Jauh
sebelum ribuan bola api jatuh dari
lubang suara nenekku, lama ia jadi pengikut setia kaki jenjangmu yang kau
angkat sebelah. Ia tak bisa memaafkan kekeliruan siapa pun kecuali masa lalu pernah mendatangi dan menjadikanya
seorang tukang tanam. Apa kau tak
merasakan takdirnya yang bergetar tiap kali ia selesaikan sebuah kubangan?
Di
dekat lempengan besi yang bertahun-tahun
kemudian keluarga kami simpan, ia
terus saja menggumamkan; timun suri itu,
keluwak itu, kailan itu, tak akan bisa mengekalkan mata kakimu yang siang malam
bermimpi dikenakan seorang penari.
Kini
diantara bau apak yang pernah mengunci diri dalam sebuah kamar, ketika siulan seorang
bocah dan dua belas kali tepukan tangan
dari arah luar menumbuhkan lagi sepasang lengannya yang terbakar, aku
menyaksikan luka kecil milikmu kian menganga demi bisa menguruk dan menenggelamkannya.
(Gayam,
2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar