KURBAN
KAU bisa melihat
raut-raut simpang siur kami dengan jelas
meskipun tempat yang, lebih cocoknya
disebut ruang sidang ini, cuma di terangi bohlam
limabelas watt kan ?Semuanya Sembilan belas. Angka
Sembilan belas cukup membuat kami merasa
bahwa kami menyerupai kafilah besar. Bambu - bambu
yang dirakit dadakan dan terlihat asal
tancap ini sungguh memberi pertanda
betapa kami adalah sekumpulan rasa cemas
yang secara tak sengaja berbagi nasib satu
sama lain.Dan mungkin kau lah orang
yang paling tepat yang bisa kuajak
bercerita. Apa ? mereka ?
Jangan bercanda, bicara
pada mereka sama saja cuma memindah
beban ke tempat lain dengan menanggungkan
kepenatan dua kali lebih dahsyat ke punggung sendiri. Tidak. Sudah
kubilang aku ingin berbicara padamu saja,
berbagi cerita dengan mereka semakin memperparah
rasa cemasku kau tahu, atau begini saja,
karena kelihatanya kau masih sibuk, kau
boleh menyelesaikan pekerjaanmu sambil mendengarkanku
bercerita, aku tahu, aku
kau mesti mempertanggungjawabkanya pada Haji
Asroni. Daun nangka dan daun galendra di
pojok sana itu mesti kau rajang-rajang
dulu untuk kau hidangkan pada kami sebelum
isya, karena kau tak mau haji gendut
itu akan mengomelimu lagi seperti kemarin kan?
Kau masih saja
mondar mandir membawa sabitmu. Namamu masih Saman
bukan ?
Man,
aku sebenarnya takut kali ini Man,
sebenarnya kau juga paham itu, terdengar
sangat jelas dari kesembilan belas embikan kami yang
sahut menyahut di liputi kedukaan ini makin
menjadi semenjak kandang ini kau buat dan
kami menyadari, kami di sini sedang
menunggu hari itu. hari yang menurut Haji gendut
Asroni adalah hari Raya,
Hari pengorbanan, Man. Oh, Man. kau belum pernah tahu
bagaimana rasanya menantikan datangnya kematian
yang sudah terjadwalkan. Menggigil, Man. Mengerikan.
Man tolong nyanyikan lantunan lagu sesuka bisamu,
kami butuh hiburan. Hei, kenapa malah tertawa ?
adakah kepanikan kami lucu adanya bagimu?
Sekarang aku malah
jadi curiga padamu, jangan-jangan kau serupa
dengan majikan gendutmu itu, Haji Asroni. Kau
pasti sedang membayangkan, betapa besok dua
hari lagi, kau akan mendapat jatah paling
banyak, karena sebagai warga, kau akan
dapat empat kupon pengambilan daging, dan,
tambahan lagi sebagai jagal, kau berhak
atas kepala, kaki kaki dan jeroan kami. Bangsat
juga kau rupanya Man ! membayangkan
cincangan daging, tulang kaki, kepala, kami terhidang
dengan kuah gulai, atau kau akan bumbui kami dengan lada sebagai sepiring
rica-rica. kau pasti membayangkan hari penuh kekuatan. Punuh libido. Sungguh tragis apa
yang akan nanti kami alami, sehabis ini kau
pasti mengasah lagi belati pusakamu itu.
Dan aku, serta kedelapan belas teman-temanku ini,
debar- debar membuat hitungan.
Siapa kiranya diantara kami
yang akan mati lebi dulu ?
Man, kalau aku
dapat jatah kau habisi duluan, aku ingin kau
titipkan salam pada anak nomor duamu, si Ujang
itu, sebenarnya berat manyampaikan perpisahan ini,
dia bagiku adalah teman bercanda selama
dua tahun ini, selama dia menjadi penggembala Haji Asroni. Dia
anak yang baik Man, diantara kami telah
tecipta tali kasih yang magis, aku juga
sering duduk bersamanya sore hari sebelum ngandang, ketika kami
selesai di giringnya dari sendang, dan
dia mengajakku di bawah pohon dekat
padang rumput sana, entah, kami jadi saling becerita,
menceritakan apapun. Termasuk menceritakan kisahmu,
sebagai bapak kadang kau tak menganggapnya
anak, cuma karena telinganya tak mirip
denganmu. Cuma karena daun
telinganya yang kiri melipat seperti jamur payung. Kau tega memperlakukan
dirinya seperti cerita Ratapan anak
tiri. Dan desus-desus tetangga, kalau Ujang
buah perselingkuhan. Aku heran, jika memang- seandainya itu memang
terjadi- harusnya kau menyelesaikan semua kemarahanmu cukup sampai pada
istrimu. Subyek yang melakukan, bukan
Ujang. dimana-mana bayi lahir tak mengetahui apa yang telah diperbuat
bapak ibunya, Man.
Ujang,
tersiksa Man, dia sering menangis sambil
mengelus-elus tandukku. membayangkan kau
memeluknya sehangat bapak-bapak lain yang
sedang memanjakan anaknya. Katanya, katanya kalau
kau marah sering bilang ia anak haram.
Padahal setelah menangis dan bercerita
seperti itu padaku, dia pasti tertidur
di perutku, dan aku menjilati wajahnya.
Kalau bersedia juga, pesanku yang
kedua, tolong setelah
ini sampaikan, pada Juraganmu Haji Asroni
itu, kenapa, kenapa Man, Dahulu Tuhan mesti
Mengubah penjelmaan Ismail Dalam bentuk Kambing,
kenapa bukan onta atau sapi ? atau ikan, atau
tak belalang saja ?.Bukan aku tak
iman, apalagi sampai murtad
dan menolak janji akan surga Man. Sungguh, ini semata-mata
karena ketakutanku, aku
benar-benar tersiksa, jika mendengar takbir, tiap
kambing jantan yang bertanduk sudah agak
kokoh pasti gentar Man. bertanya-tanya apakah
tahun ini tahun yang di pilih Tuhan untuk
menjemput mereka. Ah, Man, aku cuma ingin
menumpahkan unek-unekku , aku cuma tak ingin,
pengorbananku besok cuma di jadikan sarana
bagi Haji Asroni. Karena aku masih curiga,
semua ini cuma akal-akalanya saja memanfaatkan
agama, biar dia dipandang orang paling banyak
berderma ! melengkapi sandangan haji dibelakang namanya itu, padahal kau tahu
sendiri, dia punya sumur, satu-satunya
sumur berair jernih di kampung ini, tapi ?,
cuma kerabatnya saja yang boleh menimba
di situ ! orang lain yang bukan
kerabatnya pasti kena
damprat bila berani
menyentuh bibir sumur
miliknya.
Man,
Kau sudah selesai ya, kumakan dulu ya
daun nangka muda ini,...
***
SUBUH
baru saja melontarkan gaung panggilanNya, ketika
sayup kudengar ada lebih dari satu suara yang
membuatku terbangun.
"Pak,
kambing yang ini jangan di sembelih
pak.."
Ratap
anak itu sambil menuding-nudingkan telunjuk tangannya kepadaku. Ah Ujang, kenapa sedingin ini
sudah ada disini. aku serta merta bangkit.
Mendekatkan diri ke anyaman bambu yang mendidingi kami. Memastikan mataku tak salah lihat.
"Diam
kau begundal, semalaman tak pulang, rupanya kau
disini ! “
"Pak,
Ujang tak pernah minta apapun selama
ini pada bapak, sekali ini Ujang minta pak,
jangan sembelih kambing itu" Ujang mendekap
setengah dari tubuhmu
"Minggirr
! jangan recokin tugas muliaku !"
di
tangan kirimu tergenggam belati, sementara
tangan kananmu melilit tali laso. Kau dorong
dengan kasar tubuh Ujang. Ujang terjengkang
dan tubuhya mental ke belakang.
"Jangan
pak, jangaaaaaan,...."
"kasian
pak, jangan dibunuh,..."
"Anak
laknat, kau ingin menambah dosa hah, kubilang
menjauh dariku ! " ,
tapi
tangan Ujang masih mengekang kaki sebelah
kiri milikmu yang kekar itu. Kau
naik pitam. Kau seret
kakimu mendekati tepi
kandang ini. Ujang meronta.Takbir dari speaker toa
masjid menggema. Kau semakin menggila. Takbir menggaung. Tangan
Ujang erat mengungkung. Serigala tanggal lima belas purnama di tubuhmu seakan
meraung- meraung, sebelum
kemudian...
Crass.
Crass.
Allahu
akbar,
Dua
kali sabetan. Muncratan darah itu tak kutahu lagi
milik siapa. Sekelilingku sudah menjadi gelap. Berkunang-kunang. Cuma
lantas terdengar suara lebih gaduh dari yang
tadi. Sepertinya orang-orang berdatangan. Aku terpuruk. Terjatuh
dengan siku kaki lunglai menyentuh lapisan sisa rumput dan daun nangka.
"Tak
mungkin, Tak mungkin kalau si Ujang terkena tandukan
kambing".
"Lihat,
lukanya saja masih amis dan lembab...'
"Iya,
panjang sekali sayatan di lehernya",
semua berbisik-bisik.
"heh
cepat, malah ribut sendiri, bopong anak itu
Min, dan kamu, siarkan dari pengeras masjid. .. ."
Kau
mundur. terdengar suara klontang dari benda logam tajam terjatuh. kau menutup
wajahmu sendiri dengan kedua telapak tangan. Kau terdengar menjerit-jerit.
Man,
hari ini kau jadi Ibrahim.
***SELESAI***
Semarang, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar