Judul: Hidup
Penulis: Yu
Hua
Penerjemah:
Agustinus Wibowo
Cetakan: I, 2015
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Jumlah
halaman: 224 halaman
Judul
Asli: To live
ISBN:
978-602-03-1328-5
Apa kira-kira
yang akan dilakukan seseorang ketika, tiba-tiba dari posisinya yang terhormat dijatuhkan dan ditempatkan pada
kondisi paling buruk? Lewat novel Hidup
(Gramedia, 2015) inilah, Yu Hua, penulis Tiongkok yang mendapatkan penghargaan dari James Joyce
Fundation pada tahun 2002 akan memberikan opsi kepada kita, untuk mempertimbangkan lagi
optimisme ketika seorang manusia berada di titik nadir.
Wajah Kekuasaan dan Kekerasan
Inilah kisah Fugui
Xu (nama Fugui artinya beruntung/berharga), seorang lelaki gaek penuh elan vital yang mengisahkan relik hidupnya kepada seorang
pemuda anonim. Fugui mendongengkan bagaimana dulu dia pernah menjadi anak dari tuan tanah
dengan kepemilikan lahan persawahan lebih dari 100 mu. Dialah putra yang digadang-gadang akan meneruskan kehormatan klan
Xu. Tapi tamatlah itu semua lantaran kebrengsekan Fugui dalam berjudi. Traumatic episode dimulai dengan
iring-iringan sejarah Tiongkok yang suram. Jika kita sedikit keluar dari novel
dan membaca perjalanan dari berdirinya negara Tiongkok sampai masa-masa terjadinya Revolusi
Kebudayaan yang diprakarsai oleh Mao
Zedong, tentu segera kita akan berpikir, bahwa Yu Hua benar-benar berupaya
menyentuh tekstur kehidupan rakyat, khususnya para petani di masa-masa tersebut
merasuk
sampai ke tulang belulangnya yang pucat.
Mata naif Fuguilah, yang menjadi
saksi dan menyampaikan kepada kita simbol-simbol dari kekuasaan. Mulai
dari pendudukan Jepang, perang
kemerdekaan yang dipimpin Chiang Kai-shek,
perang
antara tentara nasionalis dan tentara pembebasan, Land Reform, Lompatan Besar ke Depan, sampai pembentukan Komune Rakyat.
Bukankah dimana saja, raut kekuasaan nyaris tak pernah berbeda? Yang akhirnya membelah
kita menjadi dua bagian: “yang
mendominasi” dan “yang didonimasi”. Subyek yang mendominasi, lewat lengan
besinya
akan berupaya menciptakan sistem berupa
aturan, birokrasi, pemaksaaan gagasan, bahkan jika perlu dengan kekerasan
mengamankan posisi dominannya demi menggencet
yang didominasi untuk tunduk. Maka sebagai
manifestasi subyek yang didominasi, Fugui mesti rela dan cuma bisa meratap
ketika tanah sebanyak 5 mu miliknya
disita dusun, sementara hewan
ternak dan hasil panen disetorkan ke partai, juga panci,
wajan, sabit, cangkul serta perkakas dari logam mesti
diserahkan demi menyukseskan gagasan Great
Leap Forward pemerintahan Mao. Hatinya perih seperti hati isterinya—Jiazhen,
mendengar jawaban ketua regu, setelah wajan satu-satunya milik mereka dirusak.
“Dusun sudah bikin kantin. Wajan sudah
dihancurkan, siapa pun tak perlu lagi masak
di rumah. Kalian semua hemat tenaga, supaya kita bisa bersama berlari menuju
komunisme. Kalau kalian lapar, cukup angkat kaki dan berangkat ke kantin
sana. Mau ikan, mau daging, semua boleh
makan sekenyang-kenyangnya sampai mati.” (hlm 96)
Tak ada yang
bisa dilakukan Fugui, kecuali terus bergerak agar tetap hidup, bahkan ketika seluruh
anggota keluarganya satu per satu tewas. Ayah dan
ibunya mati karena kemelaratan. Anak lelakinya mati akibat kelalaian dokter
ketika melakukan donor darah, istrinya lumpuh, anak gadisnya bisu tuli, akibat
terlalu keras bekerja serta kekurangan gizi. Fugui juga mesti menyaksikan
kematian menantu serta cucunya. Ia sendirian. Satu-satunya
jimat untuk mempertahankan diri dari
keputus-asaan yang dimiliki Fugui adalah memegang teguh pepatah para leluhurnya: kalau
kamu tidak mati sesudah melewati bencana besar, berikutnya pasti ada keberuntungan yang menyusul.
Dengan bahasa
yang lugas, padat, tak bertele-tele, Yu Hua, lewat Fugui ingin menunjukkan apa
yang sebenarnya terjadi pada rakyat khususnya nasib petani, borok-borok yang diciptakan
oleh struktur kekuasaan yang seringkali
terbungkus oleh permukaan halus sejarah. Tak heran, meski akhirnya menjadi
novel best seller, novel ini maupun
adaptasi filmya yang diproduseri oleh Zhang
Yimou serta dibintangi oleh aktris Gong Li sempat dilarang beredar di Tiongkok.
Nasibnya sama kalau kita tilik, dengan reportase berbentuk buku Will
The Boat Sink The Water?: The Life of China’s Peasant (Ufuk Publishing,
2007) yang disusun oleh pasangan suami istri—Chen Guidi dan Wu Chuntao, yang
dianggap subversif dan memfitnah pemerintahan. Sama-sama dilarang karena menunjukkan
fakta yang sengaja diuruk rezim
pemerintahan agar tak terlihat di permukaan. Tapi kami tak menyesal, kami
sudah menyuarakan mereka yang tak bersuara—tegas mereka berdua,
Chen dan Wu.
***
Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata
dan Kelab Buku Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar