Judul: People of The Books
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani
Cetakan: I, 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka
Utama
Jumlah halaman: 504 halaman
Judul Asli: People of The Books
ISBN: 978-602-03-1447-1
Di sana, saat orang
membakar buku,
ia sesungguhnya
membakar manusia.
(Henrich Heine)
Lewat novelnya People
of The Books (Gramedia, 2015),
Geraldine Brooks, penulis yang mendapatkan Pulitzer pada tahun 2006 untuk novelnya March (dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kapten March oleh Penerbit Hikmah, 2005)
ingin menunjukkan pada kita betapa buku
menyimpan rahasia-rahasia besar dari apa yang dikreasikan manusia. Lewat buku,
peradaban manusia bisa kita ukur. Sejauh
apa dan bagaimana. Buku menjadi begitu agung lantaran tak jarang berisi ide-ide
besar, itulah sebabnya kadang kita temukan di banyak belahan dunia, atas nama
otoritasi, baik agama maupun kekuasaan rezim pemerintahan, buku-buku dibakar,
dimusnahkan. Bagi mereka buku dianggap oposisi yang lebih berbahaya ketimbang moncong meriam dan rudal.
Membaca buku ini,
kita disuguhi cerita unik. Kita akan merasa sedang membaca dua bagan cerita dalam satu bundel sekaligus. Dua
Plot. Dua sekuen waktu. Bagan pertama
berisi pertanyaan-pertanyan. Yang lain adalah kisah yang menjadi
jawaban-jawaban. Seolah buku sedang menyusun dialognya sendiri.
Plot pertama adalah
kisahan dari Hanna Heath, pakar konservasi buku-buku kuno yang pada tahun 1996 ditunjuk
oleh PBB untuk menelisik dan merestorasi sebuah temuan naskah Haggadah Sarajevo—buku berisi
cerita-cerita berilustrasi tentang prosesi
eksodus bani Israil (bangsa Yahudi) bersama nabi Musa yang diusir
dari Mesir seperti dikisahkan
Kitab Taurat. Haggadah yang berusia 5
abad lebih tersebut selamat dari kecamuk perang Yugoslavia.
Disusun dengan skema
cerita detektif dengan plot maju ke depan pembaca akan bertahan untuk terus mengikuti karakter
Hanna Heath dalam memecahkan rahasia-rahasia yang disimpan dalam Haggadah. Di antara sampiran-sampiran konflik
antara Heath dengan Ibunya yang ambisius dan selalu meremehkan pekerjaannya,
selubung jatidiri ayahnya yang ternyata seorang pelukis terkenal, juga sisipan
percintaan ambigunya dengan Dr Ozren Kamaran—pustakawan sekaligus penyelamat haggadah ketika konflik berdarah antar
etnis di Sarajevo meletus, pembaca akan diseret untuk larut bersama Heath dalam membuat hipotesa-hipotesa
menyangkut naskah kuno tersebut. Pembaca akan diajak bagaimana cara meneliti
dan menentukan jenis cairan apa yang
menempel dan membekas di sebuah halaman haggadah,
apakah noda tersebut berasal dari tetesan wine atau darah atau malah garam. Menebak-nebak apakah semburat warna kuning yang digunakan untuk melukis pada sebuah
ilustrasinya terbuat dari sumber warna pigmen kunyit atau pigmen safron.
Seperti banyak terjadi dalam cerita detektif, renik-renik kecil tersebut menjadi obyek vital untuk menentukan
sebuah simpulan.
Sementara di sisi lain
plot, pembaca diajak menyimak perjalanan naskah haggadah. Jawaban-jawaban
dari masa lalu atas teka-teki dan pertanyaan yang digulirkan oleh
masa depan. Waktu bergerak mundur dengan runut. Dimulai dari tahun 1940 ketika
seorang perempuan Sarajevo bernama Lola menyelamatkan naskah dari penghancuran teks-teks Yahudi oleh rezim
Nazi di masa-masa holocaust. Ia
dibantu dan dilindungi oleh seorang pustakawan muslim untuk menyelamatkan diri
ke pegunungan. Kemudian mundur satu abad pada tahun 1609 di Venesia, ada
Pastor Giovanni Domenico Vistorini yang memutuskan
mengamankan naskah ini dari polisi inkuisisi. Juga pada akhirnya kita tahu,
atas apa yang dipertanyakan Hanna Heath tentang gambar sosok perempuan berkulit
hitam yang muncul di sampul haggadah
ternyata seorang perempuan muslim yang
sengaja menggambarkan ilustrasi-ilustrasinya demi memudahkan
pembelajaran bagi seorang anak keturunan Yahudi yang bisu—tuli di era vivencia, era di mana agama-agama samawi
bisa hidup rukun di Andalusia.
Lewat subsekuen-subsekuen
inilah kita jadi tahu bahwa serpihan
sayap serangga atau seberkas noda yang menempel di halaman buku tidak sekadar
obyek kecil yang remeh. Ia punya cerita besar sebelum menempel di kertas. Haggadah jadi rahim alasan bagi
munculnya kisah-kisah heroik atas penyelamatannya dari upaya pemusnahan buku. Haggadah menjadi saksi bahwa masih ada
orang-orang yang memutuskan untuk menolak mentah-mentah perang, pembantaian,
penghancuran atas nama agama. Seperti yang dikatakan oleh Dr Ozren Kamaran
kepada Hanna Heath suatu ketika.
“Kau tahu aku bukan
orang yang taat beragama. Tapi Hanna, malam-malam aku sering berbaring terjaga
di kamar ini, berpikir bahwa ada sebabnya Haggadah
itu sampai ke Sarajevo. Buku itu berada
di sini untuk menguji kami, untuk memeriksa apakah ada orang yang mampu melihat
bahwa hal yang mempersatukan kami lebih
besar daripada hal yang memecah-belah kami. Bahwa menjadi manusia lebih penting daripada menjadi orang
Yahudi, atau Muslim, Katolik atau Ortodoks.” (hlm. 487)
Arif F Kurniawan—Bergiat di
Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar