Negara
dalam Cerita
Oleh: Arif Fitra
Kurniawan
Kenapa
bahkan kita mau percaya kepada dongeng? Kita percaya kepada dongeng, bukan saja
karena dalam dongeng, naga-naga di sana hidup. Namun para pendongeng, mampu
membuat kita percaya bahwa naga-naga tersebut bisa kita makan. (Neil Gaiman)
Sepekan sebelum
akhirnya saya menemukan kata aproprisasi,
tepatnya dua jam setelah kedatangan
Ahsanul Mahdzi, pemuda berkacamata yang salah satu gagangnya patah, penakluk
segala jimat dan dunia klenik, penyeranta bacaan-bacaan kiri maupun kanan,
sekaligus tempat saya sering mengaduk-aduk ketidakbecusan sebagai pembaca yang
lamban, sekonyong-konyong muncul begitu saja di warung bakmi tempat saya bekerja.
Sambil masih berdiri dan dengan memasang
tampang taksa rekan saya yang visioner itu berhasil meneror saya dengan pertanyaan: apa kiranya
yang bisa kita jumput dari kumpulan cerita pendek Penjagal Itu Telah Mati?
Semestinyalah,
pertanyaan tersebut layak jika dijadikan
sebuah narative hook dalam tulisan
ini. Benar-benar akan menghantam
kesadaran kita sekalian sebagai pembaca.
Apropriasi, kata
itu sendiri saya gerus dan saya mamah dari jari-jari Paul Ricoeur, yang
sebenarnya juga sudah mengalami pengalihbahasaan dari terminologi kata bahasa Jerman, yakni Aneignung—menjadikan milik sendiri apa
yang sebelumnya asing. Begitu kiranya bahasa Indonesia berupaya memulurkannya,
menepuk-nepuk, menguleni pengertiannya hingga terlihat kalis dan berkilauan. Ada
beberapa hal yang dibicarakan Ricouer berkenaan dengan apropriasi, mengacu pada
bentuk pembacaan teks yang tumpah dari
sebuah pidato, atau retorika, atau ujaran lisan. Empat hal yang saya anggap bermanfaat bagi saya
pribadi, khususnya, sebab selain membantu saya lebih semeleh menjadi pembaca yang
daif, juga kian mengokohkan posisi saya ketika berupaya menuliskan
interpretasi atas cerpen-cerpen di buku anggitan Gunawan Budi Susanto—Kang
Putu. Saya tak ubahnya budak belian yang dimerdekakan dengan empat hal ini:
(1) Bahwa akan selalu ada
kesenjangan antara maksud pengarang dan apa yang dikatakan teks. (2) Teks
menjadi wilayah terbuka yang mempunyai potensi menghadapi polisemi atas tafsir
dari beragam pembaca dengan konteks yang berbeda-beda. (3) Posisi pengarang dan
pembaca menjadi sejajar untuk memberikan
makna dan rujukan akan teks. (4) Tugas
pengarang purna sudah ketika ia menyelesaikan teks-nya.
Selesai
melakukan pembacaan pertama cerita-cerita Penjagal
itu Telah Mati, sambil mengetuk-ngetuk kepala sendiri dengan ujung topi
saya menimbang-menimbang, kenapa sebuah tulisan kita sebut puisi, kenapa kita
sebut cerita pendek, kenapa kita sebut feature,
kenapa kita sebut fiksi mini, kenapa ada
yang kita sebut memoar, novelet, dongeng, otobiografi, roman sejarah dan
bermacam lagi pelabelan. Penamaan-penamaan yang mau tidak mau menjadi endapan
patron dan mengotori kesadaran. Ketika segelas kopi ternyata sudah tandas
padahal tulisan baru terketik satu paragraf, di antara pemampatan tabiat urakan
dan kampungan saya yang muncul
demi mengeluarkan suara falseto nan kemresek: kenapa cerita-cerita di buku itu tidak dinamai memoar saja, saya
sejenak mencondongkan badan dan menjangkaukan tangan kiri saya untuk
memencet tonjolan tombol putaran kipas angin dari nomer satu ke nomer
dua kemudian melempar pertanyaan ke diri sendiri; lantas apa itu cerita pendek, dan bagaimana
semestinya sebuah cerita pendek bekerja?
Baiklah kita
berkelit sementara saja dulu dari pertanyaan yang membuat kita jadi onggokan
batu gunung yang dibawa turun dan
naik bukit sambil terengah-engah oleh
Sisipus, dan meyakini bahwa segala
urusan bisa kita selesaikan secara swadaya, sebagaimana kutil atau mata ikan yang menjengkelkan itu
bisa kita atasi dengan cara mengikisnya dengan silet tanpa perlu terburu-buru
menyerahkannya kepada dokter spesialis
kulit dan kelamin.
Tidak semuanya,
ya, tidak semua cerita dalam Penjagal Itu
Telah Mati menjadi bacaan menjemukan.
Dari 14 cerita yang hadir, kita bisa menengok, bahwa cerita
Di Kubur Manakah Kau Temukan
Tubuhku; Percakapan Kakek dengan Cucu
Terkasih, juga cerita Sudahi Saja Kisah Lapuk Itu misalnya,
adalah beberapa cerita yang mampu membagikan
sentuhan imajinasinya kepada pembaca. Kenapa kita memerlukan sentuhan
imajinasi? Sebab kita sedang menghadapi gugusan fiksi. Dan fiksi yang baik bagi saya, adalah fiksi yang menyediakan
komposisi yang tepat, hingga ketika hadir sebagai bacaan, ia tidak semata-mata
sekadar duplikasi kepolos-telanjangan realitas. Teks fiksi memiliki kekuatannya
ketika mampu mengunggah struktur bahasanya yang performatif. Upaya yang cuma akan
berhasil ketika seorang penulis sungguh-sungguh “nggetih” dan bekerja keras
dalam pertaruhannya merakit plot, penguatan gestur dan aksi-aksi karakter, konflik-konflik
internal cerita yang memadai, strategi pengambilan sudut penceritaan, dan
segala pernak-pernik teknikal yang bersinggungan dengan kecakapan bercerita.
Sepaket kelengkapan itu semua akan menjadikan sebuah teks fiksi memiliki dunia
rekaannya sendiri, sebuah realitas fiksi—J Hillis Miller, seorang Guru Besar
Kajian Bahasa Inggris dan Sastra Bandingan di University of California yang
begitu mengagumi kisah Alice In Woderland
karya Lewiss Carrol itu lebih suka menggunakan sebutan teater interior—,
akan berdiri kokoh dan membuat
pembacanya mendapatkan impresi hiperbolis berupa kondisi ‘tercerahkan’, ‘ektase’,
atau ‘epifani’.
Silakan
seseorang menggoyang, menampik, atau melemparkan ke jamban prasyarat yang dibuat orang-orang di masa
lampau, bahwa sastra, seandainya mata koin sudah semestinya memiliki gambaran dulce
et utile, melekatkan sepaket sifatnya
“keindahan yang menghibur serta bermanfaat bagi khalayak”, namun bagi
saya, dua unsur itu tetaplah saya butuhkan ketika menikmati fiksi. Menjadi impresi tersendiri ketika membaca tokoh Aku dalam cerita Di Kubur Manakah Kau Temukan Tubuhku, seseorang,
yang sudah menjadi arwah memunculkan dirinya sendiri untuk berkisah, untuk
mengeluh dan untuk menghidupkan sendiri
kematiannya. Meski bukan hal yang perlu dianggap sebagai penemuan baru,
lantaran Orhan Pamuk dalam My Name is Red
atau Jorge Amado untuk novelnya Dona Flor
dan Kedua Suaminya juga menggunakan sudut pandang arwah seperti ini, di
tradisi sastra Indonesia kontemporer
sendiri, kita bisa menemukannya juga dalam beberapa karya dari A.S Laksana,
Triyanto Triwikromo atau Eka Kurniawan.
Orhan Pamuk menghidupkan si Hitam, A.S. Laksana menghidupkan tokoh Gloria, Eka
Kurniawan menghidupkan riwayat kematian Dewi Ayu, Sementara Triyanto menghidupkan
arwah aku-anonim lewat cerita Dalam
Hujan Hijau Friedenau. Pengambilan sampel-sampel tersebut bukanlah untuk membuat
persinggungan komparasi. Yang saya ingin ambil adalah, proses penciptaan sudut
pandang penceritaan semacam itulah yang membuat teks fiksi menjadi unik, fiksi bisa dibedakan dari
ujaran orasi kebudayaan atau dari artikel 10 cara bagi lajang mendekati pasangan. Tengoklah juga, lewat Percakapan Kakek dengan Cucu Terkasih,
betapa kita bisa dibuat tak berkedip dengan struktur penceritaan yang nyaris bagan
besarnya dibangun dengan dialog tokoh-tokohnya. Tak ada penggambaran karakter,
tak ada lansekap dekorasi suasana latar percakapan, namun kita bisa menyaring
kebernasan pesan yang ditanggung oleh dua tokoh tersebut. Sepasang tokoh imajiner
yang dimunculkan dari retakan benak
milik tokoh si kakek, untuk kemudian memperpanjang daftar referensi
intertekstual; Tentara yang berpolitik, Gerwani, gerakan underbow,
penculikan dan pembunuhan para jendral. Proses pengubahan referensi menjadi
bentangan realitas fiksi inilah yang muncul sebagai daya dobrak kreasi seorang
penulis. Ada upaya penciptaan, berupa kemasan estetis alih-alih duplikasi
telanjang kode-kode referensial. Ya, dulce,
estetika, akan selalu menunjuk pada bentuk, sementara utile, keberfaedahan akan terus-menerus menggenggam isi gagasan.
Sementara, di bagian lain cerita-cerita
dalam
buku ini yang saya dapati adalah komponen keberfaedahannya. Minim sekali
sentuhan estetis. Cerita-cerita lena dan seperti dibentengi gagasan berupa grand narative yang dipikul
terengah-engah oleh para tokoh penyampai pesan.
Di beberapa
cerita, akan kita temukan penggunaan suara tokoh maupun suara narasi dari
pencerita dengan nada dan aksen yang sama, simaklah suara narator Saya pada
cerita Mei Hwa akan sama dengan suara
narator Aku dalam cerita Calon Metuaku
Ingin Jadi Burung, Tamu dari Masa Lalu, juga dalam Tak Kau Dengarkah Suara Moetiah. Tidak
ada kode pembeda berupa aksen, atau karakter suara ketika memvisualisasikan
aktivitas mereka ketika mereka ‘terlongong’.
Atau bisa juga kita simak ketika narator menampilkan deskripsi tokoh yang ‘sedang memandang entah apa di
kejauhan’. Begini, Coba raba-raba dua aksen pendiskripsian aksi dua tokoh
berikut,
(-) Rada jengkel aku duduk di kursi
teras, melolos sebatang rokok, menyulut dan menyalakan.
(-) Ketika melingkarkan tangan ke
bahu dia, saya rada menarik tubuhnya sehingga jatuh ke pelukan saya.
Kita bisa
mececap, betapa dua pola deskripsi di atas tak pernah kita bayangkan akan digunakan untuk
menampilkan dua tokoh yang berbeda, dengan gender berbeda, dan
berada dalam cerita yang berbeda
pula. Diskripsi-diskripsi yang cenderung nir-gender, atau kadang androgini.
Ditambah dengan bertebarannya diksi-diksi menjublak,
bersiponggang, rada, manda, dan menyerikan
, struktur bahasa semacam ini menjadikan
tokoh-tokohnya menjadi virtual. Tokoh
jadi berfungsi sekadar menjadi pengganti nama, tanpa melalui proses penggantian
suara.
Lepas dari tapisan estetis bahasa, saya merasa bahwa tokoh-tokoh seperti Mei Hwa, Lel, Mbah
Sungkowo, Mbah Reso, Tavif Rubianto,
tokoh-tokoh aku anonim, Om Subandrio, Lestari dan tokoh-tokoh yang kerap
berinteraksi dengan tokoh Gunawan Budi
Susanto kemanapun bepergian senantiasa membawa selang panjang, dan sama-sama
mengucurkannya kepada kolam sama; keliyanan
sebagai tragedi kemanusiaan, yang jika merunut lagi ujaran Jean Paul Sartre,
kondisi ‘liyan’ dari keberadaan manusia tercipta dari objektivikasi cara pandang orang lain. Konon, Sartre di
rentang usianya yang balita, merasa menjadi manusia kanak yang
disanjung-sanjung dan dilimpahi kebahagiaan oleh anggota keluarga. Orang-orang
di rumah Sartre menggelembungkan keangkuhannya dengan memberikan sebutan putra
tampanku, anakku yang pintar, cahaya keluarga kami, sampai pada suatu hari sang kakek mengajak Sartre ke tukang cukur untuk kali pertama, dan
betapa ia, Sartre, merasa ditimpa bencana besar, ketika menyaksikan si tukang cukur maratapi kondisinya lewat
cermin. Sejak itu Sarte ‘dipaksa’ mengakui
penilaian dari tatapan tukang cukur
bahwa ia berparas buruk seperti kodok, dengan mulut perot dan mata juling. Neraka,
kata Sartre. Celakalah aku!
Kondisi
objektivikasi macam itulah yang juga
menciptakan ‘neraka’ bagi tokoh-tokoh kita dalam buku ini. Dalam buku ini, tokoh-tokoh
kita yang teraleniasi diikat untuk
mengafirmasikan habitus sosiokultural mereka, bersitegang perihal utopia bernama rekonsiliasi, setelah sekian
tahun berhadap-hadapan dengan kenyataan yang
getir dan getas. Rezim, junta, bahkan habitus mereka sendiri adalah lawan yang menjadi
nostalgia buruk. Mereka terlanjur dicap, disegel, untuk menanggung kutukan dari
eksistensi.
Bahkan badai represi
yang menghadang demi memperoleh kondisi le
liberté semakin hebat, lantaran piranti objektivikasi tersebut
dilegitimasi oleh struktur budaya yang lebih besar yakni institusi bernama
negara. Syahdan, hikayatnya, sebuah negara, di ceruk manapun letak geografinya, senantiasa menggunakan
berbagai cara untuk merawat kelanggengan kekuasan. Negara melegitimasi perangai
buruknya bahkan ketika melakukan
tindakan destruktif berupa teror, ancaman pembunuhan, hukuman bagi yang
dicurigai subversif, jika memarut
kalimat Machiavelli, sungguh tak ada yang tabu untuk dilakukan demi
keajegan jalannya dominasi kekuasaan.
Yang ada semata-mata segala sesuatu yang
mengokohkan kedudukan ‘sang raja’. Itu
sebabnya, kekuasaan tak akan segan-segan menurunkan kaki sebelah kanannya berupa
kekerasan, sepatu despotiknya untuk menginjak-nginjak siapun yang dianggap
sebagai common enemy. Kekuasaan
menjadi hamba bagi negara. Negara lebih maha dari Tuhan, dari uang, dari
jabatan, dari posisi sosial.
Dan Mbah
Reso, tokoh kita dalam cerita Penjagal Itu Telah Mati, sosok sepuh yang tidak peduli akan apa itu
istilah epifani dan foreshadowing, yang sungguh akan kalah
telak jika kita datang dan belepotan membeberkan kepadanya perihal makna falsafati tentang segala macam bentuk
penderitaan hidup—sebab itu sama halnya mencemplungkan sejumput garam ke dalam
segara, tahu betul bagaimana menempatkan Tuhan dan negara dalam otot-otot
lidahnya yang marun;
“Jalan hidup
acap tak terduga, Gus. Bukan kita yang menguasai hidup kita. Bukan! Ada kuasa
lain di luar diri kita, yang bahkan berwenang mengatur jalan hidup kita,” tutur
Mbah Reso.
“Siapa, Mbah?”
“Bukan siapa
Gus. Apa!”
“Apa, Mbah?
Tuhan?”
“Kayane gak ana urusan karo Gusti Allah,
Gus, meski nama Tuhan acap dibawa-bawa. Negara. Gus, negara kadang ngalah-ngalahke Gusti Allah.”
Ya, negara. Si asu gedhe menang kerahe.
Gayamsari, Oktober 2015
*Ditulis untuk
kepentingan Kelab Buku Semarang edisi membaca buku kumpulan cerita pendek Penjagal Itu Telah Mati karya Gunawan
Budi Susanto