Buku dan Kisah-kisah Heroik (Koran Jakarta, Jumat, 3 Juli 2015)

 
Judul: People of  The Books
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani
Cetakan:  I,  2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 504 halaman
Judul Asli: People of  The Books
ISBN: 978-602-03-1447-1



Di sana, saat orang membakar buku,
ia sesungguhnya membakar manusia.
(Henrich Heine)


Lewat novelnya  People of The Books (Gramedia, 2015),  Geraldine Brooks, penulis yang mendapatkan Pulitzer pada tahun 2006  untuk novelnya March (dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kapten March oleh Penerbit Hikmah, 2005)  ingin menunjukkan pada kita betapa buku menyimpan rahasia-rahasia besar dari apa yang dikreasikan manusia. Lewat buku, peradaban manusia bisa kita ukur.  Sejauh apa dan bagaimana. Buku menjadi begitu agung lantaran tak jarang berisi ide-ide besar, itulah sebabnya kadang kita temukan di banyak belahan dunia, atas nama otoritasi, baik agama maupun kekuasaan rezim pemerintahan, buku-buku dibakar, dimusnahkan. Bagi mereka buku dianggap oposisi yang  lebih berbahaya ketimbang moncong  meriam dan rudal.


Membaca buku ini, kita disuguhi cerita unik. Kita akan merasa  sedang membaca dua  bagan cerita dalam satu bundel sekaligus. Dua Plot. Dua sekuen waktu. Bagan pertama berisi pertanyaan-pertanyan. Yang lain adalah kisah yang menjadi jawaban-jawaban. Seolah buku sedang menyusun dialognya sendiri.

Plot pertama adalah kisahan dari Hanna Heath, pakar konservasi buku-buku kuno yang pada tahun 1996 ditunjuk oleh PBB untuk menelisik dan merestorasi sebuah temuan naskah Haggadah Sarajevo—buku berisi cerita-cerita berilustrasi  tentang prosesi eksodus bani Israil (bangsa Yahudi) bersama nabi Musa  yang diusir  dari  Mesir seperti dikisahkan Kitab Taurat. Haggadah yang berusia 5 abad lebih tersebut selamat dari kecamuk perang Yugoslavia.

Disusun dengan skema cerita detektif dengan plot maju ke depan  pembaca akan bertahan untuk terus mengikuti karakter Hanna Heath dalam memecahkan rahasia-rahasia yang disimpan dalam Haggadah. Di antara sampiran-sampiran konflik antara Heath dengan Ibunya yang ambisius dan selalu meremehkan pekerjaannya, selubung jatidiri ayahnya yang ternyata seorang pelukis terkenal, juga sisipan percintaan ambigunya dengan Dr Ozren Kamaran—pustakawan sekaligus penyelamat haggadah ketika konflik berdarah antar etnis di Sarajevo meletus, pembaca akan diseret untuk larut bersama  Heath dalam membuat hipotesa-hipotesa menyangkut naskah kuno tersebut. Pembaca akan diajak bagaimana cara meneliti dan  menentukan jenis cairan apa yang menempel dan membekas di sebuah halaman haggadah, apakah noda tersebut berasal dari tetesan wine atau darah atau malah  garam. Menebak-nebak apakah  semburat warna kuning  yang digunakan untuk melukis pada sebuah ilustrasinya terbuat dari sumber warna pigmen kunyit atau pigmen safron. Seperti banyak terjadi dalam cerita detektif, renik-renik kecil  tersebut menjadi obyek vital untuk menentukan sebuah  simpulan.


Sementara di sisi lain plot, pembaca diajak menyimak perjalanan naskah haggadah.  Jawaban-jawaban dari  masa lalu  atas  teka-teki dan pertanyaan yang digulirkan oleh masa depan. Waktu bergerak mundur dengan runut. Dimulai dari tahun 1940 ketika seorang perempuan Sarajevo bernama Lola menyelamatkan naskah  dari penghancuran teks-teks Yahudi oleh rezim Nazi di masa-masa holocaust. Ia dibantu dan dilindungi oleh seorang pustakawan muslim untuk menyelamatkan diri ke pegunungan. Kemudian mundur satu abad pada tahun 1609 di Venesia, ada Pastor  Giovanni Domenico Vistorini yang memutuskan mengamankan naskah ini dari polisi inkuisisi. Juga pada akhirnya kita tahu, atas apa yang dipertanyakan Hanna Heath tentang gambar sosok perempuan berkulit hitam yang muncul di sampul haggadah ternyata seorang perempuan muslim yang  sengaja menggambarkan ilustrasi-ilustrasinya demi memudahkan pembelajaran bagi seorang anak keturunan Yahudi yang bisu—tuli di era vivencia, era di mana agama-agama samawi bisa hidup rukun di Andalusia. 

Lewat subsekuen-subsekuen inilah kita jadi tahu bahwa  serpihan sayap serangga atau seberkas noda yang menempel di halaman buku tidak sekadar obyek kecil yang remeh. Ia punya cerita besar sebelum menempel di kertas. Haggadah jadi rahim alasan bagi munculnya kisah-kisah heroik atas penyelamatannya dari upaya pemusnahan buku. Haggadah menjadi saksi bahwa masih ada orang-orang yang memutuskan untuk menolak mentah-mentah perang, pembantaian, penghancuran atas nama agama. Seperti yang dikatakan oleh Dr Ozren Kamaran kepada Hanna Heath suatu ketika.

“Kau tahu aku bukan orang yang taat beragama. Tapi Hanna, malam-malam aku sering berbaring terjaga di kamar ini, berpikir bahwa ada sebabnya Haggadah itu  sampai ke Sarajevo. Buku itu berada di sini untuk menguji kami, untuk memeriksa apakah ada orang yang mampu melihat bahwa  hal yang mempersatukan kami lebih besar daripada hal yang memecah-belah kami. Bahwa menjadi  manusia lebih penting daripada menjadi orang Yahudi, atau Muslim, Katolik atau Ortodoks.” (hlm. 487)


Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.




Tidak ada komentar: