MEMETIK BUNGA, MENADAH HUJAN—PUISI-PUISI DEVI MAYA DAN DESTA AYU WULANDARI
: oleh arif fitra kurniawan*
Mengapa saya,
atau kita terus saja menulis puisi? mengapa saya, atau kita terus saja ingin
memahami puisi?— akhirnya pertanyaan itu kembali dan kembali tak bisa saya
jawab dengan segera. meminjam apa yang dikatakan acep zamzam noor, bahwa
memahami puisi akan sedikit lebih rumit dibanding memahami prosa,artikel,dan
laporan ilmiah. kerumitan ini terjadi karena
puisi dituliskan dengan cara yang
berlapis-lapis, seringkali tidak runut, kadang ambivalen dan ambigu. Penyair
tidak sekedar memberikan keterangan dan penjelasan kepada pembacanya tentang
apa yang ingin disampaikan, tapi juga memperhitungkan keindahan bunyi,
keharmonisasian irama, kekayaan imajinasi, ragam simbolik, struktur rancang
bangun kata-kata dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
kali ini
ijinkan saya membuka jalan untuk mencoba memahami beberapa puisi dari dua
penyair kita, yang kebetulan perempuan semua; Devi Maya dan Desta Ayu Wulandari.
1. MEMETIK BUNGA-BUNGA DARI KEBUN PUISI DEVI MAYA
Pertama
yang mesti saya garisbawahi dari puisi-puisi devi maya adalah sebuah keberanian
dalam mengambil resiko, saya katakan mengambil resiko di sini dengan
berulangkali mencermati yang penyair karyakan. penyair agaknya memutuskan
memilih mengambil resiko dengan menanamkan rancang bangun terhadap puisinya
berupa tipografi yang bagi saya sebagai pembaca menciptakan keterbata-bataan ketika berhadapan dengan kata-kata
di tubuh puisi tersebut. Pada puisi-puisi tersebut terlihat betapa konsisten
penyair menggunakan ke-tipografi-an dengan bentukan kata-kata yang dimiringkan, niatan berpungtuasi, teknik
penjudulan, penghilangan spasi pada sekumpulan kata-katanya. Ada semacam
ketegangan di bagian ini, yakni antara peran puisi sebagai media ekspresi dari penyair, dan puisi sebagai
resepsi yang sampai kepada pembaca. ketegangan itu lantas membuahkan
pertanyaan, semampu apa sebenarnya puisi dalam memberikan toleransi?. ketika
sebuah puisi menjadi ego dari penyair dalam menuangkan segala kehendaknya
dengan kemungkinan bahwa puisi itu ketika selesai ditulis akan menjadi hak
untuk diakrabi,dinikmati, serta kemungkinan ditafsir sekehendak pembaca. kekhasan bertipografi penyair dapat kita
cermati di puisi Menulisilalang; Menunggutelanjang(bunga); taksampaisampai;
Keranjangbunga; Tanpacahayabunga; Mawar. Hanya di puisi tubuh kosong, saya
mendapati puisi yang lumrah saya temui secara tipografi. Secara garis besar
maksud penyusunan tipografi yang beranekaragam mempunyai fungsi, yakni sebagai
pendukung keindahan bentuk dari puisi yang nantinya akan dicerna indera
pembaca, dan yang kedua sebagai sarana untuk mendukung pengedepanan makna,
gagasan, suasana yang dibangun penyair. Devi sepertinya sudah mempertimbangkan
efek yang akan ditimbulkan ketika nantinya puisi tersebut sampai kepada pembaca
dan menciptakan beban berat ketika pembaca ingin menelusuri apa yang ingin ia
sampaikan. Devi akhirnya seperti acuh tak acuh dengan itu, ia ingin meliarkan begitu
saja hasratnya berpuisi. Sebenarnya pada ragam berpuisi seperti itu bisa saja
menimbulkan syak wasangka, selain kerumitan pembacaan tentunya, seperti apa
yang pernah ditulis oleh Subagyo Sastrowardoyo ataupun Sutardji, puisi-puisi
devi jika dikunyah pelan-pelan, saya
seperti sedang menemukan kata-kata di sana mengalami kecemasan, takut sekali
dengan kesendirian, hingga huruf-huruf itu merasa perlu merapat ke susunan kata
lain tanpa spasi, tidak memperdulikan batasan karena dihantui oleh perasaan
ingin melawan perasaan asing dan terkucil. Berjarak barangkali membuat
huruf-huruf devi maya cemas, kemudian miring, oleng, dan terhuyung-huyung.
disamping
ciri khas tipografi, saya menemukan, puisi-puisi Devi maya dibangun dengan ke
khasan repetisi,
tubuh kosong
ada satu ruang dimana tak kan temukan
sudut, dindingdinding yang berkelok, atau cat merah jambu yang luntur,
tak maujud, juga kosong. sama halnya hati yang terkoyak atas kekasih yang
menggantungkan kepalanya di antara paha kekasihnya. tak berbeda hari ini, esok,
atau lusa. bungabunga kembali menjadi dongeng di bibir wanita, layu sebelum kembang,
hanya lalatlalat busuk yang mengintai. tanpa sari, hanya putik. mungkin itu
juga masa lalu, seperti dulu -ingatanku- akan pohonpohon yang menjelma bakpao
masuk ke mulut orangorang dan berubah menjadi kancil, membuat mereka mirip
boneka dengan gerak sesuai tubuhnya, tak ada bayang, sejujurnya hampa
ada satu ruang dimana tak kan temukan
sudut, dangkal dalam sama saja. seperti cerita ibu tentang mula nasi. atas padi
yang menjuntai mencium tanah seperti aku yang tertidur tanpa tahu aku lapar.
lapar akan kasih seorang ayah dimana ia datang membuatku lelap tanpa cermai
yang ibu belikan. hanya baju jahitannya yang menempel ditubuhku, tanpa peduli
ada cerita hilang atas kompor meleduk di dapur antara ibu dan dua adikku
ada satu ruang dimana tak temukan
sudut, hati.
nyaris
dalam puisi-puisi devi maya berupa teks-teks yang ingin menunjukkan gagasan dan
perasaannya dalam bernarasi melalui pola repetisi. Penyair seolah ingin
menegaskan apa yang ingin ia sampaikan ke orang lain dengan mengulang-ulangnya,
menjadikannya media untuk menciptakan efek sugestif. Repetisi sendiri dalam
puisi adalah bentuk sederhana dari sebuah ekspansi, yang selain berperan
menciptakan irama dan bunyi-bunyian berperan juga sebagai bentuk simbolisasi
tegangan emosional memuncak, atau
mengkerucut, atau bahkan mengubah sifat mimesis bahasa puisi. Betapa dengan
repetisi itu puisi-puisi devi jadi banyak bercerita, bercerita banyak. hampir
semua puisi-puisi devi begitu. terdiri dari cerita-cerita, yang diselipi
keentahan, dan tentu saja tak habis merangkum bunga. semuanya serba bunga.
entah barangkali itu sebabnya penyair menggunakan akun jejaring sosial: Bunga
Liar. keliaran itu tampak pada beberapa puisinya, ada kecenderungan, yang
barangkali lazim digunakan penyair-penyair masa kini, yakni upaya melawan teks
parenting. saya melihat upaya-upaya yang dilakukan penyair dalam berpuisi,
seperti ingin membuktikan bahwa bunga, tak sekedar simbol kelemah lembutan,
identik feminis, penyair ingin berkisah banyak hal dengan perantara bunga. maka
muncul kata kata semisal keranjang bunga, cahaya bunga, bertopeng denga hiasan
bunga. saya perlu mengapresiasi upaya tersebut, disamping pembacaan yang
obyektif, bahwa sebenarnya masih banyak unsur-unsur, yang semestinya bisa
dikembangkan, saya ambil contoh seperti pada proses kreatif Ajip Rosidi menghidupkan obyek benda “selain
manusia”, kemudian kreatifitas Afrizal Malna dengan membiarkan “alam benda” nya
bicara sendiri-sendiri, dan Puisi Nirwan Dewanto yang memberi warna corak
perpuisian dengan mempersilahkan “yang bukan manusia” dalam hal ini, flora dan
fauna untuk menceritakan (bukan diceritakan) dan membiarkan mereka memberontak
kepada kutukan teks turun temurun dalam mitos selama ini. Saya masih berharap, devi maya akan tekun dan
lebih gigih dalam menggali dan membangun puisi-puisinya nanti. saya rasa jika
itu dilakukan dengan keyakinan dan kenikmatan, puisi-puisinya akan terasa lebih
kuat dari yang saya nikmati kali ini.
2. MENADAH HUJAN DARI LANGIT PUISI DESTA AYU WULANDARI
Desta
Ayu membangun puisinya
dengan anasir-anasir yang dimiliki lingkungan terdekat dari
indrawinya,baik mata, telinga,
kulit. Maka puisinya lantas mengambil hujan, mengambil
jendela, mengambil cuaca, tema-tema yang diambil seperti peristiwa dialogis
antara mata yang dimiliki penyair dengan anasir-anasir itu. Sebagian besar
puisi desta dibangun dengan bantuan mata, sebagai organ visual yang menangkap
banyak peristiwa.
pasang surut
ketika waktu telah mencatat kemudian
lompat pada jarak yang sempat terhenti,
kurasa kita telah samasama belajar
memahami detil makna sebuah persudahan.
tentang jika tiba-tiba hujan datang
menggelar jembatan, menyajikan ingatan
: merindu dan seketika angin
mendesau menabur-hambur pasir ke sela karang yang terlampau tegar. dan hujan
mereda.
Tak ada lagi yang tinggal hingga
ombak kembali bergulunggulung.
(lampung selatan, 4 agustus 2010)
puisi berjudul pasang surut
ini yang menjadi pijakan bagaimana saya bercerita tentang puisi-puisi yang
ditulis oleh Desta Ayu Wulandari. Puisi-puisi yang bisa dikatakan agak
berbeda dalam gaya bertutur dengan
puisi-puisi devi maya. bertipografi lazim dan cenderung polos, begitu juga dengan diksi-diksi yang
dibangun, halus. Meski sama-sama bernarasi, tapi Desta ayu cenderung menuangkan
gagasan dan perasaannya dengan cara yang sederhana. metafora dan idiom-idiom
yang cair. Seperti di jalan tol saja ketika saya menghadapi puisi-puisinya,
nyaris tanpa beban dan kejengkelan. Lancar. Kata-kata mengalir dengan nada
datar, tidak menimbulkan grafik naik turun.
Ada yang menggelitik saya untuk, semacam mengubukan, bila pada
puisi-puisi Devi Maya beraroma wangi akibat banyak sekali bertaburan bunga,
sementara puisi-puisi Desta Ayu menjadi begitu lembab dan basah, ini saya duga akibat
sering hujan-hujanan. Bisa dilihat di
beberapa puisi Desta Ayu diantaranya, Dua Penunggu kereta; Mengenang; Berdiskusi
Dengan Hujan; Hujan dan Jarak; Perpisahan, bagaimana puisi-puisi itu tak bisa menghindar dari serangan hujan. baik itu hujan dengan level deras, gerimis, dan titik-titik. Desta Ayu
seperti kebanyakan penyair lain, kemudian mendekatkan hujan kepada diksi diksi
yang linear, seperti kepiluan, kaca dan jendela, rindu, ketidakmampuan dalam melawan,
café, percakapan asing. Saya jadi teringat puisi-puisi Sapardi, yang begitu
tabah menadah hujan, tabah memasukkanya ke dalam perasaan. Hujan selalu bisa
dan terbiasa menampilkan keadaan yang sayup-sayup, melankolis. Dan Desta saya rasa tidak ingin mengubah dan mensiasati
kehendak alam itu. Penyair cenderung mengambil hujan sebagai lanskap bagi
kesepiannya. Nyaris tak ada kejutan dari hujan-hujan yang penyair sajikan,
semuanya sedemikian lurus mengalir. Cuma kemudian saya telusupi, beberapa kali
penyair ingin sampai kepada keironisan,bagaimana ia ingin memperlihatkan di
puisinya yang berjudul Perpisahan, penyair menulis: Dalam jarak, kita mencipta ketiadaan. keironisan seperti ini ingin
ditebarkan dimana-mana. Ada upaya pengkreasian bagaimana menonjolkan perasaan-perasaan
yang saling melawan ke dalam puisi. Barangkali keputus asaan sekaligus harapan,
keentahan dengan keyakinan, atau tentang kematian yang kait
mengait dengan kehidupan ditumpahkan secara halus ke dalam puisi.
tuhan
di
jendela-Mu kugantungkan malam
panjangkanlah
umurnya sampai kutemukan nyawa bagi jiwa yang hampir mati ini
Saya
rasa puisi ini, mempresentasikan apa yang tengah terjadi pada diri penyair,
selain puisi Menghitung Waktu, Mencatat yang Kuingat. Puisi yang ingin menjadi
rekam jejak dari kerelijiusan. Saya jadi banyak berharap dengan puisi-puisi
seperti ini dari Desta. Meski di Puisi menggantung malam ada kesan penyair
masih terburu-buru, hingga “nyawa” dari puisi ini jadi tak tampak. Gagal menjadi puisi pendek
yang baik. meskipun baik sendiri mempunyai banyak sekali tafsiran. Namun bisa
ditekankan, puisi yang baik hampir selalu mengandung paduan hal-hal teknis dengan bagaimana
kepekaan penyair mengisap pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sebagai
manusia Semua memang butuh proses dan
ketekunan. Kepada Puisi Desta saya
optimis, jika terus berproses dengan jujur sambil membuka diri pada banyak hal
yang bersifat kontemplatif, akan menjadi puisi yang bernyawa
Tematik
yang dibangun dalam puisi-puisi Desta Ayu cenderung kepada ketegangan dan kebuncahan dirinya, kebuncahan
perasaan personal, momentum percintaan, kebuncahan perasaan dengan orang lain
serta hubungan penyair dengan Tuhan. Ada tema
besar kegelisahan ketika seorang penyair ingin mengaktualisasikan dirinya dalam
bentuk teks sastra, dalam hal ini puisi,
yakni kegelisahan sosial--politik,
kegelisahan metafisik, dan yang ketiga adalah kegelisahan eksistensial, dan Desta Ayu saya rasa sudah berhadapan dengan itu
semua. Tinggal apa lagi kalau tidak
mengolahnya lebih jauh lagi ke dasar.
Terakhir barangkali,kiranya puisi-puisi dari 2 penyair kita kali ini,
menyumbangkan beberapa dorongan kita untuk mencatat dan mendapatkan sesuatu.
dan memang, hakikat sumbangan hanya akan
benar-benar berfungsi dengan baik jika kita memang benar-benar membutuhkannya.
Jika tidak, kita bisa mengabaikannya.
ida, puisi ialah putusan memilih, menimbang dan membuang; sinar rontgen
menembus putih tulang!, demikian
tulis Chairil suatu ketika.
(esai ini ditulis untuk kepentingan Petik Puitika#4 komunitas Lacikata, yang diselenggarakan tanggal 13 Mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar