Ia akan meminjamkan gelisahnya padamu.
Tepat ketika bulan terbelah,
dan jarak antara dua bagian kembarnya menjadi sebuah bangku.
setengah dari papannya
menumbuhkan mawar dengan duri duri panjang.
Lantas ia memanjat bayanganmu serta memasang atap kanopi disitu.
Kau tak takut ?
Inderamu nanti menjadi tembok yang sibuk menjawab lontaran pertanyaan.
Awas jangan sampai lengah.
Ia cerdik menyembunyikan kepalanya di celah sempit kata paling gelap.
dan kau tak sempat memastikan ukuran kedatanganya.
Kapan.
Dimana.
Dibalik pintu perjalanan, dia telah tak sabar menunggumu dalam dendam.
Mengasah pisau dapur.
merapatkan ingatan.
Disangkanya kaulah yang beringkar janji.
Disangkanya kau tak lagi ingat aroma tubuhnya yang setawar tepung terigu.
Ceceran darah.
Sirup kokopandan.
Sayap berhias tujuh puluh tiga tusukan.
Nak,kau sudah siuman ?
(Berani beraninya dia menikammu dari belakang. . .)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar