Ini
adalah pengalaman memasak saya bersama Ayah.
Ayah saya adalah seorang juru masak di sebuah restoran masakan Tiongkok,
Phien Tjian Hiang nama restorannya. Hari itu, Rabu 15 Juni 2004 kami berdua sengaja memasak untuk memberi
kejutan Ulang Tahun Ibu yang ke 39 tahun. Usia saya kala itu 19 tahun dan baru
saja menamatkan pendidikan saya di Sekolah Teknik Mesin (STM). Saya mampu
merinci tanggal dan hari kejadiannya karena saat itu saya terbiasa menulis kejadian-kejadian
penting dalam sebuah buku agenda. Dan menurut saya hari tersebut menjadi salah satu hari penting dalam hidup saya.
Meskipun kami bukan keluarga
keturunanan Tionghoa, namun lantaran
Ayah dan Ibu saya bekerja lebih dari 20 tahun untuk seorang keturunan Tionghoa, jadi ada
hal-hal yang memang pelan-pelan kami
adopsi menjadi kebiasaan keluarga kami.
Misal, menggoreng dan menghidangkan kue keranjang, membeli pia bulan di tahun baru Imlek, memasak lontong opor di perayaan Cap Go Meh. Atau membagi angpao. Termasuk kami
akan memasak bakmie goreng ketika ada
yang berulang tahun. Itu karena menurut tradisi keluarga tionghoa, mie yang bentuknya
panjang dan liat itu penanda agar yang
berulang tahun diberi panjang dan liat umur.
Ibu saya, sudah dua tahun lebih
terbaring tak berdaya di ranjang karena sakit. Kanker menggerogoti kesehatan beliau. Dua hari
sebelumnya Ibu merengek agar ia diijinkan makan daging sapi atau ayam, yang selama
ia jatuh sakit dan menjalani terapi, tak pernah bisa lagi mengkonsumsinya
karena dikuatirkan akan memicu penyebaran sel kanker. Meski tak langsung
mengabulkan permintaannya, namun melihat
wajah memelas Ibu dan cara beliau mengeluh bahwa selama dua tahun ini ia merasa menjadi binatang herbivora yang
cuma diperbolehkan makan bayam, makan
brokoli, daun pepaya dan kacang polong, akhirnya saya tak tega. Saya menyampaikan permintaaan itu kepada
Ayah, bahwa tak ada salahnya menuruti permintaan Ibu, apalagi beberapa hari
lagi Ibu berulang tahun. Dari situlah saya mendapatkan ide untuk memberikan
kejutan sebagai hadiah ulang tahun Ibu.
Kami akan berduet memasak.
Hari Rabu, pagi-pagi sekali
sehabis subuh saya dan ayah masuk dapur. Ternyata Ayah sudah belanja komplit apa-apa yang
kami butuhkan untuk memasak. Ia
menaruhnya di lemari es. “Tolong
keluarkan bahan-bahannya.” Ucap Ayah sembari mengaitkan tali celemeknya dan
melempar selembar ke arah saya. Setelah
ikut mengenakan celemek, saya
mengeluarkan isi lemari pendingin. Telur, kucai, cacahan kepiting, filetan
ayam, kubis, kailan, kapri dan tofu. Di dalam tas kresek sudah ada saus tiram,
bawang bombay, bawang putih, minyak wijen, maizena dan aneka saos. Saya
jejerkan saja semuanya di samping telenan kayu.
“Berantakan sekali kerjamu,
payah.” Kata Ayah saya sambil
geleng-geleng kepala. Beliau sudah memegang gagang pisau cacahnya. Saya cuma
meringis. Mengingat itu saya selalu
tersenyum kecut. Betapa romantisnya, karena, terus terang, sudah lama sekali
saya tidak mau masuk dapur. Ceritanya, dulu selepas SMP saya ingin sekali
menjauh dari apa pun yang berhubungan dengan masak-memasak. Meski Ayah dan Ibu saya
berkali-kali berkata jika saya memiliki bakat turunan untuk jadi ‘Dewa Dapur’,
sanjung mereka. Itu terbukti, ya, meski sebatas lomba Agustusan dan Persami
sekolahan, saya sudah dua kali menang dalam membuat tumpeng dan nasi goreng. Tapi
saya tak tahu kenapa, semakin disanjung saya semakin mati-matian ingin mengubur
yang katanya bakat turunan tersebut. Itu sebabnya saya memutuskan masuk di
sekolah Teknik. Pikiran saya kala itu bahwa pokoknya saya ingin lari jauh sekali dari pepatah: Buah tak akan jatuh
jauh-jauh dari pohonnya. Saya tahu orang tua saya adalah orang tua yang tak
pernah memaksakan kehendak. Saya berhak memilih jadi apa saja. Satu saja sampai
saat ini yang tidak pernah saya beri tahukan kepada mereka, saya masuk ke STM karena risih kalau-kalau dibilang banci. Saya sendiri
heran. Siapa kiranya yang akan mengejek seseorang laki-laki yang pandai memasak
dengan sebutan banci? Saya tahu bertahun-tahun kemudian bahwa penalaran saya waktu itu keliru. Saya tertawa jika ingat itu semua—namanya
juga remaja ingusan yang masih sok-sok’an.
Pagi itu lima
masakan kami siapkan bahan dan bumbunya. Fu Yung Hai, Sup Hi Pio, Ayam Goreng Mentega, Tofu ca
Kailan, dan Ie Fu Mie. Kami sudah siap dengan kompor masing-masing. Saya
memilih memasak yang paling mudah. Saya mengurusi Ie Fu Mie
dan Fu Yung Hai, sementara tiga sisa masakan, Ayahlah yang menyelesaikan. Meski pun sebenarnya
resep-resep masakan Tinongkok tidak ribet, tetap saja, lantaran sudah lama tak
pernah masuk dapur, berkali-kali saya bertanya;
“Merahnya saus segini?”
“Bikin acar dulu kan?
“Telurnya diberi kanji apa
maizena?”
“Tiramnya cukup kan, Yah?”
“Kamu ceriwis sekali ya.” Jawab
Ayah saya ketika pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mengalir. Sekali lagi
saya meringis. Akhirnya setelah satu jam bahu-membahu dalam bekerja, lima
masakan itu pun jadi. Kami tata serapi
mungkin di piring-piring oval, mangkuk besar, dan wadah-wadah saus.
Ibu terbangun setelah pipinya
saya cubit pelan. Beberapa saat dia mengucek-ngucek mata. Memandang kami
berdua.
“Ada apa?” Tanya Ibu.
“Ada yang berulang tahun.” Jawab
kami bersamaan. Tertawa. Lantas mengecupi keningnya bergantian. Ibu mendadak
diam lama. Melihat kami yang masih mengenakan celemek. Melirik bermacam
hidangan di meja dekat kepalanya rebah. Ibu malah menangis.
“Maafkan Ibu ya Nak, Maafkan Aku
ya Ayah, seharusnya aku yang memasak.” Ibu merangkul kami berdua yang berusaha
menenangkannya. Hari itu, meski kami sebenarnya diliputi rasa sedih karena
kondisi Ibu yang tak kunjung membaik, berusaha meyakinkan diri kami, bahwa hari
itu kami harus membahagiakan tiap orang.
“Bu, aku suapin bakminya ya?”
tawar saya.
“He em, biar panjang umur, kan.”
Jawab Ibu.
Percakapan hari itu selalu
terngiang di telinga saya. Bagaimana tidak, sebelumnya Ibu merengek minta
makanan berdaging. Begitu sudah kami masakkan, beliau cuma memakan dua suap
bakminya. Setelah itu tidak mau makan masakan yang lain. Ketika kami tanya
kenapa, Ibu saya menjawab sambil tersenyum.
“Melihat suami dan anak yang
begitu istimewa seperti kalian, aku seakan diberi semangat ganda, ingin cepat-cepat sembuh, ingin lekas-lekas
tidak lagi merepotkan kalian, jadi dagingnya buat kalian saja ya, aku balik
jadi herbivora saja.”
Ah, begitulah. Sekarang saya berusia
30 tahun. Sehebat apa pun saya berlari menjauh, tetap saja takdir mendekatkan diri saya ke dunia gastronomi.
Dua tahun lalu saya lulus dari sebuah Sekolah Tinggi Manajemen Perhotelan, dan
sekarang saya bekerja menjadi juru masak
sebuah kafe kecil di Semarang. Tiap kali bulan Juni datang, saya selalu
gemetar. Ya, selang beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang ke 39, Ibu saya
tak terselamatkan dari penyakitnya dan meninggal dunia. Takdir mengharuskan usianya
tak bisa sepanjang dan seliat bakmie
ulang tahun rupanya. Jika mengingat itu
semua, saya kadang mencoba menghibur diri saya sendiri dengan berkata;
sudahlah, toh kamu sudah beri saat-saat
yang indah dan terbaik buat Ibu kamu.
(Semarang,
Agustus 2015)
6 komentar:
menharukan...hehe
:')
yip, assalamualaikum..
@gembiraloka: ini masih ada sedikit tisu, buat mbungkus emping tapi ya :)
@majenis: wah kamu kemana wae bro, sekarang kayaknya agak-agak melempem semangatmu ya,
mbak @wiwik, wah ini alumnus multiply yaaa, aduuuuh lama sekaliiiiiiiii ndak bersapa
Posting Komentar