Malam ini tepat bulan membulat sebesar tampah di mata lelaki itu , masih dalam keadaan setengah duduk di hampar rumput diperut lembah,ia meraih rambut bergelungnya, menjadikanya jutaan benang benang kisut yang tergerai di sentuhi angin dari perbukitan.Ia lepaskan satu demi satu gelang gelang lengan yang terbuat dari ukiran kulit menjangan yang melilit ,sampai sampai di lengan perkasanya itu membekas gurat ukir melingkar. lantas ia bebaskan pengikat kepala berbahan perak , ah betapa kalian tak pernah tahu bahwa kepenatan waktu membuatnya bosan terhadap pencarian.Luka luka di masalalu menjadikanya lelaki penakut yang teramat ngeri menyaksikan bayangan sendiri.Ia termenung lagi. Perjalanan mengharuskanya seperti ini , tiap putaran hari ia gunakan untuk memamah dengan gemerutuk geraham bulir bulir pemahaman hidup.
Ia tertawa getir.
Mengagumi takdir.
Seperti telah di beberkan pada malam sebelum ini , malam ke empatpuluh ketika pertapaanya mengantar jiwa halusnya bertemu dengan Narada,sang bathara kebijaksanaan. Terjawablah kini segala beban pertanyaan, tapi untuk apa ? Jika ternyata jawaban dari sang mahaguru itu ternyata menyudutkanya untuk mencari pertanyaan baru.Ya, benarlah Narada , ia kini tahu kenapa dirinya bernama Wisanggeni, siapa sebenarnya bapaknya, ia kini jadi tahu kalau rahim yang telah membentuknya adalah milik dewi Dresanala, bestari yang tersisih dalam pengasingan para dewa Jonggringsaloka,karena menjalin kisah terlarang dengan Radenmas Permadi. Ia tidak membenci takdir, yang ia benci adalah kenapa ia mesti mengisi hidup untuk menemukan rahasia,menjadi yang terbuang dan tercampakkan dari keberadaan.Tak pernah diakui sebagai ciptaan.
Narada telah meyakinkanya , nama wisanggeni tak pernah di dapat dari kedua orang tuanya.Nama itu diberikan oleh Narada ,setelah ia secara sembunyi sembunyi mengeluarkan dirinya dari kawah candradimuka, dan kalian tahu? Dimana candradimuka adalah kawah tempat panas tujuhmatahari dikumpulkan ,alangkah tak berperi sang bathara guru ! Melemparkan orok merah kedalam kolam yang api saja bisa menguap karenanya. Tapi itulah takdir.
Itulah kenapa ia digariskan hidup, mungkin untuk kesaksian.
Itulah kenapa wajahnya hitam legam mirip arang kayu mahoni.
Itulah kenapa Narada yang muncul menyelamatkanya,dan membuangnya ke tepi sungai ,menitipkan sebuah nama : Wisanggeni.
Wisa adalah racun,
Agni adalah api.
Dan api dendam itu benar benar membuncahkan dadanya.
Ia ingin membunuh bathara guru...
Langit mungkin tak seperti biasa karena siluet rembulan meneduhi pepohonan dengan sempurna.
Tapi apa dikata jiwa wisanggeni terlanjur api.
Dan malam masih saja sunyi.
Tiba angin berputing sedimikian rupa tepat di hadapanya, melengkapi degup jantungnya, dari kesiut angin itu ,mula mula samar, lantas dari arsir kabut terbentuklah sosok yang tak asing bagi Wisanggeni. .
. . . Berlanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar