainya?
(Goenawan Mohamad, Dongeng Sebelum Tidur - 1971)

-

kau sendiri yang memilih terjatuh ke peribahasa itu: jadi jangan salahkan yang kayu. sebab engkau merasa kini rotan. atau malah sebaliknya. resiko dari menjadi pilihan adalah; kalau tidak diambil ya dibuang. (edisi bercakap-cakap dengan kuku yang jadi rapi sebab kemarin baru saja engkau guntingi)

-

aku sedang berpikir, kata maaf kamu adalah kata untuk menggantikan kalimat: besok aku kecewain kamu lagi ya --

-

aku selalu merasa tertangkap ketika berlari dari kejaran doa-doamu ibu, aku tak sanggup menghindar

15 PENULIS MUDA LOLOS UBUD WRITERS AND READERS FESTIVAL

DENPASAR, KOMPAS.com -- Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) meloloskan 15 penulis muda hasil seleksi. Mereka berhak menjadi tamu undangan serta disponsori untuk hadir dan berbicara pada UWRF 2012, 3-7 Oktober 2012 di Ubud, Bali.
Para penulis tersebut adalah Arif Fitra Kurniawan (Semarang), Benazir Nafilah (Sumenep), Mugiya Syahreza Santoso (Bandung), Budi Saputra (Padang), Muhary Wahyu Nurba (Makassar), Amanche Franck OE Ninu (Kupang), Olyrinson (Pekanbaru), Niduparas Erlang (Tangerang), Guntur Alam (Bekasi), Astina Triutami (Jakarta), Aprilia RA Wayar (Papua), Ayi Jufridar (Aceh), Indah Darmastuty (Solo), Sunlie Thomas Alexander (Pangkal Pinang), dan Bandung Mawardi (Solo).
Dewan kurator memberi komposisi penulis terpilih terdiri dari lima penyair, lima cerpenis, empat novelis, dan satu esais. Mereka terdiri dari empat perempuan dan sebelas pria.
Dewan Kurator UWRF 2012, yang berangggotakan penulis senior Saut Poltak Tambunan, Acep Zamzam Noor, dan Cok Sawitri, meyatakan para penulis hasil seleksi tidak hanya mencerminkan keberagaman genre kesusastraan yang menjadi pilihan dari para penulis muda Indonesia, tetapi juga merefleksikan keberagaman kultural negara-bangsa ini. "Penulis terpilih tahun ini ada yang dari ujung barat Nusantara, hingga ujung timur," kata Saut Poltak Tambunan, Senin (4/6/2012).
Hasil seleksi juga menunjukkan bahwa di luar Jakarta, telah tumbuh berkembang penulis-penulis muda yang handal.
"Naskah cerpen dan novel dari penulis terpilih didominasi oleh tema-tema kearifan lokal dengan latar kedaerahan. Masing-masing memiliki diferensiasi yang tinggi dengan penguasaan teknik penceritaan yang khas," tutur Saut.
Cok Sawitri menyatakan Dewan Kurator UWRF 2012 telah pula mempertimbangkan pengarusutamaan jender sebagai salah satu bahan pertimbangan saat melakukan seleksi. Menurut dia, para kurator tidak hanya berkutat pada pertimbangan jenis kelamin dalam kerangka memenuhi prinsip kesetaraan, tetapi juga berpihak pada isu mengenai kesetaraan ini yang dijadikan pertimbangan agar pemahaman jender sebagai konstruksi sosial dalam kerangka mencapai keadilan kesempatan melalui tandingan-tandingan ide, gagasan, karya dapat dijadikan barometer, tidak dalam kerangka emosional. Cok juga menegaskan bahwa kualitas karya tetap menjadi parameter utama bagi para kurator dalam menetapkan nama-nama para penulis yang lolos seleksi.
Manajer Pengembangan Komunitas UWRF Kadek Purnami menyatakan kegembiraannya bahwa dari tahun ke tahun jumlah penulis muda Indonesia yang mengikuti program seleksi terus bertambah. Itu menjadi sebuah penanda bahwa UWRF makin mendapat tempat di dunia sastra Tanah Air.
Tahun ini panitia seleksi menerima kiriman naskah dari 279 penulis, meningkat dari 235 penulis pada 2011 dan 105 penulis pada 2010. Hal ini tidak lepas dari kerapnya Kadek Purnami dan timnya menyambangi berbagai komunitas sastra lokal di berbagai daerah di Indonesia. Sejak 2008, setiap tahun Tim UWRF berkunjung ke paling sedikit empat kota untuk melakukan diskusi dan peluncuran buku antologi UWRF.
Para penulis terpilih akan diterbangkan ke Ubud untuk mengikuti festival sastra tahunan, yang pada 2012 ini memasuki tahun kesembilan, dan berbicara pada panel diskusi bersama sastrawan-sastrawan asing dari sekitar 20 negara.
"Karya-karya para penulis terpilih akan dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi dwi-bahasa UWRF. Keseluruhan program Indonesia UWRF didanai bersama oleh Hivos, sebuah lembaga nirlaba Belanda, dan UWRF sendiri," papar Purnami.
UWRF pertamakali diselenggarakan pada 2004 sebagai sebuah respon kultural terhadap Bom Bali 2002 serta upaya memulihkan pariwisata di Ubud. Sejak 2008, UWRF juga serius mengusung misi mmperkenalkan penulis-penulis muda Indonesia ke panggung dunia.
Pada 2011, UWRF menghadirkan 127 penulis dan 60 pemberi workshop dari 25 negara. Festival berlangsung lima hari dan diisi dengan 209 kegiatan, termasuk diskusi panel, jamuan sastra, pementasan sastra dan music, serta peluncuran buku di lebih dari 57 tempat di Ubud, Denpasar, serta di luar Bali. Angka kehadiran pada keseluruhan kegiatan festival mencapai lebih dari 23,000 orang. Sedangkan website festival mencatat diunduh 2,6 juta hits.

...

smile will heal wounds.

terima kasih ya, sudah banyak mengajarkanku  bagaimana mencintaimu. tring*

-

tenanglah dhec, kita bisa atasi kebodohan ini!

(lihat saja, nanti ibu yang di sorga akan tertawa-tawa melihat
anak-anaknya berfoto di acara wisuda)

"anak-anak yang laut. anak-anak yang ombak. waktu cuma perahu".

aku janji mati-matian memeluk kita yang terus menampung rencana.

-

kenapa Tuhan menciptakan jendela, bu?

- agar engkau bisa menuliskan sesuatu di sana ketika tiba-tiba terbangun dini hari, nak.

MEMETIK BUNGA, MENADAH HUJAN—PUISI-PUISI DEVI MAYA DAN DESTA AYU WULANDARI

MEMETIK  BUNGA, MENADAH HUJAN—PUISI-PUISI  DEVI MAYA DAN DESTA AYU WULANDARI
: oleh arif fitra kurniawan*



Mengapa saya, atau kita terus saja menulis puisi? mengapa saya, atau kita terus saja ingin memahami puisi?— akhirnya pertanyaan itu kembali dan kembali tak bisa saya jawab dengan segera. meminjam apa yang dikatakan acep zamzam noor, bahwa memahami puisi akan sedikit lebih rumit dibanding memahami prosa,artikel,dan laporan ilmiah. kerumitan ini terjadi karena  puisi dituliskan  dengan cara yang berlapis-lapis, seringkali tidak runut, kadang ambivalen dan ambigu. Penyair tidak sekedar memberikan keterangan dan penjelasan kepada pembacanya tentang apa yang ingin disampaikan, tapi juga memperhitungkan keindahan bunyi, keharmonisasian irama, kekayaan imajinasi, ragam simbolik, struktur rancang bangun kata-kata dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

kali ini ijinkan saya membuka jalan untuk mencoba memahami beberapa puisi dari dua penyair kita, yang kebetulan perempuan semua; Devi Maya dan Desta Ayu Wulandari.

1. MEMETIK BUNGA-BUNGA DARI KEBUN PUISI DEVI MAYA

Pertama yang mesti saya garisbawahi dari puisi-puisi devi maya adalah sebuah keberanian dalam mengambil resiko, saya katakan mengambil resiko di sini dengan berulangkali mencermati yang penyair karyakan. penyair agaknya memutuskan memilih mengambil resiko dengan menanamkan rancang bangun terhadap puisinya berupa tipografi yang bagi saya sebagai pembaca  menciptakan  keterbata-bataan ketika berhadapan dengan kata-kata di tubuh puisi tersebut. Pada puisi-puisi tersebut terlihat betapa konsisten penyair menggunakan ke-tipografi-an dengan bentukan kata-kata yang dimiringkan, niatan berpungtuasi, teknik penjudulan, penghilangan spasi pada sekumpulan kata-katanya. Ada semacam ketegangan di bagian ini, yakni antara peran puisi sebagai  media ekspresi dari penyair, dan puisi sebagai resepsi yang sampai kepada pembaca. ketegangan itu lantas membuahkan pertanyaan, semampu apa sebenarnya puisi dalam memberikan toleransi?. ketika sebuah puisi menjadi ego dari penyair dalam menuangkan segala kehendaknya dengan kemungkinan bahwa puisi itu ketika selesai ditulis akan menjadi hak untuk diakrabi,dinikmati, serta kemungkinan ditafsir sekehendak pembaca.  kekhasan bertipografi penyair dapat kita cermati di puisi Menulisilalang; Menunggutelanjang(bunga); taksampaisampai; Keranjangbunga; Tanpacahayabunga; Mawar. Hanya di puisi tubuh kosong, saya mendapati puisi yang lumrah saya temui secara tipografi. Secara garis besar maksud penyusunan tipografi yang beranekaragam mempunyai fungsi, yakni sebagai pendukung keindahan bentuk dari puisi yang nantinya akan dicerna indera pembaca, dan yang kedua sebagai sarana untuk mendukung pengedepanan makna, gagasan, suasana yang dibangun penyair. Devi sepertinya sudah mempertimbangkan efek yang akan ditimbulkan ketika nantinya puisi tersebut sampai kepada pembaca dan menciptakan beban berat ketika pembaca ingin menelusuri apa yang ingin ia sampaikan. Devi akhirnya seperti acuh tak acuh dengan itu, ia ingin meliarkan begitu saja hasratnya berpuisi. Sebenarnya pada ragam berpuisi seperti itu bisa saja menimbulkan syak wasangka, selain kerumitan pembacaan tentunya, seperti apa yang pernah ditulis oleh Subagyo Sastrowardoyo ataupun Sutardji, puisi-puisi devi  jika dikunyah pelan-pelan, saya seperti sedang menemukan kata-kata di sana mengalami kecemasan, takut sekali dengan kesendirian, hingga huruf-huruf itu merasa perlu merapat ke susunan kata lain tanpa spasi, tidak memperdulikan batasan karena dihantui oleh perasaan ingin melawan perasaan asing dan terkucil. Berjarak barangkali membuat huruf-huruf devi maya cemas, kemudian miring, oleng, dan terhuyung-huyung.

disamping ciri khas tipografi, saya menemukan, puisi-puisi Devi maya dibangun dengan ke khasan repetisi,

tubuh kosong

ada satu ruang dimana tak kan temukan sudut, dindingdinding yang berkelok, atau cat merah jambu yang luntur, tak maujud, juga kosong. sama halnya hati yang terkoyak atas kekasih yang menggantungkan kepalanya di antara paha kekasihnya. tak berbeda hari ini, esok, atau lusa. bungabunga kembali menjadi dongeng di bibir wanita, layu sebelum kembang, hanya lalatlalat busuk yang mengintai. tanpa sari, hanya putik. mungkin itu juga masa lalu, seperti dulu -ingatanku- akan pohonpohon yang menjelma bakpao masuk ke mulut orangorang dan berubah menjadi kancil, membuat mereka mirip boneka dengan gerak sesuai tubuhnya, tak ada bayang, sejujurnya hampa

ada satu ruang dimana tak kan temukan sudut, dangkal dalam sama saja. seperti cerita ibu tentang mula nasi. atas padi yang menjuntai mencium tanah seperti aku yang tertidur tanpa tahu aku lapar. lapar akan kasih seorang ayah dimana ia datang membuatku lelap tanpa cermai yang ibu belikan. hanya baju jahitannya yang menempel ditubuhku, tanpa peduli ada cerita hilang atas kompor meleduk di dapur antara ibu dan dua adikku

ada satu ruang dimana tak temukan sudut, hati.

nyaris dalam puisi-puisi devi maya berupa teks-teks yang ingin menunjukkan gagasan dan perasaannya dalam bernarasi melalui pola repetisi. Penyair seolah ingin menegaskan apa yang ingin ia sampaikan ke orang lain dengan mengulang-ulangnya, menjadikannya media untuk menciptakan efek sugestif. Repetisi sendiri dalam puisi adalah bentuk sederhana dari sebuah ekspansi, yang selain berperan menciptakan irama dan bunyi-bunyian berperan juga sebagai bentuk simbolisasi tegangan emosional  memuncak, atau mengkerucut, atau bahkan mengubah sifat mimesis bahasa puisi. Betapa dengan repetisi itu puisi-puisi devi jadi banyak bercerita, bercerita banyak. hampir semua puisi-puisi devi begitu. terdiri dari cerita-cerita, yang diselipi keentahan, dan tentu saja tak habis merangkum bunga. semuanya serba bunga. entah barangkali itu sebabnya penyair menggunakan akun jejaring sosial: Bunga Liar. keliaran itu tampak pada beberapa puisinya, ada kecenderungan, yang barangkali lazim digunakan penyair-penyair masa kini, yakni upaya melawan teks parenting. saya melihat upaya-upaya yang dilakukan penyair dalam berpuisi, seperti ingin membuktikan bahwa bunga, tak sekedar simbol kelemah lembutan, identik feminis, penyair ingin berkisah banyak hal dengan perantara bunga. maka muncul kata kata semisal keranjang bunga, cahaya bunga, bertopeng denga hiasan bunga. saya perlu mengapresiasi upaya tersebut, disamping pembacaan yang obyektif, bahwa sebenarnya masih banyak unsur-unsur, yang semestinya bisa dikembangkan, saya ambil contoh seperti pada proses kreatif  Ajip Rosidi menghidupkan obyek benda “selain manusia”, kemudian kreatifitas Afrizal Malna dengan membiarkan “alam benda” nya bicara sendiri-sendiri, dan Puisi Nirwan Dewanto yang memberi warna corak perpuisian dengan mempersilahkan “yang bukan manusia” dalam hal ini, flora dan fauna untuk menceritakan (bukan diceritakan) dan membiarkan mereka memberontak kepada kutukan teks turun temurun dalam mitos selama ini.  Saya masih berharap, devi maya akan tekun dan lebih gigih dalam menggali dan membangun puisi-puisinya nanti. saya rasa jika itu dilakukan dengan keyakinan dan kenikmatan, puisi-puisinya akan terasa lebih kuat dari yang saya nikmati kali ini.
2. MENADAH HUJAN DARI LANGIT PUISI DESTA AYU WULANDARI

Desta Ayu  membangun  puisinya  dengan anasir-anasir yang dimiliki lingkungan terdekat dari indrawinya,baik  mata, telinga, kulit.  Maka  puisinya lantas mengambil hujan, mengambil jendela, mengambil cuaca, tema-tema yang diambil seperti peristiwa dialogis antara mata yang dimiliki penyair dengan anasir-anasir itu. Sebagian besar puisi desta dibangun dengan bantuan mata, sebagai organ visual yang menangkap banyak peristiwa.

pasang surut
ketika waktu telah mencatat kemudian lompat pada jarak yang sempat terhenti,
kurasa kita telah samasama belajar memahami detil makna sebuah persudahan.
tentang jika tiba-tiba hujan datang menggelar jembatan, menyajikan ingatan
: merindu dan seketika angin mendesau menabur-hambur pasir ke sela karang yang terlampau tegar. dan hujan mereda.
Tak ada lagi yang tinggal hingga ombak kembali bergulunggulung.
(lampung selatan, 4 agustus 2010)


puisi berjudul pasang surut ini yang menjadi pijakan bagaimana saya bercerita tentang puisi-puisi yang ditulis oleh Desta Ayu Wulandari. Puisi-puisi yang bisa dikatakan agak berbeda  dalam gaya bertutur dengan puisi-puisi devi maya. bertipografi lazim dan cenderung  polos, begitu juga dengan diksi-diksi yang dibangun, halus. Meski sama-sama bernarasi, tapi Desta ayu cenderung menuangkan gagasan dan perasaannya dengan cara yang sederhana. metafora dan idiom-idiom yang cair. Seperti di jalan tol saja ketika saya menghadapi puisi-puisinya, nyaris tanpa beban dan kejengkelan. Lancar. Kata-kata mengalir dengan nada datar, tidak menimbulkan grafik naik turun.  Ada yang menggelitik saya untuk, semacam mengubukan, bila pada puisi-puisi Devi Maya beraroma wangi akibat banyak sekali bertaburan bunga, sementara puisi-puisi Desta Ayu menjadi begitu lembab dan basah, ini saya duga akibat sering hujan-hujanan.  Bisa dilihat di beberapa puisi Desta Ayu diantaranya, Dua Penunggu kereta; Mengenang; Berdiskusi Dengan Hujan; Hujan dan Jarak; Perpisahan,  bagaimana puisi-puisi itu tak bisa menghindar  dari serangan hujan.  baik itu hujan dengan level  deras, gerimis, dan titik-titik. Desta Ayu seperti kebanyakan penyair lain, kemudian mendekatkan hujan kepada diksi diksi yang linear, seperti kepiluan, kaca dan jendela, rindu, ketidakmampuan dalam melawan, café, percakapan asing. Saya jadi teringat puisi-puisi Sapardi, yang begitu tabah menadah hujan, tabah memasukkanya ke dalam perasaan. Hujan selalu bisa dan terbiasa menampilkan keadaan yang sayup-sayup, melankolis. Dan Desta  saya rasa tidak ingin mengubah dan mensiasati kehendak alam itu. Penyair cenderung mengambil hujan sebagai lanskap bagi kesepiannya. Nyaris tak ada kejutan dari hujan-hujan yang penyair sajikan, semuanya sedemikian lurus mengalir. Cuma kemudian saya telusupi, beberapa kali penyair ingin sampai kepada keironisan,bagaimana ia ingin memperlihatkan di puisinya yang berjudul Perpisahan, penyair menulis: Dalam jarak, kita mencipta ketiadaan. keironisan seperti ini ingin ditebarkan dimana-mana. Ada upaya pengkreasian bagaimana menonjolkan perasaan-perasaan yang saling melawan ke dalam puisi. Barangkali keputus asaan sekaligus harapan, keentahan dengan keyakinan, atau tentang kematian  yang  kait mengait dengan kehidupan  ditumpahkan  secara halus ke dalam puisi.


tuhan
di jendela-Mu kugantungkan malam
panjangkanlah umurnya sampai kutemukan nyawa bagi jiwa yang hampir mati ini

Saya rasa puisi ini, mempresentasikan apa yang tengah terjadi pada diri penyair, selain puisi  Menghitung Waktu, Mencatat yang Kuingat. Puisi yang ingin menjadi rekam jejak dari kerelijiusan. Saya jadi banyak berharap dengan puisi-puisi seperti ini dari Desta. Meski di Puisi menggantung malam ada kesan penyair masih terburu-buru, hingga “nyawa” dari puisi ini  jadi tak tampak. Gagal menjadi puisi pendek yang baik. meskipun baik sendiri mempunyai banyak sekali tafsiran. Namun bisa ditekankan, puisi yang baik hampir selalu mengandung  paduan hal-hal teknis dengan bagaimana kepekaan penyair mengisap pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sebagai manusia  Semua memang butuh proses dan ketekunan. Kepada  Puisi Desta saya optimis, jika terus berproses dengan jujur sambil membuka diri pada banyak hal yang bersifat kontemplatif, akan menjadi puisi yang  bernyawa

Tematik yang dibangun dalam puisi-puisi Desta Ayu cenderung kepada  ketegangan dan kebuncahan dirinya, kebuncahan perasaan personal, momentum percintaan, kebuncahan perasaan dengan orang lain serta  hubungan penyair dengan Tuhan. Ada tema besar kegelisahan ketika seorang penyair ingin mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk teks sastra, dalam hal ini  puisi, yakni kegelisahan sosial--politik,  kegelisahan metafisik, dan yang ketiga adalah kegelisahan eksistensial, dan Desta Ayu  saya rasa sudah berhadapan dengan itu semua.  Tinggal apa lagi kalau tidak mengolahnya lebih jauh lagi ke dasar.


Terakhir barangkali,kiranya  puisi-puisi dari 2 penyair kita kali ini, menyumbangkan beberapa dorongan kita untuk mencatat dan mendapatkan sesuatu. dan memang, hakikat sumbangan  hanya akan benar-benar berfungsi dengan baik jika kita memang benar-benar membutuhkannya. Jika tidak, kita bisa mengabaikannya.

ida, puisi ialah putusan memilih, menimbang dan membuang; sinar rontgen menembus putih tulang!, demikian tulis  Chairil suatu ketika.


(esai ini ditulis untuk kepentingan Petik Puitika#4 komunitas Lacikata, yang diselenggarakan tanggal 13 Mei 2012)

-

maaf, aku tidak mampu mengikuti hobi barumu, mengajakku cebur dalam permainan; siapa lebih bisa dari siapa. kenapa orang-orang selalu ingin mengalahkan ya?

-

kadang memang, dalam diam, kejujuran cuma sekadar kebohongan yang belum terbongkar.

MENDOAKAN RAISA

telah kami aminkan pagi-pagi sekali, raisa
sebelum kau dan rambutmu bangun dan
merasa ada yang merambat terlalu cepat,

ke salon, hari-hari itu dengan warna pekat
mesti kalian rawat.

di kursi empuk salon, sengaja, sebab menunggu
adalah cara tuhan mengetahui seberapa lebar
dada kita dalam bersabar

: engkau putar setiap kejenuhan dengan hati-hati sekali
di kupingmu sedatar lagu-lagu yang kau tak tahu
siapa yang bernyanyi dan mengorbankan dirinya
sepanjang hari menjadi suara.

rambutmu kian lurus dan licin di kaca itu, raisa.
kami tak mau mengumpamakannya sebagai jam-jam
yang lama diperebutkan televisi demi menayangkan
kesedihan

kami terus mendoakanmu, dengan sisa-sisa
senyum kami yang habis dikuras pulsa,
sejahterahlah kedua ibu jarimu itu, raisa

KAMUS DARI DAPUR

Adas  =  fennel
adas manis  = aniseed
asam jawa  = tamarind
bangkuang =  jicamah
bawang  bombay  = onion
bawang daun =  green onion , scallion, spring onion
bawang merah = shallot
bawang putih =  garlic
beras ketan = glutinous rice
bihun = rice vermicelli
buah lawang ( pekak ) = star anice
buah pala = nutmeg
bunga pala = mace
cabe = chilli pepper
cabe rawit = cayenne / bird's eye chilli
cengkeh = clove
cuka = vinegar
daun pandan =  screwpine leaf
ebi = dried prawn (shrimp )
garam = salt
gula merah /jawa =  coconut sugar
gula palem/aren = palm sugar
jahe = ginger
jeruk limau / nipis =  lime
jintan = cumin
kacang ijo = mung bean
kacang mete =  cashew nut
kacang panjang = long bean
kacang tanah = peanut
kapulaga =  cardamom
kapur sirih = lime paste
kayu manis = cinnamon
kecap manis = sweet soya sauce
kecap asin = soya sauce
kecap ikan = fish sauce
kedelai = soya bean
kelapa = coconut
kemangi = basil - lemon basil , Thai basil
ketumbar = coriander
kucai =  chinese chives
kunyit = turmeric
lengkuas = galangal
merica =  pepper
merica hitam = black pepper
minyak wijen =  sesame oil
paria / pare = bitter melon / bitter groud
petis = black shrimp paste
ragi = yeast
rebung = bamboo shoot
santan = coconut milk
saus tirem = oyster sauce
sedap malam = dried lily flower
seledri = chinese celery
serai = lemon grass
soun = mung bean thread
tahu = tofu
tauco = preserved soy beans
taoge = bean sprout
telur puyuh = quail's egg
tepung beras = rice flour
tepung hunkweee = mung bean flour
tepung kanji = tapioca flour
tepung ketan = glutinuos rice flour
tepung maizena = corn starch
tepung terigu = wheat flour,plain flour
terasi = shrimp paste
ubi = sweet potato
wijen = sesame seed
minyak wijen = sesame oil
cai sim = bok choy ( english singaporean )

Peter Gabriel - The Book of Love

aku membayangkan, kelak kita menua, terlalu tua, hingga lupa  kita pernah memulai semua perihal ini dari mana





MBI MBI , 5th

 dear hari ulang tahun.

aku lah yang kamu tunggu. agar kamu bisa mengecupkan
usia itu ke keningku.
ya, sudah 364 hari bukan kamu mengincar saat macam ini.
kali ini aku bergaun merah. agak kekecilan.
gaun yang dibelikan ibu berwaktu-waktu yang lalu.
aku semakin besar ya. semakin bisa menggambar ikan.
semakin bisa meniup-niup lilin.

dear hari ulang tahun.

ini mbi mbi, dan sekarang aku lima tahun.

STRAWBERRY FRIED NOODLE

MIE GORENG STROBERI
(untuk 2 porsi)

Bahan:

150     gram mie basah/ kering*
(kalo risih dengan ukuran gram, saya konversikan
150 gram kira-kira seukuran 2 bungkus mie instan)

2      (garlic) siung bawang putih
3    siung bawang merah (shalloot), cincang (chopping)
1    siung bawang Bombay (onion), iris memanjang.
#    kol (cabbage), iris setipis jari. atau kalau ada jai sim bisa juga dipakai
2    batang daun bawang (leek), iris bulat tipis.
#    lada putih halus (pepper)
#     cabai merah (jika tidak suka pedas bisa dihilangkan)
1     butir telur
3     buah stroberi segar, tiap buah iris jadi 6 bagian
#    daun parsley
#    kecap manis
#    kecap asin/kecap ikan (kalau cuma ada garam, gunakan saja)
    sedikit minyak untuk menumis.



Cara membuat

1. Tumis  dengan api kecil bawang putih, bawang merah, bawang bombai, biarkan sampai menguar aroma ranum mereka.

2. masukkan telur, tumis seperti membuat orak-arik namun usahakan tekstur serpihan telur tidak terlalu hancur. tambahakan lada putih bubuk dan cabai merah

3. masukkan kol, kemudian sroberi yang sudah diiris

4. tambahkan kecap asin, dan kecap manis sebagai pewarna cokelat dan sebagai penambah rasa manis.

5. masukkan mie, aduk dan bolak balik dengan penuh perasaan.

6. cicipi masakan mie sekali, jika ada yang masih kurang di lidah. kurang asin, atau kurang manis. andalah yang paling paham keinginan lidah. enak itu relatif.

7. hidangkan di piring, taburi dengan daun parsley, bisa ditambahkan 2 buah strawberi utuh sebagai garnish (penghias)

catatan: 
# : sesuaikan dengan selera.
 
* jika menggunakan mie kering, anda mesti memasaknya terlebih dahulu (boiling), masak mie dengan air mendidih, usahakan jangan terlalu lembek, kemudian tiriskan.


  Tips berhasil dalam memasak:

1. Selalu punya jargon, memasak itu mudah. hasilnya buruk atau baik itu belakangan.
2. Saya sarankan memasak dengan perasaan senang, jangan dengan perasaan dongkol, jengkel, dengki iri hati. bukan mitos, hasil masakan dipengaruhi juga bagaimana perasaan ketika mengolahnya.maka berbahagialah ketika memasak! berbahagialah!


* maaf. gambar hasil masakan belum bisa ditampilkan akibat kendala pengunggahan.

MIE GORENG STROBERI

awalnya iseng-iseng, liat stroberi yang begitu aja utuh satu pack nggak abis-abis, tau-tau muncul buat bikin sesuatu. di rumah cuma ada mie, ya udah, mau nyobain utak atik mie goreng pake stroberi tu gimana. Pertama aneh, ada asem-asemnya gimana gitu. eh tapi emang lantaran enak ato laper, sepiring jumbo mie goreng stroberi tandas. ntar deh nyusul aku tulis resepnya, tadi sempet aku jepret juga hasilnya tapi gagal mulu pas mau di unggah. beluuum rejekiiiii.....

MITOS DI DALAM SAJAK-SAJAK EKSPERIMEN A. GANJAR SUDIBYO

ditulis oleh Arif Fitra kurniawan*

1. Tentang sajak panjang dan eksperimen

Ada beberapa  hal yang mesti saya catat dari sajak-sajak A Ganjar Sudibyo (selanjutnya saya tulis Ganz), pada beberapa sajak Ganz, yang mesti saya catat pertama-tama adalah upaya-upaya ketekunan untuk terus “mencoba-coba” segala sesuatu untuk dikenakan kepada sajaknya . Yang kedua adalah upaya-upaya untuk menjaga energi yang mesti ia hembuskan  kepada sajak-sajaknya yang panjang, meski kadang saya benar-benar dibuat lelah ketika membaca sajak-sajak ganz yang kelewat panjang, dibutuhkan ketabahan mata menghadapi sajak macam itu. Sajak yang seandainya saya tidak terintervensi oleh pengakuan si penyair bahwa apa yang ia tulis adalah sajak, maka saya lebih suka menikmatinya sebagai sebuah cerpen. Bagaimana tidak, bahkan di sajak Eldorado--, unsur-unsur dari cerita rekaan itu nyaris dimasukkan semua. Tema, plot, setting, karakter tokoh, konflik, dialog, dan ending semua dijejalkan disana. Saya seperti dihadapkan simalakama—cuma untuk menyebut teks itu puisi yang prosais, atau prosa yang puitis. Ah, sutralah.

Saya menyebut si penyair sebagai seorang tukang eksperimen, dengan mengamati gerak-gerik sajaknya selama ini. Itu dapat dilihat  dari keseluruhan sajak Ganz yang dikirimnya ke saya sebanyak delapan judul. Penyair saya umpamakan burung pelikan yang terus melompat, sesekali terbang, dan tak pernah ingin (baca: belum) membuat sarang di suatu tempat. Atau lompatan kecil dan terbang dari satu dahan ke dahan itulah justru yang bisa kita sebut sarang (?).  Pada tiap sajaknya penyair seperti ingin memberi identitas diri antara satu sajak dengan sajaknya ang lain, upaya itu terlihat mencolok dengan mencermati bagaimana penyair melakukan semacam bereksperimen  dengan tipografi. Dari sajak awal Eternal; Origami; Lalu Engkau Duduk di Tepian Kolam itu; Puisi  Tentang Anak-anak Bulan; sampai pada sajak Di Eldorado : Episode Seorang Anak Yang Tak Yakin Mematahkan Hidungnya. Bagaimana penyair membentuk tipografi bait-bait yang centre text, mengawali bait dengan satu kata yang ditulis dengan huruf kapital, memberi angka dan penanda  huruf pada tiap baitnya sebagai pemilah enjambment, selalu ada upaya untuk terus “tidak ingin seperti yang pernah dibuat”. Ini tentu saja diniatkan oleh penyair. Saya sampai pada taraf membayangkan betapa tersiksanya penyair memikirkan terus menerus untuk menciptakan yang ia anggap “temuan baru” nantinya dalam bersemiotik. Kadang tanda-tanda dalam tipografi itu saya tangkap mempunyai fungsi yang menjelaskan apa yang ingin disampaikan sajak, tapi beberapa dari upaya itu semua sekedar menghadirkan identifikasi, saya ambil misal saja di sajak  ini dimana tipografi saya anggap berfungsi sebagai penjelas:

//pertanyaan-pertanyaan//
: 1.
“ke mana arah airmata-jalan pergi menuju tanah rantau?”

: 2.
“siapa yang melahirkan airmata ayah dan ibu-kandung kami?”

: 3.
“bagaimana kami dapat mengeringkan laut airmata kami yang keruh?”

//jawaban-jawaban//

: 1.
sejujurnya, kami masih saja lupa rute di peta
sebab peta telah luntur oleh warna tinta airmata kami
dan dengan segenap cara kami yang tak dapat dibahasakan
jarak mengajarkan kepada kami bahwa menyisakan mimpi

: 2.
hampir setiap malam hampir setiap anak mendengarkan
lelagu dari gendongan para ibu di desa kami. sedang para ayah
sering kali merapikan nafkah dekat perapian dengan asap kretek

: 3.
bisa saja berabad-abad lamanya airmata yang menimbun, jelma
menjadi lautan seperti di tanah gaza atau bencana. dan kami tak
pernah tahu kapan awan akan menampung jadi mendung, sebab
kami telah lama percaya bahwa segalanya mampu mengering
(sajak Empat Pertanyaan Dan Jawaban Mengenai Airmata Kami)

Tidakkah pemberian angka-angka di tiap bait itu memudahkan pembaca menyelami sajak yang dibuat penyair yang menyerupai soal sekolah dasar dahulu, disini tanda-tanda itu terasa hidup, betapa akan sukarnya  saya sebagai pembaca, seandainya  tak ada angka-angka itu. Angka-angka itu membuat saya jadi berpikir, bagaimana serunya jika di sajak itu bait-bait nya diacak, kemudian di akhir sajak, penyair memberikan sebuah perintah: cocokkan pertanyaan pertanyaan sajak dengan jawaban yang sesuai!


2.  Tentang  Kegelisahan dan kesedihan
Sajak-sajak Ganz tidak memaksakan diri untuk berdandan dengan rima ataupun tata bunyi akhiran, sajak-sajaknya lebih memilih untuk memperkuat diri mereka dengan membawa pesan yang mesti sampai ke pembaca. Tapi apakah pesan yang hendak disampaikan sajak itu akan diterima dengan mudah oleh pembaca, ada dua kriteria, mengulang apa yang telah ditulis oleh Horatius  dalam bukunya Ars Poetica, bahwa ada semacam tolok ukur ketika pembaca disodori sebuah karya sastra. Yang pertama adalah utile, yakni  bermanfaat. Yang kedua adalah dulce, yakni kenikmatan. Pertanyaannya adalah bagaimana pembaca mengarahkan kedua tolok ukur itu kepada sajak-sajak si penyair berkacamata ini, apakah sebagai pembaca akan terlebih dulu mencari manfaat berupa pesan tersirat atau akan (cuma) menikmatinya lantaran kadang  tidak merasakan adanya manfaat ketika berhadapan dengan sajaknya. Sajak ganz  bagi  saya adalah tanaman teks yang secara logis tumbuh  secara dialektis. Runut.  Tumbuh dan merayap dari bawah ke atas. Dan  ini hal baik yang yang mesti dicatat. Ada tema besar kegelisahan ketika seorang penyair ingin mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk teks sastra, dalam hal ini  puisi, yakni kegelisahan sosial--politik,  kegelisahan metafisik, dan yang ketiga adalah kegelisahan eksistensial. Sajak-sajak Ganz  tumbuh pelan-pelan dari tahun ke tahun membawa tema-tema tersebut. Rentang tahun dari 2008 sampai tahun 2012 adalah perjalanan dimana pengalaman-pengalaman, rekaman-rekaman, gesekan dan interaksinya dengan beragam kejadian membuat sajak-sajaknya sedemikian rupa. Tapi dari yang saya amati, sebenarnya ada satu tema yang linear yang sedang dirawat ganz: kesedihan.  Tetap saja kesedihan itu terlihat meski penyair  membedakinya dengan diksi-diksi yang terkesan macho, dengan kecepatan dan hiruk pikuk dunia cyber, dengan blackberry, dengan chanel televisi, dengan ipad. Tragedi tetaplah sebuah tragedi.

3.Tentang Hipogram dan Mitos-mitos
Sajak ganz, adalah serangkaian perjalanan tranformasi. Rakhmat Djoko Pradopo yang  mengutip Julia Kristeva, mengemukakan  bahwasanya  tiap teks  sastra adalah mosaik kutipan  dan  merupakan  tranformasi dari teks-teks lain. Secara khusus, ada teks tertentu  yang  bisa ditandai sebagai latar penciptaan sebuah teks lain setelahnya,  dan ini disebut oleh Rifaterre sebagai Hipogram, sementara karya yang menyerapnya disebut karya tranformasi. Sajak Ganz dekat dengan itu., Terdapat dua unsur dari Teks tranformasi, yang pertama menampik, yang kedua menerima atau meneruskan. Dan penyair,dalam sajak-sajak yang ia ini saya selidiki meneruskan tiap teks-teks yang menjadi hipogramnya. Kita bisa melihat hipogram dan tranformasi itu pada sajak Origami—Puisi Tentang  Anak-anak Bulan—dan  Di Eldorado.

ORIGAMI

Akhirnya,
ia melipat bulan itu
Lalu membentuknya
Jadi burung-burungan
Agar bisa terbang
Menghiasi
Langit jiwa
Tapi mati
Ditembak sang pemburu malam.
Lalu
melipatnya kembali
membentuknya
jadi kapal-kapalan
agar bisa berlayar
di samudera malam
dan berharap
takkan tenggelam

(2008)

PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN
1.
dulu, anak-anak bulan senang main origami kapal-kapalan
sewaktu penghujan melahirkan arus luapan kali menuju jalan-jalan kampung
lalu ada dolanan jamuran saat banjir tak lagi tinggal pada bulan-bulan kemarau
: di mana ibu mereka sering berdandan dengan begitu purnama

mereka bilang, kapal-kapalan jauh lebih seru dibanding
berpura-pura melingkar bergandeng-tangan menyanyikan
kidung jamuran yang jadul itu

dan bermain kapal-kapalan tak perlu mendiamkan
pura pada wajah-jujur kita.

(2010)


DI ELDORADO: EPISODE SEORANG ANAK YANG TAK YAKIN MEMATAHKAN HIDUNGNYA

“hari ketujuh, diciptakanNya hidung
dipermakNya menjadi bagian tubuh
yang vital dan binal”
  
1. menuju sekolah, seorang anak mencoba melepaskan
angin dari kedua tangannya. angin itu dijelmakannya
jadi sketsa seekor naga yang lesat menghampiri
masa depan yang penuh dengan burung-burungan
dan pesawat-pesawatan di atas kepalanya. naga
itu kembali ke angin sebab ia tak tahu arah
sebab di depannya gelap dan banyak tubrukan
cahaya asing

(2012)

Ketiga sajak ini dibuat tahun 2008(Origami), 2010  (Puisi tentang anak-anak bulan), (Di Eldorado: Episode Seorang Anak Yang Tak Yakin Mematahkan Hidungnya), itu artinya sajak sajak itu sebenarnya masing-masing telah memiliki jangka dua tahun untuk mengendap,dan entah  secara sadar atau tak sadar sajak-sajak itu seperti mempunyai ikatan. Ada hubungan yang tadi sudah saya sebut sebagai hipogram-transformasi. Bisa kita amati, di sajak Origami, Ganz menulis tentang (seseorang) yang melipat kertas origami dan membuatnya menjadi burung-burungan kemudian kapal-kapalan, teks ini menjadi hipogram awal yang mencoba diteruskan di sajak Puisi Tentang Anak-anak Bulan, di sajak ini penyair juga membawa serta kegelisahan (beberapa orang) yang awalnya sering bermain origami kapal-kapalan. Seolah sajak yang ini adalah tumpahan kesedihan jilid kedua dari sajak Origami. Kesedihan itu mekar menjadi bait-bait yang lebih tragis. Dan lagi-lagi itu masih ingin diperpanjang lagi di sajak Di Eldorado--, kesedihan itu di panjang-panjangkan dalam mitos yang lebih ruah, hiruk pikuk dalam kemodernitasan. Suatu karya sastra menurut Paul Ricouer adalah paduan dokumen sosial dan humaniora dengan dokumen  alam  pikiran . Ini akan menciptakan lingkaran  hermeneutik dimana terdapat unsur sense, berupa makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks, dan reference, berupa makna yang  terlahir dari hubungan teks dengan yang diluar teks itu sendiri.  Baik sense maupun reference akan dihadapkan pada runutan kejadian  yang hidup dalam kenyataan, sebab teks dalam  sajak, tak melulu berkisah tentang reference, melainkan lebih dari itu: menciptakan pandangan, horizon pemaknaan baru kepada dunia yang yang sedang dibangun oleh penyairnya, Ini saya tanggkap ketika menemukan sajak-sajak Ganz, dimana penyair asyik masyuk meleburkan dirinya ke banyak mitos, dongeng yang berlalu lalang di sekitarnya, Saya curiga, jangan-jangan seluruh sajak ganz ini memang mitos semua (?) Kita tahu, bahwa mitos, menurut pengertian strukturalisme Levi-strauss tidaklah sama dengan kajian ilmu mitologi. Mitos tidak harus dipertentangkan dengan sejarah serta kenyataan.  Mitos adalah sebuah ceritera yang lahir dari khayalan manusia, imajinasi manusia, meski unsur khayalan itu berasal dari kehidupan dan lingkungan manusia sehari-hari. Dalam mitos, imajinasi seseorang memperoleh kebebasannya secara mutlak, mempunyai seluas-luasnya kemungkinan untuk menghidupkan kemustahilan nalar. Sajak ganz, saya rasa dibangun di atas mitos-mitos tersebut. Kita dibawa untuk membuat keputusan sendiri, akan mempercayainya atau  menolaknya ketika memasukinya. Taruh saja, di sajak Takdirkan Aku Sebagai Katakmu, dimana penyair memperlihatkan kerja kerasnya dalam membawa pembaca untuk menggelisahkan dimensi waktu, antara masa lalu, sekarang dan masa depan.  Terlebih di sajaknya Eldorado, penyair bebas menumpuk mitos-mitos di atas mitos. Benar-benar berlapis. Tapi kita tak mungkin melarang penyair membawa kota hilang penuh emas Eldorado  dari peninggalan suku Chabca  di Amerika Selatan yang disinyalir penuh harta karun emas  permata itu doboyong ke plot mitos si boneka kayu  yang  gamang terhadap hidung sendiri itu. Kita tak bisa protes ketika penyair menculik Zeus dan Poseidon si dewa penguasa laut bersenjata trisula dalam mitologi rakyat yunani ke episode sajaknya, atau Aladin si pemilik lampu ajaib yang kita kenal dari lisan ke lisan.  Kita juga tak mampu menggerutu ketika penyair membawa serta mitos itu melesat ke dunia dimana banyak berhamburan berjejalan dengan acara televisi, video game, internet, bahkan ketika, lebih tragisnnya, mitos itu dimitoskan kembali ke dalam mitos-mitosan dan menjadi wadah yang disana berjatuhan sekaligus tumbuh kapal-kapalan, apel-apelan, pesawat-pesawatan,  telur-teluran. Setidaknya saya mencatat ada 15 kata yang mendapatkan imbuhan –an, untuk menimbulkan efek “pengimitasian” dari benda sebenarnya. Saya rasa ini bukan hal mudah, ketika seorang penyair mesti mencermati kata-kata mana yang layak diberi efek –an , tidak sekedar kata, namun bisa menciptakan ambivalen dan kesan plastik. Penyair mesti berjerih payah menjaga ritme dan konsentrasi di tengah hiruk pikuk kata-katanya sendiri.  Saya cuma berdoa semoga Ganz tidak ikut tercebur menjadi penyair-penyairan. Dan ia tidak sedang membuat sajak-sajakan. Atau jangan jangan-jangan ini sudah menjadi esai-esainan yang dibuat oleh arif-arifan? Ah, sutrala
labalukisaludakasulisakisakilu
ceciceciceciceciceciiiiiiii
cicecicekisabalu….biimmm!

(Semarang, Maret 2012)

tulisan ini dibuat untuk kepentingan NgoPi (Ngobrol Pintar)-- Komunitas Lacikata  edisi sajak-sajak A Gandjar Sudibyo, yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 25 Maret 2012, di Jalan Stonen 29