Episode pertama : Batang

Ialah arti yang dicari cari tubuh selama ini agar tetap tegak.

Sebelum belantara humus di lapis pertama otak mencoba belajar memberikan tendensi pada keinginan yang tiap hari cepat sekali meninggi.

Menjulang.

Memaksa keyakinan untuk menempelkan remah roti, daging kalkun dipotong dadu , serta beberapa cuil sisa keju mozarela diatap langit langit karton bekas kardus mie instan.


Bapak ,
inilah rumah episode naas bagi sebagian tubuhnasib kami disini.
Di tepi muram yang dindingnya tak punya jendela.

Apa daya , kadang perut buncit nan busung ini kerap merengek mendengar bunyi piring diadu , gemerincing garpu tala , lumeran cokelat hangat di cangkir bergagang dua yang bergesek meninggalkan tatakanya.
Tring !

Tidakkah malam ini sesak terisi gemuruh amin dengan intonasi panjang yang teatrikal ?
Penuh harapan makanan kami mendekati kecukupan nilai gizi.


Bapak ,
seperti telah didongengkan pada batang tanpa pembuluh , sebisa mungkin kami tanam mimpi mimpi ini di bawah jembatan , di trotoar.

Di jaring jaring kabut tipis ,yang siapa tahu kemudian hari akan membiarkan ranting baru terbit dengan liar .

Untuk seporsi wajah pengharapan ,
untuk ranting yang tampak segar.
Untuk gerak yang selalu berusaha tumbuh mati matian menangkap matahari cita cita.

: untuk ranting yang sumringah, pak.

Tidak ada komentar: