UBUD WRITERS AND READERS FESTIVAL 2012 DALAM SEBUAH CATATAN (1)



-Among the top six literary festival in the world-- Harper’s Bizzare UK
-One Of The world’s Great Book Festival--Conde Nast  Travel and Leisure
-The Best Art event 2006-- The Beat Magazine

        Adalah sebuah festival, yang konon telah dibaiat menjadi salah satu dari enam festival literasi terbaik di dunia. Diikuti oleh para penyair, prosais, pihak penerbitan, pemikir, seniman dari bermacam latar belakang  dan lintas disiplin, pembaca, penikmat literasi dari tak kurang 25 negara di dunia. Sebuah Festival yang  tepatnya pada tahun 2004  kali pertama oleh Janet De Nefee digagas sebagai  respon kultural dari  bom Bali. Dan tahun ini sudah yang kesembilan kalinya Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) dilaksanakan. Tiap Tahun, Uwrf selalu mengangkat tema yang berbeda, untuk tahun ini  tema besar yang diambil  adalah Bumi Manusia,  diangkat dari buku-buku Pramoedya Ananta Toer. 
Janet De Nefee



Suasana pembukaan UWRF 2012 di pure dalem








penyambutan sebelum acara pembukaaan



        Dan saya ujug-ujug masuk ke dalam lingkaran tersebut. Seperti ketiban sampur, bersama 15 penulis lain yang, dan ini berbicara angka, terpilih dari 279 penulis yang karya mereka masuk dan dikurasi. Untuk UWRF tahun 2012 ini, yang bertanggung jawab dalam proses pengkurasian atas karya penulis Indonesia adalah Cok Sawitri, Acep Zamzam Noor, dan Saut Poltak Tambunan.  Jadilah kami yang 16 orang ini dilabeli: The Emerging Indonesian writer.  . Ya, menjadi The Emerging Indonesian writers ternyata pemecahan beberapa mitos  pribadi sekaligus kolektif bagi saya.  Pertama adalah melakukan perjalanan dengan pesawat terbang,  kedua cita-cita masa kecil yang sampai kini selalu gagal untuk bisa pergi  ke Bali yang akhirnya terlampaui.  Dan yang ketiga mitos kolektif.  Ini yang baru saya sadari ketika banyak teman-teman yang mengomentari sebelum maupun  setelah sampai di Ubud, mereka seperti tidak percaya, kalau saya benar-benar  datang  dari Semarang, yang konon, akan menjadi kemustahilan ada “produk sastra”  lahir dan tumbuh dari kota yang  terlanjur  mempunyai stigma, mengutip Dwicipta dalam beberapa tulisannya, sebagai kuburan sastra, pun  pergerakan sastra yang yatim piatu. Saya seperti sedang membawa  baliho berisi pesan untuk menghentikan asumsi kebanyakan orang itu; halo, kami ada, bung.
dengan Sue Mc Person



di Box Office, Ubud

dengan salah satu volunteer australia

dengan Oleg Borushko, penyair dari Rusia


Selama 5 hari, dari tanggal 3 sampai 7 Oktober 2012, saya  bersama dengan teman-teman penulis Indonesia lain yang diundang  ke UWRF; Amanche Frank (Kupang), Aprila R.A Wayar (Papua), Astina Triutami (Jakarta), Ayi Jufridar (NAD), Bandung Mawardi(Solo), Benazir Nafilah(Sumenep), Budi Saputra(Padang), Guntur Alam( Bekasi), Indah Darmastuti (Solo), Mugya Syahreza Santosa (Bandung), Muhary Wahyu Nurba(Sulawesi Selatan), Niduparas Erlang (Tangerang), Olyrinson (Pekanbaru), Sunlie Thomas Alxander(Yogyakarta), Ratna Ayu Budhiarti ( Denpasar), intens mengisi acara yang sudah dijadwalkan dengan rapi, masing-masing penulis yang diundang mendapatkan bagian yang wajib diisi berupa panel. Saya sendiri  mendapatkan jatah   mengisi dua panel, yang pertama Rhytm of methode, bersama Lemn Sissay (UK), Oleg Boruskho (Rusia), Vivienne Glance (Australia) dan Lily Yulianty Farid (Indonesia) selaku  moderator, sementara  panel kedua  yang harus saya isi adalah  workshop Rewarding Journey di  Universitas Udayana. Saya semeja dengan Niduparas Erlang, Astina Triutami, Budi Saputra, dan Frieda Amran.


cok sawitri dan teatrikalnya
monolog Nyai Ontosoroh oleh happy Salma

Ada beragam acara  yang menurut saya  menarik selama perhelatan ini berlangsung. Diskusi bersama Riri Riza dan Mira Lesmana di pemutaran film Drupadi, Happy Salma yang memonologkan Nyai Ontosoroh, Cok Sawitri membawakan naskah Anton Chekov, Butet Manurung penulis buku sekolah Rimba, Khrisna Pabichara penulis novel Sepatu Dahlan, Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung dan masih banyak lagi yang silih berganti mengisi acara-acara selama perhelatan ini berlangsung.  Uwrf juga  mengundang penulis-penulis internasional berkelas dunia seperti – pemenang Pulitzer Jeffrey Eugenides, John Pilger, Sue Mcpherson, Sheng Keyi, Riikka Pulkkinen, Anna Funder, Krys Lee, Kjersti Skomsvold, Kader Abdolah, Alice Pung dan masih banyak sastrawan legendaris dunia lainnya yang  duduk satu meja dengan penulis Indonesia. Berbincang, berbagi wacana dan isu sastra  yang berkembang di negara masing-masing. Sejumlah event spesial memang   dirancang  untuk mengajak pengunjung festival lebih dekat dengan para penulis, diantara lain adalah acara makan siang dengan Dr. Jose Ramos-Horta dan menghabiskan sore hari bersama dengan Nick Cave. Juga workshop-workshop  mencakup tentang penulisan memoar, puisi, fantasi, fiksi, skenario dan travel writing.

bersama Acep Zamzam Noor, kurator puisi UWRF 2012
Cok Sawitri, Kurator puisi UWRF 2012




dengan Daeng Khrisna Pabhicara


Saya mengesampingkan terlebih dahulu pendapat sebagian orang, yang tidak percaya bahwa festival, pertemuan penyair, perhelatan-perhelatan sastra  semacam ini tidak memberi faedah yang signifikan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Hemat saya, tiap perhelatan akan mendapatkan komentar sama berisi justifikasi sepihak seperti ini. Akan selalu ada kasak-kusuk.  Dan saya beranggapan, tidak ada salahnya datang dan mengambil sesuatu –yang sebelumnya tidak saya ketahui—sebanyak-banyaknya dengan persepsi positif.  Pun, semisal ada kekurangan  dari sebuah perhelatan, kita bisa memberikan kritisi sebagai perefleksian agar bisa diperbaiki  di kemudian hari.


sesi panel di Universitas Udayana



dengan Frieda amran di Universita Udayana


Kabut, romo Amanche, Sunlie, Nidu, Olii di Gala dinner



suatu malam di Casaluna



Kadek Purnami, Wayan Juniarta, teman-teman dan makan siang



teman teman UWRF

Selama di Ubud, entah kenapa saya terus dicekam perasaan “belum menjadi apa-apa”, dan “belum melakukan apa-apa”, saya terngiang lagi bagaimana beberapa orang  yang saya temui di sini masih sangsi dengan keberadaan dan perkembangan literasi di Semarang. Semarang kosong dan sepi, desah mereka. Ya, saya mesti menerima itu kemudian menyimpannya. Memang, setelah generasi  Gunoto Saparie, Eko Tunas, Timur Sinar Suprabana, Triyanto Triwikromo, S Prasetyo Utomo, Budi Maryono, kita sulit memetakan nama-nama menyegarkan ke permukaan. Setahun terakhir ini saja, kita patut, paling tidak bergembira, beberapa teman  seusia saya, yang dianggap ugal-ugalan dan beranggapan harus memutus dan memecahkan mitos sendirian senantiasa optimis, bahwa cuma dengan tekad dan kegilaan bisa menciptakan sejarah kecil:  melihat generasi di bawah kami keluar dari lingkaran keyatimpiatuan selama ini. Membuktikan  bahwa kami tetap akan hidup dan menghidupi gerakan sastra yang nyaris tidak ditinggali warisan apapun oleh generasi yang lebih dulu, selain iklim yang keras.

Kantung-kantung kecil berupa komunitas sastra lahir dan tumbuh sejalan dengan capaian personal.  sebut saja Lembah Kelelawar, Opendmind, Lacikata,Kias, Cakra.  Bila menyebut capaian personal maka akan ada nama-nama seperti Kurniawan Yunianto,Setia Naka Adrian, A. Ganjar Sudibyo, Sulung Pamanggih, Widyanuri, Musyafak T Banua, Janoary M Wibowo, M Rifan Fajrin dan Adin Mbuh.  Kita mesti mencatat nama Sandra Palupi, Vivi Andriani, Fitriyani, Latri Manohara, Devi Maya, Almufaroh Santi dan lain-lain.  Buku-buku antologi tunggal puisi dan cerita pendek bermunculan, media cetak yang mulai bergeser untuk menaruh kepedulian terhadap jalan proses kreatif berkarya  para penulis. Acara sastra berupa bedah buku, diskusi, kajian-kajian kecil mulai tampak dan intens. Saya rasa itu cukup bisa memberi penjelasan, ada percikan semangat yang semestinya kita rawat nyalanya.

Saya yakin, kami (baca: kita) bisa. Mengulang  jargon yang diusung kota ini; setara.


Arif Fitra Kurniawan, bergiat di komunitas Lacikata-Semarang, tahun 2012 ini menjadi salah satu penulis yang diundang di UWRF

1 komentar:

widyanuariekoputra mengatakan...

saya menyimak tulisanmu, af...