KUNANG-KUNANG PASAR MALAM



KUNANG-KUNANG   PASAR MALAM

            DARI sekian  lelaki yang terdengar sedang berteriak silih berganti mendirikan penyangga-penyangga tinggi dari besi itu, ia yang paling kurus. Berkali-kali terengah ketika tangannya yang mirip kaki belalang ikut menarik tali ke belakang, menyimpulnya ke pasak yang sudah tertancap lebih dulu ke tanah, empat sampai lima tarikan, dibantu Mas Tarno,  kerangka stan  Rumah Hantu, Tong Setan, Bianglala, akhirnya terpasang, tinggal merakitnya lagi dengan perlengkapan tambahan..
“Awas, Nar, talinya kebakar nanti”,  kelakar  Budi yang lewat memikul tumpukan papan sambil mencolek lengan Sinar,
“ Lho, kebakar gimana Bud? “ Sinar celingak-celinguk mengamati barangkali ada sumber api yang sekiranya perlu dicurigai. Tak ada nyala petromaks, tak ada nyala lilin.
“ha ha ha, itu lho, nagamu, ntar dia nyembur-nyembur ndak karuan”
“Bajindul !”, ia lempar  ranting kecil kearah Budi,  deret gigi kusam Budi meringis, kemudian menyambar baju yang tersampir begitu saja di sebatang bambu. Mas  Tarno  cuma  geleng-geleng kepala. Sinar tahu tadi teman serombongannya itu sengaja mengejek  tato-naga  di lengan kanannya, tato yang dibikin amatiran, sebab terlihat ekornya malah lebih mirip cacing sawah daripada seekor naga. Tak ingat lagi sudah berapa lama naga itu bersarang di lengannya, yang tiap kali ia lihat di kaca selalu membuat matanya terbakar; tertembus lidah api.  Sinar  ingat waktu lengannya digambari dan dirajah dengan jarum, ia  baru saja menenggak ciu oplosan sebanyak dua botol air mineral ukuran jumbo, yang ludes  ia gilir memutar bersama dua kawan rombongan pasar malam. Ia  ingat dadanya panas sekali waktu itu, dibakar etanol, meranggaskan musim hatinya yang  membusuk akibat ditinggalkan Nurul, gadis bermata air kunang-kunang di kelopak matanya. Dulu tiap kali  Sinar bersitatap dengan nurul, tubuhnya semakin bercahaya, melebihi namanya sendiri. Sebab ditambah Nurul. Merekalah kuadrat sama dengan  dari semua terang yang pernah dirumuskan. Tapi kemudian Nurul tiba-tiba lenyap dari kehidupan Sinar dengan membawa pergi jutaan kunang-kunang peliharaan matanya. Hati Sinar jatuh pengap dan gelap.   Hati yang sebenarnya jatuh jatah temponya berpanen buah-buahan itupun busuk dan terbengkelai. Sinar melawan rasa putus asa dengan caranya sendiri. Di botol ciu itu ia melihat tubuhnya makin jantan, makin  lebih lelaki. Sinar bertekad melihara, menangkar dan mengembang biakkan kunang-kunang itu sendiri. Tentu saja di kelopak matanya. Sinar optimis ia akan berhasil. Suatu saat.

***

            INI  malam minggu.  Dua  hari  sudah pasar malam  digelar. Dua hari sudah hujan merintih-rintih seperti anak kecil enggan disapih. Sungguh neraka bagi perut-perut mereka. Mana ada yang sudi keluar rumah ketika hujan. Tak ada. Tak ada yang merindukan mainan ketika hujan. Tak ada yang menginginkan diputar oleh komidi, masuk Rumah hantu, naik Bianglala.  Di tiap rumah kampung-kampung ini sudah ada televisi yang mahir memprovokasi.  Kotak milik penyihir yang penuh dengan iklan. Sementara  pasar malam ini tak cukup baik dalam beriklan. Bahkan sekedar membayar pawang hujan, agar memindahkan dulu mendung ke daerah dimana hujan amat diminta turun oleh para petani bawang.  Tapi  lihatlah malam ini langit kering, kandungan airnya barangkali  telah terkuras tandas akibat tumpah selama dua hari kemarin. Mas Tarno berdiri di samping tempat penjualan tiket komidi. Matanya bekelip-kelip diberkati langit. Langit yang malam ini memihak doa-doa bibir mereka, agar diperkenankan tertawa. Pengunjung  tumpah ruah.
“Bang, tiga” seorang lelaki  berkacamata menjulurkan uang beberapa lembar lima ribuan ke dalam loket. Mengekor  perempuan  berkerudung manis dibelakangnya. Sebuah bulatan  gula-gula arumanis di tangan kirinya, merah muda menyala warnanya. Sementara jemari tangannya yang kanan seperti mengamplopi tangan kekasihnya. Melipatnya dengan lem kayu. Mereka seolah tak peduli perasaan hangat itu akan tersirat atau tersurat. Dimana saja, cinta bagi dada adalah api yang akan senantiasa menyengat. Mas Tarno melihat itu. Dan ia tersenyum. Anak- anak kecil berseliweran di depannya. Ibu mereka berteriak-teriak takut mereka hilang atau terjatuh.
“Maaf, Mas, wahana ini untuk anak usia dibawah dua belas tahun” . Seketika lelaki berkacamata itu lebih mendekatkan kepalanya ke lubang loket. Apalah arti umur, apalah arti batasan. Ah,sepasang hati yang berapi kiranya tak mau dibatasi.
“Bang... tolonglah bang, istri saya ini hamil muda. Dia ngidam”
Budi yang menjaga loket gelisah. Keluar menemui Mas Tarno. Mas Tarno terkekeh. ditepuknya pundak Budi dua kali. Merapati bulan madu milik sepasang pengantin barunya itu. Tak mungkin ia menggagalkan kebahagian. Kebahagian adalah kebahagian. Ia jadi ingat Menur, istrinya. Ingat ketika dia mesti keliling kecamatan cuma untuk mencari buah sirsak. Bayangkan betapa susahnya mencari buah yang bukan jatah musimnya berbuah. Tapi demi Menur yang sedang ngidam anaknya yang pertama, ia bertekad tak akan pulang sebelum mendapatkan sirsak itu. Ya, kebahagian memang memerlukan perjuangan. Dan dulu, dia juga sampai guling-guling saking girangnya  macam bocah lelaki kecil menemukan kembali kelerengnya yang jatuh, ketika di dapatinya sirsak-sirsak itu di sebuah pohon bergantung dengan indah. Pemiliknya tak mau dibayar ketika ia ingin membelinya. Maka sekarang giliran ia ingin memberikan kebahagian itu pada mereka. Dipersilahkannya perempuan berjilbab yang asyik menghabiskan arumanisnya masuk ke dalam bersama pengantin lelakinya, bersama cahaya yang sedang diperam dalam rahimnya. Menunggu waktu untuk matang.
“Ooooooooiii, nyalakan motor dieselnya!” Teriak Mas Tarno.


Sepasang pengantin itu tertawa berpelukan diatas punggung  binatang-binatang melamin. Lalu semua berputar. Keledai-keledai itu. Kelinci-kelinci itu. Kura-kura itu.  Lampu-lampu kecil khas perayaan tujuh belasan itu juga ikut berputar.  Makin cepat. Makin cepat. Makin seperti warna kilat. Perut  perempuan itu terlihat  berkilat-kilatan. Makin lama makin terlihat seperti kumparan. Seperti sedang dikerubungi nyala kuning milik kunang-kunang.  Budi, tertawa sendiri dalam kegelapan loket. Ia kini tak perlu bertanya mengapa lelaki berkacamata itu membeli tiket tiga lembar. Bukan dua. Tapi tiga.  Ah, kebahagian.

***

            JANGAN PERCAYA HANTU SEBELUM MELIHATNYA SENDIRI.  Begitulah mural yang terpampang di atas gapura. Bangunan di belakangnya dibuat  menyerupai  kastil, kastil dari triplek yang di warnai dengan cat serba hitam. Serba gotik agar  menghasilkan efek menyeramkan. Lalu ditimpakanlah  gambar-gambar hasil  visualisasi  mahkluk halus diatas latar yang serba hitam itu. Kepala gundul bertanduk , pocong, wajah perempuan yang tertutup rambut panjangnya, vampir,   coretan-coretan tumpahan darah di sana-sini. Seolah mereka, hantu-hantu itu ingin berdialog secara persuasif: bila ingin akrab dengan kematian, masuklah kesini! Dimanapun  pasar malam ini digelar, Rumah Hantu selalu dipenuhi pengunjung. Mengalahkan selasar arena lempar gelang ke botol yang terletak cuma beberapa pandangan dari Rumah Hantu ini. Selalu saja menciptakan antrean panjang hingga para pengunjung mesti siap menabung napas menunggu giliran.

Dua blok dari Rumah hantu deru knalpot berkoar-koar dibetot kabel gasnya .  Sinar  sedang menyetel sistem kabulasi kuda sembraninya. Motor bekas yang ia rakit ulang sesuai keperluannya sebagai ksatria Tong setan. Agar ia mendapatkan akselerasi yang harmonis, semua harus dipersiapkan. Pengapian, pengabutan, putaran mesin, semua mesti dalam ukuran yang presisi. Tubuh sinar belepot sedikit oli. Ia mengenakan jins belel sobek di paha dengan kaos oblong yang sengaja ia pangkas dengan gunting bagian lengannya. Aroma bensin memparfuminya. Untung naga dilengannya telah  familiar dengan sengat bau seperti ini, jadi tak bakalan nagannya akan mabuk seperti ibu-ibu yang perjalanan jauh yang menunggang bus AKDP, Antar Kota Dalam propinsi. Sunu, rekan penunggang Tong Setan Sinar sudah beberapa menit lalu menggeber  motornya. Roda itu merayapi dinding secara melingkar. Butuh kegilaan  penunggangnya ketika yang mereka tunggangi itu perlahan naik keatas secara spiral. Mereka mematahkan  ketentuan fisika adanya hukum gravitasi. Atau barangkali mereka telah mensugesti diri mereka sendiri bahwa dalam Tong Setan tak ada lagi gaya tarik bumi, entahlah. Yang pasti mereka bukan astronot ketika berpetualang ke ruang angkasa dengan kostum lengkap. Tak ada helm. Tak ada pelindung lengan. Tak ada pelindung dada. Mereka seperti  para tokoh-tokoh dalam video game, yang mempunyai cadangan nyawa. Yang tiap kali menemukan pisang di jalan, maka cadangan nyawa bertambah satu. Gemuruh suara motor kini mulai bercampur dengan teriakan penonton yang menyaksikan dari atas. Kini giliran Sinar. Sunu telah berputar putar mentok diatas. Satu dua gadis remaja menyawernya. Sunu melepas tanganya dari setang sembari merampas uang saweran. Sinar dan motornya merangka naik. Mereka akan menyuguhkan gerakan akrobatik nanti di atas. Mereka berdua akan kejar-kejaran di lintasan melengkung vertikal. Rambut Sinar berkibar-kibar melambai dan menyalami sorak sorai dari atas sana. Sunu di kuntitnya sekarang. Mereka mengatur kecepatan agar terus berdekatan. Berputar. Naik. Berputar. Naik. Penonton semakin histeris. Kecepatan ditambah. Dan dalam putaran kecepatan itu Sinar melihat lambaian seseorang yang pernah kepalanya akrabi. Nurul? Ah Nurulkah. Motor terus melaju. Sinar mencoba tetap dalam kendali. Ah.tapi  wajah itu nyata ketika ia melintas. Kini kepalanya berdenyut-denyut.

“Katamu kamu sayang sama aku!”
“Iya Rul, apa kamu, kamu ndak lihat, aku benar-benar  ingin memilikimu, aku sayang sama kamu Rul”
“Ya kalau sayang, aku cuma minta, berhenti dari semua ini”
“Berhenti? Berhenti seperti apa, aku ndak punya ijasah, aku ndak punya keahlian apapun selain menunggang motor ini Rul”
“Kamu bisa Nar, bisa, cuma kamu ndak mau!”
“Aku ndak bisa Rul”
“Kamu bisa. Bisa!”
“Ndak bisa!”

Pertengkaran bertahun-tahun yang lalu itupun saling berjejal berebut mengisi telinga Sinar yang terasa makin menyempit lubangnya. Sinar merasa bising sekali. Ia kehilangan keseimbangan. Tahu-tahu ada yang meluncur menggebrak ke tanah. Sinar terjun bebas dari atas. Hukum gravitasi malam ini berlaku sebagai kutukan. Mengutuk kepalanya yang jatuh pertama disusul motor tunggangannya.  Kepala Sinar pecah.Keadaan hening. Hening sekali. Sorak sorai itu lenyap. Tercekat. Sinar dari bawah berkali-kali melambai pada yang diatas sana. Wajah yang sempat ia lintasi beberapa kali. Wajah yang bercahaya, ia yakin benar, itu Nurul. Ia ingin berdiri dan bilang kepada nurul, bahwa ia akan berhenti dari pekerjaan maut ini, demi dia seorang, bahkan ia rela sehabis ini menjadi pengamen, tukang sol, atau loper koran. Ia tak peduli. Ia ingin ungkapkan itu. Tapi tubuhnya tertindih motor. Ia melambai-lambai lagi. Sinar kini mulai tak yakin pada penglihatannya. Dia yang menjauh dari orang-orang yang ia pandang, atau mereka yang menjauh dari pandangannya. Tubuhnya kian melemah. Tapi hatinya tidak. Ia telah berjanji. Maka kini ia lepaskan jutaan kunang-kunang itu dari kelopak matanya.ia biarkan mereka berterbangan. Merayapi udara  dengan gerakan spiral keatas. Semakin menghambur ke atas. Jutaan Kunang-kunang kuning itu mencari rumahnya.

*** SELESAI***

semarang, 2011 


(secara  tak  sengaja  saya  menemukan  tulisan ini  di  folder, saya  tertawa-tawa  sendiri  membacanya, cerita  pendek  ini  saya  tulis di  tahun  2011. sebelum  saya  terlupa  lagi,  saya  mesti  menyelamatkan  tulisan  saya  ini  di  blog,  sebagai  dokumentasi  proses  saya.  dan  untuk  menghibur  diri  sendiri,  tentu  saja.) 



Tidak ada komentar: