AUMAN LELAKI HARIMAU



AUMAN LELAKI HARIMAU
( Arif Fitra Kurniawan)

/1/
Eka  Kurniawan sendirilah yang mengatakan di dalam tulisan blognya, merangkum kembali  apa yang diungkap Gabriel Garcia Marquez  bahwa  “Kalimat pertama bisa menjadi laboratorium untuk mengetes gaya, struktur dan bahkan panjangnya novel.”

Itu kita bicarakan nanti dulu saja.  Seperti gaya bercerita Eka yang dipenuhi kepiawaian seorang maestro untuk  melebar ke sana-kemari dan maju mundur, sebaiknya para pembaca   tulisan ini yang sudah pernah sampai selesai membaca novel Lelaki Harimau, saya ajak untuk “tamasya” maju ke beberapa halaman  untuk kemudian kembali lagi ke kalimat awal novel tersebut. Terpampanglah begini,

Pembunuhan  itu, sebagaimana  kemudian diyakini semua orang, terjadi tepat  pukul empat sepuluh menit, sebab sepuluh menit sebelumnya Margio masih bersama beberapa kawan dan sepuluh menit setelahnya, ia telah bersama mereka pula, dalam keadaannya yang mengejutkan. “(hal. 23-24)

Seperti dalam teks-teks serial detektif, di bagian ini Eka ingin sekali meyakinkan  pembaca  tentang  detail  waktu. Pembunuhan Anwar Sadat oleh Margio haruslah diterima oleh nalar  sebagaimana hitungan eksak.  Sebuah keyakinan membabi buta hasil dari perhitungan “Tepat pukul  empat sepuluh menit” dibagi dirinya sendiri. Tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Seolah dengan ini siapapun dan dimanapun  ia  berada, tiap orang  boleh saja meragukan rotasi  dan  menganggap bumi itu datar, laut terbuat dari kencing  kambing Etawa, tapi  tak diperbolehkan menebak-nebak  kapan Anwar Sadat mati.   Lantas, adakah yang perlu dipermasalahkan di bagian ini? Tidak ada.  Jika ada yang ingin mencari-cari polemik dengan mempermasalahkan bagian ini, silakan buatlah tulisan tersebut. Saya cuma ingin seperti  Eka dalam mengulur waktu dan menyamarkan topik utama. Tapi saya berjanji, bagian tersebut penting.

Roadkill



ROADKILL
(Romesh Gunesekera*)

Malam pertama  tiba di Kilinochchi aku masih saja merasa cuma setitik perasaan kuatir yang begitu kecil. Lantaran nyaris semua dari yang tinggal di Srilanka bagian selatan memang berpikir  kota inilah  yang menjadi  jantung  nadi dari bermacam teror. Sebagaimana ujar Tuan Wahid, lelaki Malaysia yang menjadi penumpang pertamaku, bahkan meski dalam bahasa Inggris, perumpamaannya masih saja terdengar begitu keji— Kota ini kota  dimana kau bisa mengangankan  seorang   Clint Eastwood merangkak masuk untuk menumpuk persediaan senjata bersama pembunuhan tak masuk akal sebelumnya. Namun  kenyataannya memang begitu, bertahun-tahun Kilinochchi  menjadi ibukota  gerakan merdeka Macan Tamil. Di sinilah orang-orang Macan Tamil  mendirikan  pusat administrasi publik, kantor sekretariat, juga gedung konferensi.  Di Kota inilah, tempat di mana Perangko Macan Tamil, L.T.E.E  Travel Passes, G.C.E School-Exam Papers, ranjau darat, dan granat loreng hitam pernah dibuat. Bank orang-orang Tamil juga ada di  sini, dengan gaya khas bank Swiss, sebelum akhirnya hancur mengenaskan  akibat  perang saudara. Inilah tempat yang kemudian Macan Tamil luluh lantakkan, mereka menumbangkan menara air dan membumi hanguskan bangunan-bangunan kota, sebelum evakuasi ke hutan dilakukan oleh barisan serdadu tentara Srilangka, perangpun meledak, demi pertikaian pada bulan Januari tahun 2009.

Sekarang, dua tahun setelahnya, aku telusuri lagi jalanan, yang sesak oleh celeng-celeng dan hewan pengerat, meluncur sampai  depan penginapan The Spice Garden Inn, perkiraanku, bisa jadi inilah wujud  inkarnasi terakhir dari  Hotel Colombo: Sepupu dari utara yang memacak diri dengan bendera warna-warni, kaca mata hitam, serta pita-pita. Sebuah kafetaria yang dinding kacanya berkilau, serta meja penerima tamu yang dipenuhi manggar kelapa dan bunga bugenvil. Aroma pernis, obat pembasmi serangga,  dan aroma daun karapincha yang digoreng dalam minyak wijen meruap dari jejak lama seekor kucing. Penginapan ini seolah sedang memberi percikan sinyal sebuah   era baru kepada  kota yang usang.

Adalah Nyonya Arunachalam, perempuan dengan umur kandungan tujuh bulan dan duduk mengangkang di kursi tengah taksiku, mendambakan sebuah tur singkat delapan jam  ke Jaffna. Seperti seekor semut dalam lajur gundukan gula pasir.  Memang semestinya ia tidak perlu mengunjungi semua tempat, itu cuma akan membuatnya muntah dan jatuh pingsan, suaminyalah yang sebenarnya mendesak nyonya Arunachalam untuk memperlihatkan kepadanya sebuah properti yang berhasrat ia beli untuk ia bangun sebagai rumah baru mereka, itu sebabnya Nyonya Arunachalam mau tidak mau mesti datang ke sini.

“Vasantha, tolong lebih pelan ketika menyusur tikungan, bisa?” dia masih saja bicara, dalam nada rifrain yang menyebalkan, diulangnya terus sejak kami meninggalkan Rajagriya tadi.

“Baiklah, Nyonya.”  Aku ulangi saja lagi. Baik. Baiklah. Baik. Ketika  baru saja kulewati tikungan tajam.

Terlihat dia terlampau girang ketika dilihatnya berwarna-warni bendera dan pita-pita. “Itu, itu tempatnya. Yang   kita pesan untuk bermalam kan, Kollu. Keren ya?”

TIGA SENAR SULAIMAN

Dang ding dung dang ding dung. Selamat siang untuk  si ahli nuklir  yang sekolah sampai tamat dan suka  mengumpulkan barang-barang rongsok dan suka bolos mengaji, sudah  aku gosok gigiku dengan pasta  sambil  mikir-mikir  sampai wajahku jadi jelek diantara  nasib perang di belahan bumi sana. Pasti  gedung-gedung pencakar langit ambruk dan anak-anak menangis Dang ding dung dang ding dung…

“Lagu yang ini   buatmu, ya, ahli nuklir .“
Lingkaran  di depan masjid itu  terbuat  dari  tubuh-tubuh berjongkok  beberapa anak kecil. Sebuah pertunjukkan di antara angin siang  pukul dua yang semribit. Satu  dua lagu berloncatan dari mulut Sulaiman,  menyentuhi  pendengaran milik  Rahmi, Riwayadi, Kurnia, Meno, Jujuk, Ayu dan  Nurul, susup-menyusup  di antara rongga-rongga  rumput yang sebagian  tergencet  diinjak kaki  untuk kemudian merangkaki daun-daun  pisang yang meneduhi  pertunjukkan kecil mereka. Sulaiman ajeg menjadi pusat  perhatian mata jelalatan milik anak-anak. Satu Lagu. Dua  lagu. Dang ding dung dang ding dung. Jarinya  begitu sakti  memiuh  senar-senar dari kotak musiknya. Kotak dari  papan kayu sengon. Kasar, terlihat diamplas seadanya. Senar dari  bekas ban dalam  sepeda motor. Tiga senar. Cuma tiga senar dalam dang ding dung dang ding dung.

Dalam Dahaga



kita bagi  rahasia  yang disimpan kendi
kau luruhlah ke dalam lubang dahagaku
biarkan merah lidahku jadi telik sandimu
sementara waktu

2013

MERIWAYATKAN CACING



MERIWAYATKAN CACING

Demi  menyerupai cerita murungmu,
Berkeras aku lubangi jukungku.

Semoga  lengket  asin  air rawa
Tak sekedar menggapai  tumit telanjangku
yang  tak mengenal airmata

Tuhan di langit  meremas dirinya sendiri
Sebelum menghapus namaku di seluruh
Bagian  kitab suci

(2014)

Resensi: The Name of The Rose--Umberto Eco




KUTIPAN BESAR DARI ABAD PERTENGAHAN

Judul: The Name of The Rose
Penulis: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih
Cetakan:   (I, Maret 2008), (II,  April 2014)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: xxx + 686 hlm.; 20,8 cm.
Judul Asli: Il nome della rosa.
ISBN: 978-602-291-017-6


Di Biara Melk yang terletak di kaki pegunungan Apenia pada bulan November 1327, tujuh bilahan hari tiba-tiba menjadi begitu penting bagi kehidupan Adso—seorang monacella  Fransiskan dari  Jerman. Adso, sebagai juru tulis yang menemani William Baskerville, seorang biarawan Inggris mantan polisi inkuisisi yang ia agungkan sebagai guru bagi sebuah paket dari kebijaksanaan, semangat, dan kecemerlangan dalam berpikir  diutus untuk menyelidiki kematian seorang biarawan yang punya reputasi teratas  dalam hal menggambar ilustrasi buku-buku perpustakaan dalam Biara Melk bernama Adelmo, disamping misi lain dari Raja (Louis dari Bavaria) untuk mempersiapkan pertemuan antara kelompok Paus Yohannes XXII  yang didukung para Dominikan dan kelompok Fransiskan (diwakili oleh Michael dari Cesena) yang meminta pengamanan ketika  nantinya akan pergi menghadap Paus ke Avignon guna  mencari jalan tengah atas pandangan-pandangan reformisnya. Terorpun tak terelakkan ketika satu demi satu rahib biara Melk mati. William dan Adso diseret oleh alur cerita yang menuntut mereka memecahkan kasus demi kasus dengan paparan hipotesa.

“…,demi menyambut saya, pencarian anda terhenti. Tetapi jangan khawatir. Kuda itu lewat jalan sini dan mengambil jalan ke kanan. Ia tidak akan pergi jauh karena harus terhenti kalau mencapai tumpukan kotoran itu. Ia terlalu pintar untuk terjatuh ke dalam lereng yang curam itu…”[hlm 28]. 

Ya, Analisa dari William tentang Brunellus, kuda kesayangan milik kepala Biara yang kebetulan hilang ketika mereka tiba  di Melk menjadi pijakan untuk  mengantarkan pembaca  merunut alur detektif yang membungkus novel   ini. Teknik abduksi, yang menurut ST Sunardi yang menuliskan pengantar, menjadi rumusan  yang digunakan Umberto Eco  di antara  konsepsi deduksi yang sering digunakan Severus dan induksi yang digunakan Adso dari tiap silogisme ketika mengiris sebuah kasus. Bahkan bisa dikatakan, abduksi ini menjadi kerangka besar keseluruhan novel Eco. Lewat bungkus inilah, Umberto Eco membawakan kekayaan Abad Pertengahan kepada pembaca. Eco yang kita kenal sebagai pakar mediaval, dengan begitu jernih menyuguhkan detail kehidupan para rahib,aroma buku-buku lawas, regula biara, wajah kaku polisi inkuisisi, arsitektur-aritektur gotik  yang mengisi lembaran masa itu.  Seakan ingin membeberkan konstruksi semiotik tentang kebenaran dan kebohongan kepada kita  yang kadang  terlanjur dibutakan bahwa cuma  renaisans yang bisa dikeruk dari abad pertengahan. Di dalamnya mudah sekali pembaca menemukan intertekstualitas berupa teks-teks dari Bibel, pemikiran Thomas aquinas, Roger Bacon,  Albertus Magnis, Dante, William of Auckham, dan tentunya gagasan-gagasan  Aristoteles yang pada masa itu menjadi doktrin yang selama berabad-abad  dikristenkan oleh pihak gereja. Seperti kemenjulangan bangunan Aedeficium yang menjadi arsitektur sentral di Biara Melk—dimana  Labirin  perpustakaan tersembunyi, Ilmu pengetahuan berupa kutipan pemikiran dan buku-buku inilah yang juga akan mencolok pembacaan kita. Ilmu pengetahuan yang  dikerubungi oleh kekuasaan agama, kepicikan politik, obsesi individual.

untuk jelasnya,  gereja itu lebih mudah dimasuki, lebih gampang dipertahankan daripada perpustakaan. Perpustakaan itu sudah sejak dulu ditakdirkan oleh keadaannya yang tidak bisa dimasuki, oleh misteri yang melindunginya, oleh pintu masuk yang sedikit. Gereja itu, bagaikan seorang ibu terbuka bagi semua orang pada jam berdoa, selamanya terbuka bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan. [hlm 627]

Menyaksikan konflik-konflik yang meruap di dalam novel ini, kita akan teringat  kepedihan intelektual  Copernicus, pada Galileo, juga Luther. Perseturuan  antara agama dan ilmu pengetahuan yang sukar dipadamkan.

The Name of The Rose adalah novel pertama dari Umberto Eco, yang terbit pada 1980 dengan judul Il nome della rose, dialihbahasakan dari versi bahasa Inggris terjemahan William Weaver. Di Italia sendiri, novel ini mampu menembus bestseller dan pada 1988 sudah masuk cetakan yang ke-23. Menurut Eco novel ini berangkat dari sebuah memoar Adso Of Melk—bagian dari manuskrip dari abad pertengahan yang ia dapatkan dari seoarang wakil Abbas (Kepala Biara)  di perancis.  Seperti di naskah tersebut, novel ini juga dibagi menjadi tujuh hari, masing-masing hari dibagi berdasarkan jam ibadat harian: Matina, Lauda, Prima, Tersiat, Sexta, Nona, Vespers, dan Komplina. Dalam catatan terakhir yang terlampir di novel ini, Eco menerangkan, demi mempertahankan suasana abad pertengahan, dia tetap mempertahankan istilah, dialog, logat dalam bahasa latin. Itu juga yang berusaha dipertahankan ketika William Weaver mengalihbahasakannya dalam Bahasa Inggris (juga ke Bahasa Indonesia pada akhirnya), tentu dengan mengupayakan catatan kaki sebagai keterangan untuk memudahkan pemahaman teks.
***

*Arif  Fitra Kurniawan.  Bergiat di  komunitas Lacikata  dan  Kelab Buku Semarang.

Sebuah Pintu

di pintu kau pernah masuk
aku seperti sedang mengurusi perkara
sisa bayanganmu yang dirusak cahaya--