gulungan perkamen di sebuah november : sequel

wajah kumbang


jangan tandai aku dengan garis tepi.

jangan tergesa, bernapaslah dahulu.
kalau kau rasa ada yang salah dengan jam-jamku
mungkin semata karena ketidakstabilan waktu.


akan tetap ada kesempatan merapatkan dua pasang cangkir teh hangat.
wangi rempah kayu manis.
gang sempit dengan nama jalan pengingat yang sama.
dan itu,
cipratan tanah agak basah di ujung sepatu berhak tingggimu.
cantik menjilati lelehan sore di potongan hari sabtu.

dan mata kita beranjangsana.
dan kisah kisah berdandan dari bibir yang saling berkaca.
cup ah.
cup ah.
serasa kata-kata tak menemukan artinya.
terlalu rindu.
tak sempat melengkapi tata bahasa.


sst.....
diam dulu
jangan terburu.
kita nikmati saja koma demi koma.

====================================================================================



wajah anggrek bulan



Satu jam pertama.


Kusangka kau udara.

Yang tak mungkin kubatasi dengan garis-garisku.

Yang tak kuasa kudindingi dengan ego keperempuananku.

Yang malah akan jadi mustahil jika aku memaksa untuk menentukan.

Karena justru disanalah kehormatanmu ada.

Tanpa perlu pertentangan.

Meskipun kurasa kau tahu.

Aku perlu.

Dan ingin.

Ingin yang luarbiasa padat.

Tapi apalah keinginan.

Jika nyatanya kau tak terlihat gugup,

Saat kuhirup kemudian ku hempaskan.

Kau ikhlas yang menyeretku untuk mengikuti hasrat yang saling berkejaran..

Dan lagi-lagi, aku mau.



Satu jam kedua


Kusangka kali ini kau hujan.

Yang akan mengajakku bersama mengeja dalam hitungan.

Tik.Tik.

Tik.Tik.Tik.

Dan tanganku,

Alangkah terkesiap menempel di kengerian itu.

Saat Kau menjahit sayatan panjang lukamu sendiri.

Begitu tabah merekatkan gerimis demi gerimis.

Tiba tiba aku ingin jadi tetes yang sama.

Rintik yang sama.

Deras yang sama.

Kalau bisa.

Satu jam ketiga.


Kusangka akhirnya kau senja.

Setelah halaman muka sebuah November basah oleh cokelat ranum pada sabtu kedua.

Bukan lagi teh hangat bersama sepasang cangkirnya..

Bukan lagi perjalanan antara koma ke koma.

Sebelum ,

Aku tergesa mengecupmu dengan tanda tanya yang bising.

Kapan kau ijinkan aku menepi.

Agar kepenatanku leluasa menangis di belakang punggungmu.

Sekedar merambatkan gelombang pasang ini,

memasukkan jerit

dari belakang matamu yang berduka.

; jam enam kurang sepuluh.


Tangkup tangan kita tak sanggup meredam tiktoknya.

Menit-menitmu rakus menguras habis energiku.


Letih sekali tubuhku mengengkaukan aku padamu ! ! !

*masih di November yang sama, di sabtu yang berbeda.*



Tidak ada komentar: