TANGAN TAKDIR, TUKANG CERITA, DAN HAL-HAL LAIN SEKITAR CERPEN




:oleh  Arif  Fitra  Kurniawan*

Saya  diam  cukup  lama  sehabis  membaca  cerpen  Kunang-kunang  yang  Berterbangan  milik  Adefira  Lestari  ini, menimbang-nimbang  apa  yang  bisa  saya  tulis  setelah berhadapan dengan  teks  tersebut. Tapi  entah  kenapa, saya  jadi  tidak  bisa  berbuat  banyak untuk  melawan kilatan  Umar  Kayam. Realisme  magis. Teks  yang  evokatif. Puisi  M  Fauzi. Murakami. krisis  Oedipal. Clara  Ng. Sastra  Wangi—Katrin  Bandel. Feminisme. Novel  Sylvia  Plath. Realisme Psikologis. Cerpen  Sulung  Pamanggih. Pikiran  saya diacak-acak oleh itu  semua. Aktivitas membaca  bagi  pikiran  saya  adalah menyiapkan  diri  untuk  rela  menjadi sejarah kecemasan  yang  nomaden. Serentetan  kata  itu kadang  demikan  mengganggu  tapi  kadang  bisa membantu menarik  silang  dari  yang saya  baca.  Termasuk  Cerpen  Kunang-Kunang yang  Berterbangan.
***

Beberapa  hari   yang  lalu, sebelum menuliskan ini, saya  sempat memperbincangkan cerpen Adefira bersama  rekan   diskusi  saya. Saya  catatkan  lewat  ingatan beberapa dialog  kami  tersebut,  setelah  membaca  bergantian  cerpen  yang sengaja  kami  cetak di  kertas kuarto.

“Menurutmu  bagaimana,  cerpen  ini?”,  tanya  dia.
“Lumayan”.


“Lumayan  bagaimana, bukannya  ada  kalimat  yang  lebih  adil  dari  kata  Lumayan?”
“Iya, lumayan  di sini  adalah  sebuah  sama dengan  yang  aku  tarik  dari  beberapa  hal. Ini  ditambah  ini  ditambah  ini  ditambah  ini,  sama  dengan  Lumayan”.  Saya  terkekeh.

“Konten  apa  saja  yang  menjadikannya  lumayan?”
“ah, kamu  tanya  terus.  menurutmu  bagaimana,  selain  kata ‘menarik  dan kurang  menarik  pastinya’ ?”

“ Menurutku, Cerpen  ini  sudah  memenuhi  apa  yang dimaktubkan  dalam  pelajaran  membikin  Cerita  rekaan. Alur- Latar-Penokohan-Konflik-Klimaks-Penutup. Aku  juga  menyukai  bagaimana  penulis  membuka  Cerita”  ulas  dia.

“ Pembuka  cerita  yang  mirip  Kutipan  menjemukan itu  yang  kamu  maksud?”

  Menjemukan  itu  persoalan sudut  memandang dan  selera. Hematnya, penulis paling  tidak  memiliki kepekaan  yang  bukan  sekedar  level  pemula. Meski  aku  juga  kurang  sreg  di  beberapa  bagian  cerpen  ini. aku  ambil  contoh, di  bagian  Hamid  yang  ujug-ujug menemui  Nora,  menceraikan istrinya, menyarankan Nora cerai  dengan  suami. aku  sebagai  pembaca  butuh penopang  kondisi  yang  kognitif dong  tentunya.  Itu  membuat bagian  cerpen  jadi   terkesan gugup”  dia  mengambil  napas  panjang.

“Mmm. Justru  itu  yang aku  pikirkan. Pembuka  cerpen  itu  membuat analisa-analisa  struktural  menjadi  mentah  lagi. Entah  penulisnya  menyadari  atau  tidak,  Kata  “Takdir” menyelamatkan kecerobohan-kecerobohan  yang  terjadi  dalam cerpen  ini.
Lah  sudah  takdir  kok,  piye  neh.....”

***

10  oktober  2013, dari  sebuah portal  di  internet  saya membaca  kabar, Nobel  Sastra  tahun  ini  ditimpakan  kepada  seorang  penulis  cerpen—perempuan. Alice  Munro, perempuan Kanada  82  tahun  yang  mulai  menulis  cerpen  sejak usia  11  tahun. Sejak diselenggarakan   Tahun  1901, untuk  kali  pertama  penghargaan sastra  ini  dihadiahkan  kepada  karya  berupa cerpen. Alice  Munro  menyisihkan Svetlana Alexievich juga  Haruki  Murakami  yang  sejak  beberapa  tahun  lalu  sudah  digadang-gadang sangat  berpotensi  menerima  Nobel  dengan karya-karya  prosa  panjangnya  yang “meracuni” pembaca  di seluruh muka  bumi. Saya  jadi merinding, dan  begitu  penasaran  dengan  cerpen-cerpen  Munro, yang  kata  mereka dalam  penjurian, Munro  disebut-sebut  sebagai --master  of the  contemporary short  story—

Paragraf  yang  terkesan  ensiklopedis  diatas  tidak  semata-mata saya  tempelkan  asal. Saya  menuliskannya  karena  saya merasa  perlu  memberitahu  diri  saya  sendiri, karya-karya  Munro  yang  membuat  saya  penasaran itu  pastinya  tidak  hadir  begitu  saja,  meski  barangkali  sudah  ditakdirkan, tentunya mereka  lahir  dan bergerak  membawa campur  aduk  pergulatan  dalam  rentangan  waktu  yang kadang membuat iman  menulis seseorang tenggelam-muncul-tenggelam. dalam  sebuah  wawancara  singkat Munro  menyela
: saya  bisa  sukses,  barangkali,  selain  menulis,  saya  tidak  mempunyai  bakat  lain....






***

Sebenarnya  ulasan  pembacaan  ini  berpotensi  menjadi  sebuah  cerpen, jika  saja  saya  mau. saya   bisa  membubuhkan  deskripsi  alakadar  dari  dialog dengan  rekan  saya.  memberinya  penanda  waktu,  menariknya ke  kejadian  lain  sebagai bentuk  alusi, menjembatani  dengan  narasi-narasi  yang  akan  membentuk  kumparan-kumparan yang saling koheren  satu  sama  lain. Atau  dengan  iseng  menggunakan rumusan  Takdir  yang  ditulis  Adefira  untuk  membuat  kompleksitas laju  tulisan  ini.  semisal  saya  pantik  pikiran  tulisan  ini  dengan: 
-Apakah  tulisan  ini  ditakdirkan  menjadi  cerpen? 
-Apakah  cuma akan  jadi esai   iseng?
-Sekuat  apa  takdir   yang  akan  menjerumuskan  tulisan  ini menjadi  cerpen?

kemudian, jika  kemungkinannya  iya, saya  akan  membuatkan  penopang-penopang  dari kerangka  pertanyaan  tersebut.  menghadirkan beberapa  tokoh  dengan  segala  runcingan kepribadiannya,  memberi  judul  yang semenarik  sekaligus  menjadi anak  kunci. dan  seterusnya, dan  seterusnya...

kemudian  cerpen  itu  akan  saya  tutup  dengan  kalimat:  apakah  takdir  tidak  pernah  memberi kesempatan manusia  untuk  menentukan  takdirnya  sendiri?

-- pertanyaan  yang  berpotensi  menjadi  kutipan  ambigu. Huhft. Saya  mendadak  mual.



***

Ya,  saya  setuju  dengan  pendapat  rekan  diskusi  saya  mengenai cerpen ini  sudah sesuai  dengan  tetek  bengek  unsur  intrisik  dalam  sebuah  prosa pendek. Selain  juga  mengiyakan tentang  beberapa  celah yang menjadi  koreng  bagi  cerpen  ini. Penulis mau  tidak  mau  akan  dibenturkan  dengan  persoalan  teknik. Seorang  tukang  cerita mesti  menguasai  dengan  piranti  apa  dia  bercerita. Tidak  mudah  memang, tapi  bukan hal  mustahil. Toh, Adefira  sudah berpikir  meengarahkan cerpennya kepada sesuatu  yang  tematik, sadar  atau  tidak  sadar. Konflik  yang  dibebankan  Nora diantara siklus  sosialnya  saya  ambil  contoh. Keberanian  dia  untuk  membuat  peristiwa  yang berkait  sangkut  dengan seksualitas,  meski,  pikiran  awal  saya  akhirnya  keliru  sudah  melebarkanya  ke  arah—yang  menurut  Katrin  ia  sebut  Sastra  Wangi.  Adefira  seperti  terjebak  antara  vulgaritas  dan deskripsi  wilayah  erotogenik  secara  normatif. Menjadikan Tokohnya canggung, hendak diselimuti  dengan  adegan  seksual  atau   dengan  kode-kode yang ia pikir sudah  cukup  memberi acuan  visual  kepada  pembacanya. Kekerasan  yang dialami Nora  pun  jadi  Klise. Sikap Nora  menjalani  kenyataan juga  menjadi Klise. Sepatu  Wedgesnya  Klise. Rambutnya yang  direbonding  jadi  Klise.  Sikap  Nora  yang  tak  keberatan tidur  atau  ditiduri  oleh banyak  lelaki  bergantian  asal  menganut  simbiosis  mutualisme  jadi  klise. Tidak  saya  dapatkan  kesegaran  dalam cara  dia  bercerita, membuatkan hentakan  yang bisa  direnungkan  pembaca meski  ini tidak  bisa  dianggap  salah.  Nora  menjadi  gambaran  ideal  bagi  doktrin  Freudian,  bahwa  motif  manusia pada  akhirnya  adalah  motif  ekonomi, dan  manusia harus  menjalani represi lewat  alasan  yang  disebut  prinsip  kenikmatan. Dan  saya  kira,  Nora bersedia  menerima  represi  tersebut,  baik  dari  masyarakatnya  maupun  dari  kesakitan  neurotiknya  sendiri.

Di  bagian  ini  saya  rasa,  Adefira  perlu  menimbang-nimbang  lagi, bagaimana  semestinya kesakitan  Nora  diintimkan  kepada  pembaca.  Saya  belum  mendapatkan  itu. Kekerasan  dan  kesakitan  tidak  diimbangi  dengan  hantaman  psikologis  yang memadai.

***
 Di  awal  sendiri,  saya  menulis   Umar  Kayam. Realisme  magis. Teks  yang  evokatif. Puisi  M  Fauzi. Murakami. Krisis  Oedipal. Clara  Ng. Sastra  Wangi—Katrin  Bandel. Feminisme. Novel  Sylvia  Plath. Realisme Psikologis. Cerpen  Sulung  Pamanggih. Nama/kata  dalam  rentetan  itu  sudah  saya  bicarakan,  kadang  berguna  menopang  sebuah  tulisan,  contohnya  tulisan  ini:

1. Saya  ingat  Umar  kayam,  Saya  ingat  cerpen  miliknya, Seribu  Kunang-kunang  di  Manhattan  ketika  membaca  judul  cerpen  ini,  dan  bagaimana  Adefira ketika  menggambarkan  kunang-kunang yang Nora  amati  keluar  dari  cangkir.
2.  Tadinya  saya  sempat  menebak, ada  upaya  penulis  membelokkan ke  arah  realisme   magis, namun  akhirnya  tebakan  saya  salah,  atau  tepatnya  upaya-upaya  itu  mempunyai  kemungkinan urung  lantaran Adefira masih ragu-ragu  menakdirkan  ceritanya.
3. Sebenarnya  bukan  puisi  utuh  M  Fauzi—penyair  sumenep, cuma  bait  terakhir  yang  terkunci  di  kepala  saya, bunyinya  begini;
...kelak, jika  kau  tak  mampu  membuat  takdirmu  sendiri
maka  biarkan  waktu  berhenti  berdetak!
4. Ada  salah  satu  bagian  dalam  Novel  Haruki  Murakami, Dengarlah  Nyanyian  Angin. Nezumi,  salah  satu  tokoh  dari  Novel  tersebut punya  obsesi  membuat  sebuah  Novel  yang  didalamnya  dia  akan  mati-matian  menghindari  2  hal;  adegan  seks  dan  matinya  tokoh  utama.  Sebab  menurut  Nezumi, meskipun  dibiarkan, manusia  akan  mati  dan  seorang  lelaki  akan  tidur  dengan  perempuan. Begitulah  faktanya.
5. Entah  kenapa  juga,  Hubungan  ibu dan  anak, dan  sebaliknya,  sangat  rentan  dan  terus  menjadi  tema  yang  tak  habis  dituliskan. Kepala  saya  menyimpan  arsip  cerpen  Negeri  Debu  milik  Clara  Ng,  dan Dari  Jendela  yang  Terbuka..  milik  Sulung  Pamanggih. Saya  menjangkau  cerpen  Clara,  lantaran  dalam  cerpen  tersebut  sama-sama  memiliki  adegan  seorang  anak  kecil  yang  mesti  bersembunyi  di  kolong  tempat  tidur  ketika  ibunya  melacur. Clara  menggunakan  teknik  bercerita  serupa  juru  dongeng.  Benturan  kepadatan  imajinasi  dan  cair  kenyataan  susup  menyusup  menjadi  area  kreativitas yang  bisa  dinikmati dan  ditarik  kesana  kemari  oleh  pembaca.  Sementara  pada  cerpen  Sulung, dialog-dialog  antara  ibu  dan  anak  begitu  hidup.  Sulung  seperti  tahu  bagai mana  meletakkan  kata  api,  kata  cermin, sebagai  lompatan  untuk  menjangkau gulungan lanskap  kisahan  di  depan  dan  dibelakang  si  tokoh.  Adalah  sebuah  keuntungan  ketika  sosok  seorang  bocah  diletakkan  dalam  sebuah  cerita,  sebab  imajinasi  dan  keliaran berkemungkinan  besar  bisa  digali  sedalam  dan  selluas  mungkin.  Begitulah,  saya  berharap  cerpen-cerpen  Adefira  yang  akan  datang  jauh  lebih  ‘merangsang’  dari  ini. Berharap  betul, agar  sebagai  pembaca  saya  tidak  terpukul  dengan  perasaan  diri  sendiri;

Sudah  takdir, Lha  piye  neh.


Semarang, 11  Oktober  2013.
_________________________________________________________________________________

Arif  Fitra  Kurniawan,  Bergiat  di  Komunitas  Lacikata. Ditulis  untuk  kepentingan  Meja Cerpen#9  Komunitas  Lembah  Kelelawar,  yang  rencana  akan  dilaksanakan  pada  tanggal  20  Oktober  2013  di  IKIP  Semarang

Tidak ada komentar: