DI BALIK WAJAH KEKUASAAN (Koran Jakarta, Kamis 10 September 2015)



Judul: Hidup
Penulis: Yu Hua
Penerjemah: Agustinus Wibowo
Cetakan:  I, 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 224 halaman
Judul Asli:  To live
ISBN: 978-602-03-1328-5

Apa kira-kira yang akan dilakukan seseorang ketika, tiba-tiba dari posisinya yang  terhormat dijatuhkan dan ditempatkan pada kondisi paling buruk? Lewat novel Hidup (Gramedia, 2015) inilah, Yu Hua, penulis Tiongkok  yang mendapatkan penghargaan dari James Joyce Fundation pada tahun 2002 akan memberikan opsi  kepada kita, untuk mempertimbangkan lagi optimisme ketika seorang manusia berada di titik nadir.

Wajah Kekuasaan dan Kekerasan
Inilah kisah Fugui Xu (nama Fugui artinya beruntung/berharga), seorang lelaki  gaek penuh elan vital  yang mengisahkan relik hidupnya kepada seorang pemuda anonim. Fugui mendongengkan bagaimana dulu  dia pernah menjadi anak dari tuan tanah dengan kepemilikan lahan persawahan lebih dari 100 mu. Dialah putra yang digadang-gadang akan meneruskan kehormatan klan Xu. Tapi tamatlah itu semua lantaran kebrengsekan Fugui dalam berjudi. Traumatic episode dimulai dengan iring-iringan sejarah Tiongkok yang suram. Jika kita sedikit keluar dari novel dan  membaca perjalanan dari  berdirinya negara  Tiongkok sampai masa-masa terjadinya Revolusi Kebudayaan yang diprakarsai  oleh Mao Zedong, tentu segera kita akan berpikir, bahwa Yu Hua benar-benar berupaya menyentuh tekstur kehidupan rakyat, khususnya para petani di masa-masa tersebut merasuk sampai ke tulang belulangnya yang pucat.  Mata naif  Fuguilah, yang menjadi saksi dan menyampaikan kepada kita simbol-simbol dari kekuasaan. Mulai dari  pendudukan Jepang, perang kemerdekaan yang dipimpin  Chiang Kai-shek, perang antara tentara nasionalis dan tentara pembebasan, Land Reform, Lompatan Besar ke Depan, sampai pembentukan Komune Rakyat. Bukankah dimana saja, raut kekuasaan nyaris tak pernah berbeda? Yang akhirnya membelah kita menjadi dua bagian:  “yang mendominasi” dan “yang didonimasi”. Subyek yang mendominasi, lewat lengan besinya akan berupaya menciptakan sistem  berupa aturan, birokrasi, pemaksaaan gagasan, bahkan jika perlu dengan kekerasan mengamankan  posisi dominannya demi menggencet  yang didominasi untuk tunduk. Maka sebagai manifestasi subyek yang didominasi, Fugui mesti rela dan cuma bisa meratap ketika tanah sebanyak 5 mu miliknya disita dusun, sementara  hewan ternak dan hasil panen disetorkan ke partai, juga panci, wajan, sabit, cangkul serta perkakas dari logam   mesti diserahkan demi menyukseskan gagasan Great Leap Forward pemerintahan Mao. Hatinya perih seperti hati isterinya—Jiazhen, mendengar jawaban ketua regu, setelah wajan satu-satunya milik mereka dirusak.

“Dusun sudah bikin kantin. Wajan sudah dihancurkan, siapa pun tak perlu lagi masak di rumah. Kalian semua hemat tenaga, supaya kita bisa bersama berlari menuju komunisme. Kalau kalian lapar, cukup angkat kaki dan berangkat ke kantin sana.  Mau ikan, mau daging, semua boleh makan sekenyang-kenyangnya sampai mati.” (hlm 96)


Tak ada yang bisa dilakukan Fugui, kecuali terus bergerak agar tetap hidup, bahkan ketika seluruh anggota keluarganya satu per satu tewas. Ayah dan ibunya mati karena kemelaratan. Anak lelakinya mati akibat kelalaian dokter ketika melakukan donor darah, istrinya lumpuh, anak gadisnya bisu tuli, akibat terlalu keras bekerja serta kekurangan gizi. Fugui juga mesti menyaksikan kematian menantu serta cucunya. Ia sendirian. Satu-satunya jimat untuk  mempertahankan diri dari keputus-asaan yang dimiliki Fugui adalah  memegang teguh pepatah para leluhurnya: kalau kamu tidak mati sesudah melewati bencana besar, berikutnya pasti  ada keberuntungan  yang menyusul.

Dengan bahasa yang lugas, padat, tak bertele-tele, Yu Hua, lewat Fugui ingin menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat khususnya nasib petani, borok-borok yang diciptakan oleh struktur kekuasaan yang  seringkali terbungkus oleh permukaan halus sejarah. Tak heran, meski akhirnya menjadi novel best seller, novel ini maupun adaptasi filmya yang diproduseri  oleh Zhang Yimou serta dibintangi oleh aktris Gong Li sempat dilarang beredar di Tiongkok. Nasibnya sama kalau kita tilik, dengan reportase berbentuk buku  Will The Boat Sink The Water?: The Life of China’s Peasant (Ufuk Publishing, 2007) yang disusun oleh pasangan suami istri—Chen Guidi dan Wu Chuntao, yang dianggap subversif dan memfitnah pemerintahan. Sama-sama dilarang karena menunjukkan fakta yang  sengaja diuruk rezim pemerintahan agar tak terlihat di permukaan. Tapi kami tak menyesal,  kami sudah menyuarakan mereka yang tak bersuara—tegas mereka berdua, Chen dan Wu.
***

Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.

Tidak ada komentar: