Judul: Napas Mayat
Penulis: Bagus Dwi Hananto
Cetakan: I, April 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka
Utama
Jumlah halaman: 185 halaman
ISBN: 978-602-03-1522-5
Lewat Napas
Mayat (Gramedia, 2015), novel yang mendapatkan tempat sebagai juara ketiga
dalam sayembara penulisan novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2014 kemarin,
Bagus Dwi Hananto mengunggah sebuah pertarungan abadi antara yang baik dan yang
buruk. Kehidupan dan kematian. Malaikat versus Iblis. Putih melawan hitam.
Bagus menyatukan mereka dalam satu ring; tubuh manusia. Perseteruan tersebut dikisahkan dalam bingkai
surealis yang murung.
Kisah dimulai dari kematian
Aku—prosa, setelah menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak atas kejahatan
yang dilakukannya; pembunuhan berantai. Kemudian menggunakan lajur flashback, pembaca akan dibawa merunut ihwal masa lalu si tokoh,
pengisahan yang memang dibutuhkan untuk
menyusun sebab-akibat dalam novel. Bagi pembaca yang terbiasa dengan
penceritaan mengalir lancar dengan kalimat efektif, bersiap-siaplah menyiapkan
parasetamol atau aspirin, atau obat apa saja yang bisa meringankan sakit kepala
dan nyeri otot. Sebab penceritaan akan membuat tempurung kepala kita
berdenyut-denyut. Selain kalimat-kalimat yang bertaburan seringkali menggunakan
kalimat bentuk pasif, akan kita temukan
beban-beban makna dalam kalimat tersebut
yang semestinya ditanggungkan ke dalam bentuk-bentuk puisi. Baik itu
personisifikasi, metafora, alusi, atau metonimia. Artinya, kita harus dua atau
tiga kali memreteli dan memaknai sekaligus menemukan tujuan kalimat yang dibuat
penulisnya dengan muatan perangkat majas-majas tersebut.
“Ayah
mati dengan jam dinding penuh keributan di tubuhnya. Dari kemegahan masa lalu
kemudian dunia menggerogoti dirinya pelan-pelan sebagai orang papa.” (hlm 2)
Itu
salah satu saja petilan yang akan kita
dapati dalam Napas Mayat. Untuk
mengisahkan ayah si tokoh yang tadinya kaya raya kemudian mati dalam
kemelaratan setelah perusahaannya jatuh bangkrut, Bagus memilih menggunakan
struktur kerja bahasa yang lumrah digunakan dalam puisi alih-alih menggunakan
gramatikal yang jernih dan mudah dinikmati. Dengan bertebarannya stilistika semacam
itu, pembaca dituntut bekerja lebih
keras melakukan pembacaan untuk sampai
pada halaman terakhir. Itu belum lagi ditambah dengan gagasan “berat” yang
dibenamkan penulis ke dalam bagan novelnya.
Dikisahkan setelah ayah si tokoh Aku mati, di Kota A, tinggal di sebuah apartemen muram, Aku—prosa
jatuh miskin dan mengalami penuaan dini,
dilecehkan secara dramatis oleh orang-orang sekitarnya lantaran fisik yang
buruk dan berkepala botak dengan tiga helai rambut di kepala. Pertarungan psikologis pun dimulai dengan munculnya
karakter Hitam, yang muncul dan mengaku sebagai “diri yang lain” dari Aku. Hitam,
yang muncul dan kita baca sebagai alter ego si Aku, menawarkan halusinasi,
menawarkan sebuah komparasi antara realitas dan utopianya. Tokoh Hitam inilah
yang lantas menyeret si Aku untuk menciptakan motif pembunuhan demi pembunuhan, melakukan mutilasi,
mengambil jeroan, merebus dan menyantap
bagian-bagian tubuh mayat korbannya, sementara kepala-kepala mereka diawetkan
dalam kulkas. Cuma lantaran melecehkan kondisi fisik si Aku, Mama Besar dan
Marbun menemui ajal mereka. Yang satu dijerat lehernya, yang satu ditusuk
dengan pisau. Kita akan menemukan seorang psikopat dalam novel ini.
Barangkali komentar juri untuk Napas Mayat yang tertera di
sampul belakang benar, novel ini
mempunyai gagasan yang kompleks, dengan mempertanyakan Tuhan, cinta, dan arti
kemanusiaan. Kita akan menemukan
perbincangan keberadaan Tuhan lewat tokoh Aku yang ateis, paparan cinta dan
syahwat dari percumbuan Aku dengan Sarah serta Aku dengan cinta monyetnya, Novia. Menyaksikan
kemanusiaan dari narasi-narasi bagaimana tokoh Aku menempatkan diri dan
merasa terkucil di tengah
manusia-manusia urban, kesendirian yang ngelangut
serta gugatan-gugatan personal tentang perang, kapitalisme Amerika, hingga
pembantaian manusia di Palestina. Novel ini juga jadi begitu padat oleh intertekstualitas,
di antara kegemaran si tokoh Aku mendengarkan komposisi musik milik Debussy,
Bach dan Bethoven, si tokoh juga menggemari bacaan fiksi, alhasil, tokoh-tokoh
yang hidup dalam karya-karya dari penulis mapan dunia dikeruk dan dimuntahkan:
dari Jay Gatsby sampai Kolonel Aureliano Buendia, dari Hans Thomas sampai
Winston Smith. Barangkali itulah yang membuat Napas Mayat menyimpan “sesuatu”, hingga membuat para juri
memilihnya menjadi salah satu pemenang sayembara.
Tapi bagaimanapun kita tahu, dalam novel, gagasan
besar saja kita rasa belum cukup, gagasan masih perlu teknik
penceritaan yang baik dan menarik, detail yang membuat pembaca bisa menyerap
tiap kejadian dan suasana latar yang dikisahkan, tokoh-tokoh yang mempunyai karakter
kuat dan terngiang di pikiran pembaca, premis-premis yang tak mudah goyah dalam
penyusunan plot. Semua itu diperlukan agar novel tidak semata-mata terlihat
seperti truk pasir sarat muatan belaka, yang ngeden dan akhirnya terjebak di tanjakan. Tak sampai tujuan membawa
muatannya. Barangkali justru di
situlah kekurangan Napas Mayat.
Arif
F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.
2 komentar:
Semakin mantap! (y)
@kurnia Hidayati: tak semantap yang kamu kira, penyair Nia, ada saja lubang yang tetep kudu aku pelajari terus-menerus. Terima kasih kunjungannya ya :)
Posting Komentar