Menghindar dari Gramatikal yang Jernih (Jawa Pos, Minggu 2 Agustus 2015)



Judul: Napas Mayat
Penulis: Bagus Dwi Hananto
Cetakan:  I, April  2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 185 halaman
ISBN: 978-602-03-1522-5


Lewat  Napas Mayat (Gramedia, 2015), novel yang mendapatkan tempat sebagai juara ketiga dalam sayembara penulisan novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2014 kemarin, Bagus Dwi Hananto mengunggah sebuah pertarungan abadi antara yang baik dan yang buruk. Kehidupan dan kematian. Malaikat versus Iblis. Putih melawan hitam. Bagus menyatukan mereka dalam satu ring; tubuh manusia.  Perseteruan tersebut dikisahkan dalam bingkai surealis yang murung.

            Kisah dimulai dari kematian Aku—prosa, setelah menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak atas kejahatan yang dilakukannya; pembunuhan berantai. Kemudian  menggunakan lajur flashback, pembaca akan dibawa merunut ihwal masa lalu si tokoh, pengisahan yang memang  dibutuhkan untuk menyusun sebab-akibat dalam novel. Bagi pembaca yang terbiasa dengan penceritaan mengalir lancar dengan kalimat efektif, bersiap-siaplah menyiapkan parasetamol atau aspirin, atau obat apa saja yang bisa meringankan sakit kepala dan nyeri otot. Sebab penceritaan akan membuat tempurung kepala kita berdenyut-denyut. Selain kalimat-kalimat yang bertaburan seringkali menggunakan kalimat bentuk pasif,  akan kita temukan beban-beban makna dalam kalimat  tersebut yang semestinya ditanggungkan ke dalam bentuk-bentuk puisi. Baik itu personisifikasi, metafora, alusi, atau metonimia. Artinya, kita harus dua atau tiga kali memreteli dan memaknai sekaligus menemukan tujuan kalimat yang dibuat penulisnya dengan muatan perangkat majas-majas tersebut.

“Ayah mati dengan jam dinding penuh keributan di tubuhnya. Dari kemegahan masa lalu kemudian dunia menggerogoti dirinya pelan-pelan sebagai orang papa.” (hlm 2)

Itu salah satu saja petilan yang  akan kita dapati dalam Napas Mayat. Untuk mengisahkan ayah si tokoh yang tadinya kaya raya kemudian mati dalam kemelaratan setelah perusahaannya jatuh bangkrut, Bagus memilih menggunakan struktur kerja bahasa yang lumrah  digunakan dalam puisi alih-alih menggunakan gramatikal yang jernih dan mudah dinikmati. Dengan bertebarannya stilistika semacam itu, pembaca dituntut   bekerja lebih keras  melakukan pembacaan untuk sampai pada halaman terakhir. Itu belum lagi ditambah dengan gagasan “berat” yang dibenamkan penulis ke dalam bagan novelnya.  Dikisahkan setelah ayah si tokoh Aku mati, di Kota A,  tinggal di sebuah apartemen muram, Aku—prosa jatuh miskin dan  mengalami penuaan dini, dilecehkan secara dramatis oleh orang-orang sekitarnya lantaran fisik yang buruk dan berkepala botak dengan tiga helai rambut di kepala. Pertarungan  psikologis pun dimulai dengan munculnya karakter Hitam, yang muncul dan mengaku sebagai “diri yang lain” dari Aku. Hitam, yang muncul dan kita baca sebagai alter ego si Aku, menawarkan halusinasi, menawarkan sebuah komparasi antara realitas dan utopianya. Tokoh Hitam inilah yang lantas menyeret si Aku untuk menciptakan motif  pembunuhan demi pembunuhan, melakukan mutilasi, mengambil jeroan,  merebus dan menyantap bagian-bagian tubuh mayat korbannya, sementara kepala-kepala mereka diawetkan dalam kulkas. Cuma lantaran melecehkan kondisi fisik si Aku, Mama Besar dan Marbun menemui ajal mereka. Yang satu dijerat lehernya, yang satu ditusuk dengan pisau. Kita akan menemukan seorang psikopat dalam novel ini.  

Barangkali  komentar juri untuk Napas Mayat  yang tertera di sampul belakang benar,  novel ini mempunyai gagasan yang kompleks, dengan mempertanyakan Tuhan, cinta, dan arti kemanusiaan.  Kita akan menemukan perbincangan keberadaan Tuhan lewat tokoh Aku yang ateis, paparan cinta dan syahwat dari percumbuan Aku dengan Sarah serta  Aku dengan cinta monyetnya, Novia. Menyaksikan kemanusiaan dari narasi-narasi bagaimana tokoh Aku menempatkan diri dan merasa  terkucil di tengah manusia-manusia urban, kesendirian yang ngelangut serta gugatan-gugatan personal tentang perang, kapitalisme Amerika, hingga pembantaian manusia di Palestina. Novel ini juga jadi begitu padat oleh intertekstualitas, di antara kegemaran si tokoh Aku mendengarkan komposisi musik milik Debussy, Bach dan Bethoven, si tokoh juga  menggemari bacaan fiksi, alhasil, tokoh-tokoh yang hidup dalam karya-karya dari penulis mapan dunia dikeruk dan dimuntahkan: dari Jay Gatsby sampai Kolonel Aureliano Buendia, dari Hans Thomas sampai Winston Smith. Barangkali itulah yang membuat Napas Mayat menyimpan “sesuatu”, hingga membuat para juri memilihnya menjadi salah satu pemenang sayembara.
Tapi  bagaimanapun kita tahu, dalam novel, gagasan besar  saja kita rasa  belum cukup, gagasan masih perlu teknik penceritaan yang baik dan menarik, detail yang membuat pembaca bisa menyerap tiap kejadian dan suasana latar yang dikisahkan, tokoh-tokoh yang mempunyai karakter kuat dan terngiang di pikiran pembaca, premis-premis yang tak mudah goyah dalam penyusunan plot. Semua itu diperlukan agar novel tidak semata-mata terlihat seperti truk pasir sarat muatan belaka, yang ngeden dan akhirnya terjebak di tanjakan. Tak sampai tujuan membawa muatannya.  Barangkali justru di situlah  kekurangan Napas Mayat.



Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.

2 komentar:

Kurnia Hidayati mengatakan...

Semakin mantap! (y)

Arif Fitra Kurniawan mengatakan...

@kurnia Hidayati: tak semantap yang kamu kira, penyair Nia, ada saja lubang yang tetep kudu aku pelajari terus-menerus. Terima kasih kunjungannya ya :)