MITOS DI DALAM SAJAK-SAJAK EKSPERIMEN A. GANJAR SUDIBYO

ditulis oleh Arif Fitra kurniawan*

1. Tentang sajak panjang dan eksperimen

Ada beberapa  hal yang mesti saya catat dari sajak-sajak A Ganjar Sudibyo (selanjutnya saya tulis Ganz), pada beberapa sajak Ganz, yang mesti saya catat pertama-tama adalah upaya-upaya ketekunan untuk terus “mencoba-coba” segala sesuatu untuk dikenakan kepada sajaknya . Yang kedua adalah upaya-upaya untuk menjaga energi yang mesti ia hembuskan  kepada sajak-sajaknya yang panjang, meski kadang saya benar-benar dibuat lelah ketika membaca sajak-sajak ganz yang kelewat panjang, dibutuhkan ketabahan mata menghadapi sajak macam itu. Sajak yang seandainya saya tidak terintervensi oleh pengakuan si penyair bahwa apa yang ia tulis adalah sajak, maka saya lebih suka menikmatinya sebagai sebuah cerpen. Bagaimana tidak, bahkan di sajak Eldorado--, unsur-unsur dari cerita rekaan itu nyaris dimasukkan semua. Tema, plot, setting, karakter tokoh, konflik, dialog, dan ending semua dijejalkan disana. Saya seperti dihadapkan simalakama—cuma untuk menyebut teks itu puisi yang prosais, atau prosa yang puitis. Ah, sutralah.

Saya menyebut si penyair sebagai seorang tukang eksperimen, dengan mengamati gerak-gerik sajaknya selama ini. Itu dapat dilihat  dari keseluruhan sajak Ganz yang dikirimnya ke saya sebanyak delapan judul. Penyair saya umpamakan burung pelikan yang terus melompat, sesekali terbang, dan tak pernah ingin (baca: belum) membuat sarang di suatu tempat. Atau lompatan kecil dan terbang dari satu dahan ke dahan itulah justru yang bisa kita sebut sarang (?).  Pada tiap sajaknya penyair seperti ingin memberi identitas diri antara satu sajak dengan sajaknya ang lain, upaya itu terlihat mencolok dengan mencermati bagaimana penyair melakukan semacam bereksperimen  dengan tipografi. Dari sajak awal Eternal; Origami; Lalu Engkau Duduk di Tepian Kolam itu; Puisi  Tentang Anak-anak Bulan; sampai pada sajak Di Eldorado : Episode Seorang Anak Yang Tak Yakin Mematahkan Hidungnya. Bagaimana penyair membentuk tipografi bait-bait yang centre text, mengawali bait dengan satu kata yang ditulis dengan huruf kapital, memberi angka dan penanda  huruf pada tiap baitnya sebagai pemilah enjambment, selalu ada upaya untuk terus “tidak ingin seperti yang pernah dibuat”. Ini tentu saja diniatkan oleh penyair. Saya sampai pada taraf membayangkan betapa tersiksanya penyair memikirkan terus menerus untuk menciptakan yang ia anggap “temuan baru” nantinya dalam bersemiotik. Kadang tanda-tanda dalam tipografi itu saya tangkap mempunyai fungsi yang menjelaskan apa yang ingin disampaikan sajak, tapi beberapa dari upaya itu semua sekedar menghadirkan identifikasi, saya ambil misal saja di sajak  ini dimana tipografi saya anggap berfungsi sebagai penjelas:

//pertanyaan-pertanyaan//
: 1.
“ke mana arah airmata-jalan pergi menuju tanah rantau?”

: 2.
“siapa yang melahirkan airmata ayah dan ibu-kandung kami?”

: 3.
“bagaimana kami dapat mengeringkan laut airmata kami yang keruh?”

//jawaban-jawaban//

: 1.
sejujurnya, kami masih saja lupa rute di peta
sebab peta telah luntur oleh warna tinta airmata kami
dan dengan segenap cara kami yang tak dapat dibahasakan
jarak mengajarkan kepada kami bahwa menyisakan mimpi

: 2.
hampir setiap malam hampir setiap anak mendengarkan
lelagu dari gendongan para ibu di desa kami. sedang para ayah
sering kali merapikan nafkah dekat perapian dengan asap kretek

: 3.
bisa saja berabad-abad lamanya airmata yang menimbun, jelma
menjadi lautan seperti di tanah gaza atau bencana. dan kami tak
pernah tahu kapan awan akan menampung jadi mendung, sebab
kami telah lama percaya bahwa segalanya mampu mengering
(sajak Empat Pertanyaan Dan Jawaban Mengenai Airmata Kami)

Tidakkah pemberian angka-angka di tiap bait itu memudahkan pembaca menyelami sajak yang dibuat penyair yang menyerupai soal sekolah dasar dahulu, disini tanda-tanda itu terasa hidup, betapa akan sukarnya  saya sebagai pembaca, seandainya  tak ada angka-angka itu. Angka-angka itu membuat saya jadi berpikir, bagaimana serunya jika di sajak itu bait-bait nya diacak, kemudian di akhir sajak, penyair memberikan sebuah perintah: cocokkan pertanyaan pertanyaan sajak dengan jawaban yang sesuai!


2.  Tentang  Kegelisahan dan kesedihan
Sajak-sajak Ganz tidak memaksakan diri untuk berdandan dengan rima ataupun tata bunyi akhiran, sajak-sajaknya lebih memilih untuk memperkuat diri mereka dengan membawa pesan yang mesti sampai ke pembaca. Tapi apakah pesan yang hendak disampaikan sajak itu akan diterima dengan mudah oleh pembaca, ada dua kriteria, mengulang apa yang telah ditulis oleh Horatius  dalam bukunya Ars Poetica, bahwa ada semacam tolok ukur ketika pembaca disodori sebuah karya sastra. Yang pertama adalah utile, yakni  bermanfaat. Yang kedua adalah dulce, yakni kenikmatan. Pertanyaannya adalah bagaimana pembaca mengarahkan kedua tolok ukur itu kepada sajak-sajak si penyair berkacamata ini, apakah sebagai pembaca akan terlebih dulu mencari manfaat berupa pesan tersirat atau akan (cuma) menikmatinya lantaran kadang  tidak merasakan adanya manfaat ketika berhadapan dengan sajaknya. Sajak ganz  bagi  saya adalah tanaman teks yang secara logis tumbuh  secara dialektis. Runut.  Tumbuh dan merayap dari bawah ke atas. Dan  ini hal baik yang yang mesti dicatat. Ada tema besar kegelisahan ketika seorang penyair ingin mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk teks sastra, dalam hal ini  puisi, yakni kegelisahan sosial--politik,  kegelisahan metafisik, dan yang ketiga adalah kegelisahan eksistensial. Sajak-sajak Ganz  tumbuh pelan-pelan dari tahun ke tahun membawa tema-tema tersebut. Rentang tahun dari 2008 sampai tahun 2012 adalah perjalanan dimana pengalaman-pengalaman, rekaman-rekaman, gesekan dan interaksinya dengan beragam kejadian membuat sajak-sajaknya sedemikian rupa. Tapi dari yang saya amati, sebenarnya ada satu tema yang linear yang sedang dirawat ganz: kesedihan.  Tetap saja kesedihan itu terlihat meski penyair  membedakinya dengan diksi-diksi yang terkesan macho, dengan kecepatan dan hiruk pikuk dunia cyber, dengan blackberry, dengan chanel televisi, dengan ipad. Tragedi tetaplah sebuah tragedi.

3.Tentang Hipogram dan Mitos-mitos
Sajak ganz, adalah serangkaian perjalanan tranformasi. Rakhmat Djoko Pradopo yang  mengutip Julia Kristeva, mengemukakan  bahwasanya  tiap teks  sastra adalah mosaik kutipan  dan  merupakan  tranformasi dari teks-teks lain. Secara khusus, ada teks tertentu  yang  bisa ditandai sebagai latar penciptaan sebuah teks lain setelahnya,  dan ini disebut oleh Rifaterre sebagai Hipogram, sementara karya yang menyerapnya disebut karya tranformasi. Sajak Ganz dekat dengan itu., Terdapat dua unsur dari Teks tranformasi, yang pertama menampik, yang kedua menerima atau meneruskan. Dan penyair,dalam sajak-sajak yang ia ini saya selidiki meneruskan tiap teks-teks yang menjadi hipogramnya. Kita bisa melihat hipogram dan tranformasi itu pada sajak Origami—Puisi Tentang  Anak-anak Bulan—dan  Di Eldorado.

ORIGAMI

Akhirnya,
ia melipat bulan itu
Lalu membentuknya
Jadi burung-burungan
Agar bisa terbang
Menghiasi
Langit jiwa
Tapi mati
Ditembak sang pemburu malam.
Lalu
melipatnya kembali
membentuknya
jadi kapal-kapalan
agar bisa berlayar
di samudera malam
dan berharap
takkan tenggelam

(2008)

PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN
1.
dulu, anak-anak bulan senang main origami kapal-kapalan
sewaktu penghujan melahirkan arus luapan kali menuju jalan-jalan kampung
lalu ada dolanan jamuran saat banjir tak lagi tinggal pada bulan-bulan kemarau
: di mana ibu mereka sering berdandan dengan begitu purnama

mereka bilang, kapal-kapalan jauh lebih seru dibanding
berpura-pura melingkar bergandeng-tangan menyanyikan
kidung jamuran yang jadul itu

dan bermain kapal-kapalan tak perlu mendiamkan
pura pada wajah-jujur kita.

(2010)


DI ELDORADO: EPISODE SEORANG ANAK YANG TAK YAKIN MEMATAHKAN HIDUNGNYA

“hari ketujuh, diciptakanNya hidung
dipermakNya menjadi bagian tubuh
yang vital dan binal”
  
1. menuju sekolah, seorang anak mencoba melepaskan
angin dari kedua tangannya. angin itu dijelmakannya
jadi sketsa seekor naga yang lesat menghampiri
masa depan yang penuh dengan burung-burungan
dan pesawat-pesawatan di atas kepalanya. naga
itu kembali ke angin sebab ia tak tahu arah
sebab di depannya gelap dan banyak tubrukan
cahaya asing

(2012)

Ketiga sajak ini dibuat tahun 2008(Origami), 2010  (Puisi tentang anak-anak bulan), (Di Eldorado: Episode Seorang Anak Yang Tak Yakin Mematahkan Hidungnya), itu artinya sajak sajak itu sebenarnya masing-masing telah memiliki jangka dua tahun untuk mengendap,dan entah  secara sadar atau tak sadar sajak-sajak itu seperti mempunyai ikatan. Ada hubungan yang tadi sudah saya sebut sebagai hipogram-transformasi. Bisa kita amati, di sajak Origami, Ganz menulis tentang (seseorang) yang melipat kertas origami dan membuatnya menjadi burung-burungan kemudian kapal-kapalan, teks ini menjadi hipogram awal yang mencoba diteruskan di sajak Puisi Tentang Anak-anak Bulan, di sajak ini penyair juga membawa serta kegelisahan (beberapa orang) yang awalnya sering bermain origami kapal-kapalan. Seolah sajak yang ini adalah tumpahan kesedihan jilid kedua dari sajak Origami. Kesedihan itu mekar menjadi bait-bait yang lebih tragis. Dan lagi-lagi itu masih ingin diperpanjang lagi di sajak Di Eldorado--, kesedihan itu di panjang-panjangkan dalam mitos yang lebih ruah, hiruk pikuk dalam kemodernitasan. Suatu karya sastra menurut Paul Ricouer adalah paduan dokumen sosial dan humaniora dengan dokumen  alam  pikiran . Ini akan menciptakan lingkaran  hermeneutik dimana terdapat unsur sense, berupa makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks, dan reference, berupa makna yang  terlahir dari hubungan teks dengan yang diluar teks itu sendiri.  Baik sense maupun reference akan dihadapkan pada runutan kejadian  yang hidup dalam kenyataan, sebab teks dalam  sajak, tak melulu berkisah tentang reference, melainkan lebih dari itu: menciptakan pandangan, horizon pemaknaan baru kepada dunia yang yang sedang dibangun oleh penyairnya, Ini saya tanggkap ketika menemukan sajak-sajak Ganz, dimana penyair asyik masyuk meleburkan dirinya ke banyak mitos, dongeng yang berlalu lalang di sekitarnya, Saya curiga, jangan-jangan seluruh sajak ganz ini memang mitos semua (?) Kita tahu, bahwa mitos, menurut pengertian strukturalisme Levi-strauss tidaklah sama dengan kajian ilmu mitologi. Mitos tidak harus dipertentangkan dengan sejarah serta kenyataan.  Mitos adalah sebuah ceritera yang lahir dari khayalan manusia, imajinasi manusia, meski unsur khayalan itu berasal dari kehidupan dan lingkungan manusia sehari-hari. Dalam mitos, imajinasi seseorang memperoleh kebebasannya secara mutlak, mempunyai seluas-luasnya kemungkinan untuk menghidupkan kemustahilan nalar. Sajak ganz, saya rasa dibangun di atas mitos-mitos tersebut. Kita dibawa untuk membuat keputusan sendiri, akan mempercayainya atau  menolaknya ketika memasukinya. Taruh saja, di sajak Takdirkan Aku Sebagai Katakmu, dimana penyair memperlihatkan kerja kerasnya dalam membawa pembaca untuk menggelisahkan dimensi waktu, antara masa lalu, sekarang dan masa depan.  Terlebih di sajaknya Eldorado, penyair bebas menumpuk mitos-mitos di atas mitos. Benar-benar berlapis. Tapi kita tak mungkin melarang penyair membawa kota hilang penuh emas Eldorado  dari peninggalan suku Chabca  di Amerika Selatan yang disinyalir penuh harta karun emas  permata itu doboyong ke plot mitos si boneka kayu  yang  gamang terhadap hidung sendiri itu. Kita tak bisa protes ketika penyair menculik Zeus dan Poseidon si dewa penguasa laut bersenjata trisula dalam mitologi rakyat yunani ke episode sajaknya, atau Aladin si pemilik lampu ajaib yang kita kenal dari lisan ke lisan.  Kita juga tak mampu menggerutu ketika penyair membawa serta mitos itu melesat ke dunia dimana banyak berhamburan berjejalan dengan acara televisi, video game, internet, bahkan ketika, lebih tragisnnya, mitos itu dimitoskan kembali ke dalam mitos-mitosan dan menjadi wadah yang disana berjatuhan sekaligus tumbuh kapal-kapalan, apel-apelan, pesawat-pesawatan,  telur-teluran. Setidaknya saya mencatat ada 15 kata yang mendapatkan imbuhan –an, untuk menimbulkan efek “pengimitasian” dari benda sebenarnya. Saya rasa ini bukan hal mudah, ketika seorang penyair mesti mencermati kata-kata mana yang layak diberi efek –an , tidak sekedar kata, namun bisa menciptakan ambivalen dan kesan plastik. Penyair mesti berjerih payah menjaga ritme dan konsentrasi di tengah hiruk pikuk kata-katanya sendiri.  Saya cuma berdoa semoga Ganz tidak ikut tercebur menjadi penyair-penyairan. Dan ia tidak sedang membuat sajak-sajakan. Atau jangan jangan-jangan ini sudah menjadi esai-esainan yang dibuat oleh arif-arifan? Ah, sutrala
labalukisaludakasulisakisakilu
ceciceciceciceciceciiiiiiii
cicecicekisabalu….biimmm!

(Semarang, Maret 2012)

tulisan ini dibuat untuk kepentingan NgoPi (Ngobrol Pintar)-- Komunitas Lacikata  edisi sajak-sajak A Gandjar Sudibyo, yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 25 Maret 2012, di Jalan Stonen 29

Tidak ada komentar: