Hujan untuk Seekor Anjing



Jika lubang tanah yang kaugali di belakang rumah
dan rontok separuh bulan Desember  seperti rambutmu
Masih juga tak bisa mendamaikan katup mataku,
aku hendak menyerahkan diri saja.

Tapi bukan ke cermin. Di cermin justru kau
yang akan takluk menyaksikan
kuping panjangku basah dan tertekuk.

Di jalanan becekmu  kerap kuinginkan diriku
lebih menggigil dari siapapun
yang  kautitipi sepasang kaus tangan.

Tapi tak juga ada yang  lekas menggetarkanku
Sebagaimana lonceng gereja, sebagaimana tenggorokan
Mengirimkan iblis ketika kau tertawa.
Bahkan jari-jari tukang sapu, lengan penjual gulali
dan  perempuan pincang yang menjatuhkan
berkali-kali remuk cahaya matanya.

Seolah neraka bisa kita baca dari sana.

Aku tak tertipu karena seperti yang pernah
Kepadaku  kaubentakkan,

Jalanan lurus
Kesiut angin
Serta orang-orang yang memilih
berjalan di sebelah kanan
akan menjadi perumpamaan buruk.

Tapi apa seorang penyair akan mencabut
Taring bacinku?

ke jendela yang bertahun-tahun kau ababi
sambil mengetam mata kau menuliskan
lagi satu-satu  nama saudaramu yang mati.

(Semarang 2015)

Tidak ada komentar: