PERTANYAAN YANG
TERKURUNG
Sebuah pagi dibentangkan. Tuhan berhasil
menciptakan layar yang bisa dikecap oleh seluruh indera ratusan juta manusia.
Tuhan memasang matahari, menambahkan kicau burung, menempelkan suara gerobak
sayur keliling, suara-suara orang berangkat dengan kaki saling berkejaran.
Dunia adalah template yang rutin dan
konsisten diganti. Jam kerja menempelkan rasa terburu-buru pada setiap
laki-laki dan perempuan di kampung ini. Kampung yang senantiasa merasa tidak
punya rencana dan keinginan apa-apa selain berharap tidak akan terendam air
jika musim hujan. Kampung yang diisi oleh ratusan orang yang selalu merasa
ragu-ragu sekadar menikmati kebahagian diri sendiri.
Bapak sudah bangun, aku rasa ia tidak akan melewatkan sembahyang subuh; lima
sampai enam jam lebih awal bangun
sebelum aku bangun dengan tubuh remuk
seperti habis dipukuli. Bapak masih memegang
pisau besarnya yang mengkilap. Tajam dan berminyak. Celemeknya lusuh
dengan noda pekat di sana sini, entah kapan terakhir ia cuci selembar benda
yang membuatnya seperti pendekar dalam cerita-cerita silat kolosal itu. Bau amis dan perasaan mabuk dalam bis selama perjalanan jauh jadi satu
menyerangku. Sisa-sisa daging babi
dengan darah yang berceceran di telenan pada jam sepuluh pagi seperti ini adalah siklus yang mau tak
mau mesti aku terima.
“Raup
dulu, cuci-cuci muka dulu, itu, tadi bapak beli ketan buat sarapan. Tapi
bapak lupa minta kelapa parutnya
dipisah”
Aku meringis. Antara tertawa ditahan dan
perasaan mahfum. Kenyataan seringkali menjebak kita untuk tidak bisa berbuat
banyak selain mengangguk. Aku lewati tubuh bapak
yang membungkuk. Nyaris membentuk sudut sembilan puluh derajat. Aku jadi
ingat mistar kayu siku-siku yang ada di sekolah dasarku,
dahulu, yang digantung persis di dinding
dekat tempat kapur papan tulis. Yang
kadang digunakan buat menghukumku—atau siswa lain, jika terlambat masuk ke
kelas. Pantatku mampu mengingat kumparan panas yang diciptakan kayu sialan
tersebut. Belum
lagi ejekan teman-teman yang mencibir sembari bersamaan membuat koor; rasain , kena lagi. Biar tahu rasa si anak
babi....
Kemudian mereka akan tertawa melihat
wajahku diringkus rasa malu dan kesakitan. Dan aku tidak bisa berbuat banyak,
apalagi memprotes. Sesuatu yang menimpa kita secara terus menerus pada awalnya
membuat kita terkucil, teraniaya, lantas membentuk benteng imun tanpa kita
sadari. Begitu juga padaku.
***
Orang-orang di kampung biasa
memanggilku si anak babi. Aku
juga tidak tahu sejak kapan sebutan itu mengganti bahkan kadang menyambung dengan namaku; Mustapa.
Lengkapnya Kairul Mustapa. Jadi lebih lengkap lagi Kairul Mustapa si anak babi.
Tadinya aku ingin melawan. Pertama, kedua orang tuaku manusia. Memang aku tidak
mengenal siapa sebenarnya ibuku. Tapi aku bukan tokoh dalam sebuah epik atau
mitologi, lahir dari seorang perempuan yang kemudian dipelihara seekor babi,
atau lahir dari seekor babi yang kemudian bertahun-tahun dipelihara manusia
untuk membalas dendam atau mencari
sebuah keadilan. Tengok saja.
Kami jauh berbeda, babi akan memakan apa
saja. Termasuk kotoran dia sendiri yang ada di hadapannya. Aku tidak. Babi suka
membiarkan temannya menyetubuhi pasangannya. Aku belum kepikiran. Babi tidak
punya leher. Aku punya. Yang tidak bisa aku sangkal adalah babi dan aku sama-sama berbau apek dan tidak bisa melawan apa yang
sudah digariskan.
Ini barangkali lantaran bapak bekerja sehari-hari
memotong-motong daging babi dan menjualnya ke juragan-juragan di pasar
pecinan. Merekalah, yang kemudian menjual kembali ke para pembeli
eceran yang, biasanya dijual lagi ke
restoran cina, warung-warung makan yang
menyediakan menu bong ca bak, kim ci so, babi kecap, atau ko
lo bak. Aku kenal dengan sebagian
mereka lantaran dari kecil aku kadang juga yang
mendapat jatah mengantar daging babi ke tempat mereka. Ada babah
Liem, nyah Jia, Yang In yang sudah menjadi langganan bapak bertahun-tahun. Kata
mereka, timbangan daging babi bapak paling banyak lebihnya. Dulu sekali, bapak sempat cerita bapak lahir
di kampung Mbaben—sebelum bermukim di kampung ini. Seluruh kampung itu dulunya
berisi babi, babi, babi. Artinya tiap orang di kampung itu selain jadi peternak
juga menjualnya langsung dalam bentuk potongan.
Dan menjadi tukang babi seperti takdir yang akan terus berjalan estafet.
Sepertinya bapak menyerah, dia tidak bisa berbuat banyak untuk melawan
silsilah.
***
Ada
perasaan aneh ketika sampai kamar mandi di kos-kosan ini,
menyentuhkan air dari bak ke gayung, dari gayung ke telapak
tangan, dari tangan ke muka, melihat pantulan kehampaan wajah
sendiri dalam air, kemudian bergoyang terkena semburan dari kran plastik yang
disambung selang pendek. Aku seperti sedang memisahkan dua
bagian hidup yang bertolak belakang,
antara yang terang dan yang mengabur, antara yang faktual
dan yang fiktif. Cepat-cepat aku
susun kembali kesadaran. Kuusap
mukaku yang basah dengan kaos. Bergegas berjalan menuju
dapur, bapak sudah duduk di bangku kesayangannya.
“Dimakan
ketannya”.
Aku mengangguk. Mendekatkan
tanganku dengan bungkusan daun
pisang di meja yang berjarak beberapa senti meter dari bapak.
“Kecut?”
“Mboten, pak.”
Jawabku
sambil menggeleng. Susah payah tenggorokanku berusaha menelan makanan
yang sebenarnya, sudah getir itu. Bapak
memasang tatapannya sebentar, berdiri, meregangkan tangan, lalu
melanjutkan lagi pekerjaannya. Menguliti-menyayat-membagipotong-menimbang-membungkusi.
Aku menarik napas. Melemparkan pandangan ke selokan kecil yang
mengalir antara dapur dan kamar mandi. Merasa terhempas sendirian. Tidak
terlalu sulit membohongi bapak ternyata.. Tiba-tiba wajah ibu
melintas. Ah bukan wajahnya. Sepotong wajah yang kuanggap wajah ibuku tepatnya. Namun
hilang ketika aku berusaha mengejarnya. Tiap kali aku berbohong, wajah itu
selalu saja melintas. Dan benar-benar sekedar melintas. Ibu cuma menjelma
lambaian yang mudah sekali terangkut oleh kecepatan bis AKDP. Menghampiri,
menjauh, dan kembali hilang.
“Pak.” Ucapku pelan, setelah
menghabiskan ketan dengan susah payah.
“Mmm, Ya, Mus”
“Aku
mau icip daging babi.”
Bapak
tersedak. Ia langsung mencari air minum dan menenggaknya. Aku cuma duduk dengan
bungkus ketan di tangan. Bapak tak menjawab lalu melangkah keluar rumah.
“Kenapa?”
Pertanyaan itu urung aku keluarkan. Jawabannya akan sama.
Pertanyaan yang nanti juga akan dibalas dengan kalimat bapak, “kenapa kamu
ingin mencobannya?” dan aku belum mempunyai alasan yang benar-benar kuat untuk
itu.
“ Kamu ndak
kerja hari ini?”, sentak bapak dari pintu.
***
Sekarang template itu berganti warna dan tema. Sebuah ruangan dengan layar
gelap berkubus-kubus. Menggantung lampu
dengan warna-warna mencolok. Suara musik yang bass nya mampu membuat denyut
jantung gemetar bertubrukan dan saling melilit dengan aroma lipstik, aroma
parfum, tertawa dan sendawa lepas dari orang-orang yang wajahnya dirundung
tekanan kota dan pekerjaan.
“Satu lagi, honey.” Jari-jarinya yang lentik menggeser gelas high ball yang isinya sudah tandas,
tinggal serpihan-serpihan kecil es batu dan embun di bagian luarnya. Aku paham apa dan bagaimana cara menciptakan
kebahagiaan baginya.
“ Singapore sling lagi, nona? Dia cuma berdehem. Menggeleng. Matanya
layu.
“Lois
saja, Mus” . itu artinya Long Island. Itu artinya dia sedang
tidak enak pikiran. Dia ingin lebih mengambang. Di Bar tempatku bekerja sebagai pengantar
minuman ini dia memang jadi pelanggan
setia tiap kali akhir pekan datang. Long
Island, minuman lima arah mata angin, begitu aku menyebutnya. Campuran
Rhum-Gin-Wiski-Vodka-Tequila. Ditambah
perasan jeruk limau dan soda. Lima mata angin yang bertemu di satu titik untuk
menciptakan pusat lisus, badai topan yang akan mengggulung perasaan seorang ke
ketinggian. Memesan minuman ini sama saja bersiap menerima perasaan campur
baur. Pasrah untuk oleng sementara waktu.
“Mus,kau punya banyak waktu kan?”
Setelah meminum yang ada di
hadapannya, dia melanjutkan, aku ingin mengelak. Tapi lagi-lagi
tidak bisa. Untung pengunjung sudah mulai sepi.
“Ceritakan hal yang bikin aku
gembira”
"Cerita apa, nona? aku tidak pandai
bercerita." Tepatnya tidak punya cerita yang
berkemungkinan menggembirakan orang
lain.
"Apa saja ah Mus, cerita Mus.
Kalau kau tidak mau cerita, temani aku minum saja deh”
Aku
menggeleng sesantun mungkin untuk menampik tawarannya menemani minum.
“Aku cuma punya cerita tentang babi”.
Dia tertawa. Tertawa keras sekali.
Ruangan ini sesaat jadi penuh oleh suaranya. Aku belum mulai bercerita dan dia
sudah merasa jadi orang paling berbahagia.
“Mus, mus, hahahahaha. Babi,
Mus, babi? Iyya...Mus, iyyya, ceritakan Mus,....”
Kata-katanya sudah berintonasi naik
turun. Benar-benar timpang dan mengambang.
"Di rumah Mus, aku juga punya
babi warnanya pink lhoh, mus, di rumah, babi lucu yang
kalau tiap kali tidur aku peluk-peluk, aku
cium-cium, Mus, babi itu pemberian dari om
Teguh,..dan, dan...".
Dan keadaan terbalik. Dia yang menceracau. Aku urung
meneruskan ceritaku. Membiarkan ceritanya tentang boneka babi kesayangan dia, om teguh yang
sering memberinya hadiah setelah menidurinya, tentang kuku-kukunya yang
akhir-akhir ini jadi gampang patah. Tetangga apartemennya yang bawel. Saudaranya
yang selalu datang meminta bantuan uang. Semuanya berakhir ketika jam sudah
menunjukkan pukul tiga, bar yang sudah saatya menutup diri, dan cara dia
berjalan tersaruk-saruk setelah mencium pipi kanan dan pipi kiriku sambil
menyelipkan beberapa lembar uang tips.
“Terima kasih Mus”, sendawanya
menghangatkan telingaku. Sepi menggigit diri dan mengikuti suaranya yang
menjauh.
***
“Lho, bapak belum tidur?” Aku melepas sepatuku
dan menaruhnya di rak. Bapak berulangkali mengusap rambutnya. Dia keluarkan bungkusan
plastik dan menaruhnya di meja. Aku tercekat.
“Mak.., maksud bapak, apa?”
Aku mencoba melerai pikiranku sendiri. Jam
empat lebih dan bapak yang belum tidur
kemudian menyuguhkan benda yang tidak
pernah terbersit sekalipun akan dia hadapkan kepadaku. Sebungkus rica-rica babi.
Dua botol ciu merek lokal. Entah darimana bapak mendapatkannya.
“Mus, aku juga pingin ngicipin minum, aku pingin mabuk juga sepertinya”
“Pak....”
Aku tidak bisa melanjutkan lagi. Aku paham.
Keinginanku mencicipi daging babi tadi siang sama sulitnya bapak tanggapi
seperti keinginanku untuk tahu siapa dan
bagaimana sejarah ibuku. Dan keinginan-keinginan itu mesti dibayar dengan cara
menyakitkan seperti ini. Aku tak sanggup berlama-lama memandang sepasang mata
bapak yang bocor dan merembeskan air.
“Maafkan Mus, Pak”
Bapak seakan paham dengan ini semua. Dia
memelukku. Suara adzan subuh melewati kami. Suaranya terdengar merintih-rintih.
Semarang, 2012-2013
2 komentar:
ihir iki, Mas Arif
ihirrrr kembali ya mas SG,...lama aku tak menyimak tulisan-tulisanmu
Posting Komentar