Siang membakar jendela. Suhu yang melebihi prakiraan membuat beludru yang harusnya berwarna biru jadi kelabu, sebentar-sebentar angin dari perbukitan belakang menerabas celah ventilasi, mengirimkan sepercik kesegaran pada tangkai- tangkai buah mangga yang bergelantung di halaman perpustakaan. ini musimnya. musim keranuman.
panas ya, siang ini, kamu ngga gerah...?
yang di tanya diam, membatu penuh keangkuhan.
oiya, maaf, ngomomg-ngomong nama kamu siapa, dari tadi kita berjejer tanpa bersapa nama , ngga enak nanti mesti ber ha he ha he.
Pierre cardin,
jawaban singkat yang menambah panas bagi yang bertanya, ia tiupi bagian termometer tubuh agar tensinya tak ikut naik.
bukan asli sini ya ?hm, namanya asing, jarang dengar, seperti nama jalan...mmmm, ya, aku ingat, jalan Pierre Tendean. masih ada ikatan saudara ya, dengan pahlawan penegak pancasila yang satu itu ?
soktoi bener sih kamu buluk,
bersungut-sungut akhirnya sepatu klimis ini menyemprot yang berada di sampingnya.
namaku bukan buluk mister, perkenalkan, namaku Impala.
I-M-P-A-L-A.
asli sini.
si mister Pierre cardin ini amat sinis rupanya, sesuai dengan dandananya yang serba hitam mengkilap, glamor. beruntunglah untuk perpustakaan, yang masih dikunjungi berbagai macam jenis sepatu, di rak rak itu mereka merkumpul, bercengkerama. sampai penuh, dan akkhirnya yang dua pasang ini tak kebagian tempat. bersandar dan rebahan ala kadarnya di beludru yang kini tak lagi biru. dan seperti kisah kisah lain, bahwa acapkali keadaan senasib membuat kedekatan yang terlihat dipaksakan ini terjadi, dan mereka berkenalan,...
huh, ngapain saja sih tuanku di di dalam sana, sudah panas gini, dapat tempat di bawah, eee mesti dekat ma ikon kesengsaraan macam ini.
keluhan itu benar-benar menohok uluhati impala, dadanya robek seketika.
mister, maksud kata kata barusan apa ?
baginya pengabdian pada sang tuan pemilik sepatu adalah kesetiaan, dan kesetian adalah semata-mata masalah harga diri. ia memang kucel, tak pernah terlihat mengkilap tiap pagi ketika diajak kemanapun oleh tuanya, tapi sungguh, sebagai sepatu, ia selalu merasa di perlakukan terhormat. kapanpun. dimanapun. maka ia membalas semua itu dengan kesetiaan, dengan kekuatanya untuk selalu mengikat rekatan alas sepatu dengan solnya, dengan mengukuhkan tiap jahitan pelapis tepi dengan lidah-lidanya, dengan membungkus aroma udang busuk agar tak menyebar dan mengkontaminasi udara di sekitarnya.ia sepatu. memang alas.tapi ia tau bagaimana cara membalas budi.
yaa,...harusnya tak perlu aku perjelas, dengan perform yang seperti ini, semua yang melihat akan segera menafsirkan, tuanmu pasti dari strata yang rendah, bercitarasa kampungan,...how poor you are pastinya.
ooo jadi ituu,..., kenapa ya , bahkan tolok ukur kastapun mesti dilihat dari nama sepatu, kurang keren kah kalau namuku impala, dan berasal asli daerah sini ?
alasan prestise kah , kawan ?
jangan panggil aku kawan, kita tak pernah sebanding , impala buluk !
oke, oke, mister bule, boleh kamu anggap aku ikon kesengsaraan dari kasta sudra atau mungkin lebih parah lagi paria..., tapi ingat satu hal.
si Pierre Cardin, mendongak kali ini. menangkap kemenanganya lewat hentakan. dug.
yah, gitu, harusnya memang kamu sadar, tahu diri. . .
masak kamu mensejajarkan diri dengan nama sepertiku. aku telalu elegan untuk kamu jabati. keadaan saja yang membuat kita berdekatan seperti ini.
belum sempat Impala menjawab, derap kaki mendekati mereka, menempatkan dan mencari ketepatan memasukkan kaki.mulut impala terlanjur tersumpal kaki milik tuanya,
bahkan mendesahpun sekarang ia sulit, untung saja sayatan di pinggir sepatu itu belum di permak, jadi bisa ia gunakan sebagai tambahan pasokan udara.
siang ini, sebagai sepatu ia cuma tersenyum miris. ia sempat melirik wajah Tuanya. cuma sekilas dan berjalan lagi. . .
========================================================================
akhirnya kesampaian juga menulis ini, gambar sepatu itu benar-sebenar nya, tanpa rekayasa kamera. yang sebelah kiri adalah sepatu saya, satunya lagi entah milik siapa, dan adanya cerita ini berawal dari kekonyolan penjaga perpus tempat saya sekolah, sebut saja namanya S. entah sengaja atau tidak beliau memotret dua pasang sepatu itu, dan karena sense of humornya memang ugal-ugalan, dia lantas berlari menghampiri say sembari mempamerkan foto yang menurutnya masterpiece fotografi dengan tema kesenjangan sosial, apalagi setelah itu dianya nyletuk :
Yiiip, ayyiiip, masih ada mahkluk jadul kayak kamu yang penuh percaya diri.
sepatuku yang Yongki Komaladi saja sungkan kujejer dengan Pierre Cardin, eeee ini malah Impala . . .
yak opo kuwi rekkkk ,...
dan aku menjawab :
as emmbuuuhhhhh .
kami lantas tertawa terpingkal-pingkal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar