Tentang penyakit Lupa

Kadang saya ngeri sendiri Tuhan, suatu saat ketika saya Tua, dan Tuhan akan mengirimi saya penyakit lupa. Saya lupa pada pintu menuju halaman rumah saya, saya lupa pada nama-nama jalan yang telah menyediakan kesabaran mereka dan memberi kesempatan saya tumbuh menjadi pepohon yang selalu angkuh tegak di pinggirnya. Saya lupa pada aliran panjang dari sungai yang dengan kebaikanya telah memperkenankan saya mandi serta membersihkan diri berulangkali. Saya lupa arah menuju ke suatu tempat, yang meskipun sempit, namun senantiasa membebaskan keinginan saya dalam berdoa, dalam memaki, dalam membenci, bahkan dalam proses saya memaafkan kekurangan diri sendiri.

Dalam bayangan kanak yang riang, kerap saya menemukan tubuh ganjil ini, meringkuk di bawah mimbar mushola, atau di sebuah bilik pengampunan dosa, dalam ruangan penuh lampion dan hio sua, atau di depan undakan Pura.

Saya gentar Tuhan. Lama sekali merintih di himpit perih,

Sebab rupa-rupa dari perasaan lupa tersebut telah menjadi beban psikologi tersendiri bagi saya, seseorang yang sejak kecil terdidik untuk menghormati ingatan. Seseorang yang tiap perpindahan geraknya terasa lamban karena terlalu lama hening dalam kontemplasi. Melangkah dengan membawa bergulung-gulung rencana, lembar-lembar prediksi, kerangka garis berisi data-data statiska. Oh, hidup yang begitu terprogram.

Sampai pada saat tertentu saya merasa terasing, entahlah mana yang lebih benar : saya yang mengasingkan diri dari kewajaran, atau kewajaran yang telah semena-mena mengasingkan saya. Yang jelas saat berada di titik itu, saya merasa bukan diri saya, saya merasa jauh dari keutuhan. Terpecah-pecah.

Maka untuk menghindari kemungkinan yang lebih parah, biasanya saya akan melarikan diri dari kejujuran, saya bohongi diri saya sendiri untuk sementara, dengan makan sebanyak-banyaknya, tertawa sebanyak-banyaknya, sampai saya letih sendiri dan mendapati diri saya tertidur dengan wajah penuh kepasrahan. Pasrah yang sangat menyedihkan, karena bagaimanapun juga, besok masih ada hari yang mesti saya isi, dengan rutinitas yang sama kejamnya;

Pura-pura berempati.

Pura pura bertoleransi.

Pura pura tulus berbagi.

Pura-pura mengerti perasaan orang lain.

Pura pura memiliki kejujuran.

Sekarang yang bisa saya lakukan adalah mencatat. Mungkin itu cara terbodoh saya, tapi cuma itu yang bisa saya lakukan, saya tak ingin membebani lagi ingatan saya. Sunguh itu sudah cukup. Selama ini ingatan saya diperkosa dipaksa bekerja diluar kapasitas yang ada.

Tuhan, kalau ada ,

adakah apotik yang menyediakan obat penyembuh lupa ?

Kalau ada,

Saya mohon kertas resep sekalian rujukanya,. . .


kampung Layur november 09


gambar diambil disini


Tidak ada komentar: