kancing gaunmu

Lama kusimpan kancing itu

Bertahun tahun mereka kusembunyikan di saku,

tapi kini kugunakan untuk mengancingi sepasang mataku.

Mata yang bertahun tahun terjaga menjadi selembar telinga,

Sekedar menunggu kabar itu datang.

Bahwa jauh di seberang sana kau telah menemukan kancing baru

sebagai pengganti peniti.

Merapatkan belahan dadamu yang terbuka.

Huh, betapa telah kusinggahi segala jenis toko busana, tempat-tempat para penjahit.

Menanyakan barangkali ada yang menyerupai kancing kancing ini.

Dan aku selalu menjadi bahan tertawaan kasir juga penjaga toko,

Saat aku ceritakan bahwa kancing ini adalah kancing gaun kekasihku.

Sepertinya mereka ingin menyarankan,

Bahwa tiap kejadian tak akan mau disamakan.

Aku keluar, dan sesekali memandang etalase, sekedar menyemangati keinginan.

Alangkah jauhnya waktu,

Alangkah menakin nya wajahmu !

Tiap kali aku ingin pulang, selalu saja aku dituntun kompas paling asing.

Penunjuk arah yang malah membuat bising. Nyaris tak ada pemberhentian.

Menyadari perjalanan ini, pemahaman terbalik.

, seperti kamera.

Seperti anak kecil yang merindukan warna susu ibunya

Langkahku makin pagar di rambati serabut akar.

Dan gaunmu yang menjadi rumah kancing ini makin mekar di tengah halaman

aku makin tahu.

Halaman luas penuh pasir ini,

adalah kenangan yang kau pinjamkan pada ingatan.

Bagaimana kabar asap itu ?

Jadi putih atau hitam,

Apakah ia tak jadi membunuhmu,

Atau ia terlalu na�f, seperti asbak yang siap menerima

bahkan bila ia dimintai menampung abu.


aku dan mata nenek

1//
mata nenek yang teduh,
mengijinkanku menjadi anak kecil dan tinggal lebih lama disana.
di lingkaran hitam itu,
aku mulai menanam beraneka macam luka.
tumbuh, merambat, dan menjadi pagar di halaman.


2//
ia sering memangkuku,
memasangkan sarungku yang kedodoran
sebelum magrib datang dan aku akan berlarian.
sambil berteriak teriak selancang kentungan.
dan nenek dengan gigi depan yang menghitam karena mengunyah sirih mendengungkan gumaman ,
: awas cu, nanti alat kelaminmu kelihatan.


3//
malam hari, sepulang mengaji,
biasanya nenek menyambutku sambil membersihkan kacamata.
ah, betapa debu debu itu telah lama menjadi pelapis bibirku.
membuatku sering keliru dalam membunyikan susunan kata.
aku berjalan mengikuti punggungnya,
lalu kami duduk berdua di serambi.
nek, aku ingin masuk lagi ke matamu, kataku.
nenek kaget dan seperti ingin menyergahku.
apa yang ingin kau petik dari sepasang mata renta ini ?



4//

aku tak ingin memetik apapun,
aku cuma ingin tinggal disana.
nanti setelah aku masuk kesana, tolong cepat dijahit saja mata nenek,
serapat mungkin, seyakin mungkin.
agar tak ada yang memaksaku menjadi dewasa seperti ayah dan ibu.
setelah itu, setelah aku masuk kemata nenek, setelah kulit kelopak itu dijahit dengan rapat,

kalian tahu,

aku cuma mengenal satu macam warna : kecemasan.


Emang Dasar

Siang tadi , saya di ceramahin abis ama adik saya ( sudah berhari hari ini dia ada di Semarang ), gara garanya pas tadi udah jam nya shalat jumat, saya tidur tiduran, berleha leha. E dianya nyentil saya , tuh udah jam 12 kurang seperempat, malah mau tidur, cepetan A ,ntar telat.
Saya njawabnya gini, telat sikit tak apalah, toh yang penting shalatnya, males kelamaan dengerin khotbah, di ulang terus dari jumat ke jumat. Muter muter melulu. Saya nyengir, dia manyun.
Heh, shalat ama khotbah ntu satu paket ibadah, emang Aa Ngga pengen dapet Onta ?
Saya balik badan , onta ? Yang bener ? Diakherat maksudnya ?
Ah,sialan dia sukses mancing saya, dia tahu , saya selalu tertarik dengan iming iming hadiah yang abstrak gini, macam pahala sebesar bukit marwah, macam pahala seribu tahun beribadah, pemutihan dosa sebelum dan sesudah nunaiin suatu amalan sedekah. Saya selalu penasaran kalo adik saya berceramah kayak gitu, trus ,trus ,dia ngelanjutin ,
makanya, shalat tepat waktu, usahain di shaf paling depan. Kebaikanya juga akan dapat yang terdepan insyaallah.
Saya langsung ambil sarung, ambil sajadah. Tapi pas nyampe pintu, entah iseng entah apa, saya samperin adik saya lagi.
Eh mbi, boleh nanya lagi ngga.
Dia mendelik. Cepetan berangkat sana ah A !
Sekali ini aja kok, imbuh saya,

Tuhan marah ngga ya, selama ini aa emang sengaja nelat, biar pahalanya dapet telor ayam, kan gampang, tinggal di dadar ato di ceplok, ngga pake nyeret nyeret Onta segala, alakadarnya aja, toh aa belom perlu perlu amat kendaraan akherat, yipp ngga mau di cap aja sebagai hamba yang serakah. . .

Adik saya kelenger.
Oalah Gusti !

Saya lenggang bayam. . .menuju masjid.

Sketsa : di tepi cangkir

Segerombolan semut berbaris rapi di tepi cangkir. Bibir ranum merah marun. Di dinding, jarum pendek jam menunggu di genapkan jarum panjang. Siapa yang lebih sabar menunggu ?

Temukan aku dengan Sawitri

Tolong, temukan aku dengan Sawitri.
Sekali ini aja,
sebelum aku keluar kota.
Dan menyaksikan Tuhan melepuhkan tiap hati dengan api.

Aku sama brengseknya dengan apa yang kamu duga. Dengan kalian. Yang saling menuding dada dengan kepentingan.

kepada jirah

Tengah malam

: kepada Jirah

Yang mengetuk jendela kamarku dengan kujujuran.

Malam itu gerimis,

Hawa dingin setengah telanjang.

Aku masih ingat bagaimana tungkainya melompat.

Memasuki lubang seram ini.

Kakinya padat dan cermat.

Ia masih hangat,

Bahkan saat menyarankanku agar aku mengenakan baju.

Katanya tubuhku sepotong kesedihan.

Terlalu polos. Terlalu banyak menangis.

Kutanyakan padanya bagaimana ia bisa membaca itu semua.

Katanya ia telah lama berakrab dengan ruang dan waktu,

Telah lama pula ia mengintipku dari balik kaca.

Ruang, waktu dan kaca menurutnya adalah hal paling mudah di mengerti

Nomer dua setelah keteraturaturan angka angka di daftar isi sebuah buku.


perempuan yang selalu mencintai sunyi

Sunyinya cinta itu katamu.

Membuat lampu kota di sepanjang jalan padam.

Kamu menanyakan jalan pulang.

Bibirku masih getas kayu di pinggiran taman.

Tampak makin gelap, mudah patah.

Sunyinya cinta itu katamu.

Sekedar bisik bisik.

Dari keraguan yang di kaburkan kabar.

Ketika Kita masih ingin memanjat kepastian.

Licin, ditumbuhi arah, dan kita seperti pernah sampai.

Sunyinya cinta itu katamu.

Mengantarkan perempatan ini lagi.

Kepada punggung kita yang tak sengaja berhenti.

Dari penyesalan.

Malam malam, di tengah hujan.

Lantas berteduh dalam satu payung yang gamang.

Sunyinya cinta itu kataku ,

: adalah puisi. Yang tiap barisnya menjelma bisa, saat aku hendak mengubahnya jadi lagu paling haru !