MATA PALING INDAH    

Aduh  ibu, berhasrat  ingin  kukail  sepenuh  maaf  yang  limpah  di  telapak  kakimu  yang biru laut itu,  betapa  surga dan  pahala betah berenang-renang  di sana, sungguh  apabila  bagimu  telingaku  sedemikian  durhaka membantah  lidah  yang  tuah, kelopak  ranum  yang  menguarkan  pepatah  demi  pepatah, maaf, perawan  ini  tak hendak  mengecewakanmu ibu. Percayalah  ibu, aku  akan bahagia, insya Allah  dengan  apa  yang  akan  kujalani nanti. Aku  tahu, tiada  orang tua  bermaksud  melepas  anaknya ke rimba  celaka, sering  kau elus  keningku, sesekali  ketika aku  dihadang  kaca   persegi dikamarku, ketika rautku  tumbuh  menjadi lebih subur dan  sabar  daripada  gambar yang  diambil oleh  tukang  foto  keliling berbelas tahun  yang  lalu,  dengan pipi  beringus dan rambut belakang  berikat  karet  gelang, tak  henti   kudengar   dari  bibirmu  yang sarang  lebah itu,  nak, kelak carilah jodoh  yang ber--bibit, bebet, bobot, mampu  mengimami, mengayuhmu  ke arah paling kiblat. Arah  yang  ruasnya dibentarakan  ribuan  malaikat.  

Aduh  ibu, berhasrat  ingin  kujewer  telinga  sendiri, seperti  masa  kecil  ketika  kupatahkan  jarum  jahitan, ketika  kelingkingku  sedang belajar  menuntaskan  segenap  rasa penasaran. Dan  kau tak  pernah  benar-benar  marah,demi   melihat kelingkingku tertusuk  ujungnya  yang tajam,   kau bawakan  keciap  aduhku sebotol  obat  merah.  


Berulangkali  engkau  datangkan  padaku lelaki-lelaki itu, lelaki  yang  menurutmu  membawa     rempah-rempah kapal ketaatan  nabi  nuh, yang  berhasrat  meminangku  sebagai  palka, atau  sekoci, mereka  yang  menjanjikanku  separuh kegigihan  dunia  dan  separuhnya  lagi  ridho  dari  lurusnya beragama, bukan  seperti  ibu, bukan  niatan  untuk menampik  mereka seperti tubuh  gelasku  yang  mencoba  mengepaskan  seberapa  pantas  ukuran  baju. Memilih  dan  memilah, untuk  kemudian memulangkan mahar  rencana mereka  dengan tengkuk tertekuk. Membawakan   kabar tak layak  bagi  ibu-bapak mereka  yang  tetua  kampung, imam  masjid, kepala dusun, para  amtenar.

Maka  sekali-kali  ingin  bergegas  kukecup  keningmu  yang  padang rumput itu, tiap  kali engkau  sedikit  jengkel-meskipun  tak  sebenar-benarnya  marah-  ketika  berujar, nak, sampai  kapan engkau  begini, apa  hati  perawanmu  tak  ciut, tengoklah  itu, waktu  terus  memburumu. Maka  dengan sejujur  lidahku  yang hijau, berucap, sampai  datang  yang sebenar-benarnya  jodohku, ibu.  

Mungkin inilah  ibu, jodohku, bisikku  padamu  ketika  suatu  siang, ia  datang  membawa  lebih dari sebuah  keberanian. Lelaki  yang datang  tanpa  sanggup  menjanjikan apapun  selain  utuh  dirinya  sendiri, lelaki  yang  berjujur ketika  di surau tak  pernah  khatam Al qur’an, dan  dalam  kehidupannya  ia  selalu  berdoa sehujan  mungkin,  agar  ada  yang  berkenan  mengajarinya mengaji, bersebab  tak  ada yang  sabar  mengajarinya, ah, siapa pula   yang sabar  mengajari lelaki yang  matanya  buta?.  Kemudian  kau  menggayuh  lenganku  ke kamar, Ndun, kau  yakin  pada  yang  engkau  pilih, tidakkah engkau  lihat  dia  lelaki buta, tegasmu.  

Aduh  ibu,  betapa  ingin  kulepas  beribu  kupu-kupu  untuk  meyakinkan rasa heran  di kembar  alismu  itu, justru  karena  dia  buta, maka  aku  juga  menutup  mata  ketika  menerimanya,

bukankah  hati  itu  luas sekali cahayanya ?,

bersebab   ketika  ia  menjatuhkan pilihanya  pada  seorang  Hindun, ia tak  pernah  memperkirakan serta  memperkarakan  rupa, harta, atau  segala  warna  dunia. Lelaki  itu  cuma  berkeinginan untuk  berbagi, ibu. Dan  itu  akan  membuatku  bahagia  karena  kelak satu  ibadah  paling  indah  adalah  mengabdi  kepada  suami.  

Aih,  betapa  ingin  kuluapkan  segala  gula-gula  ketika  engkau  tersenyum  dan  mendorong  tubuhku  untuk  kembali  ke ruang  tamu. 







nb :  FF  ini  saya  ikutkan  dalam  lomba  FF perjodohan  Hasfa Publishing

Tidak ada komentar: