YANG SEBENARNYA TERJADI DI KAMAR KAMI


Sungguh  pertanyaan-pertanyaan  itu  tak  mampu  aku  jawab  dengan  baik. Sepasang  matanya  lebih  ganas  dari  mata  serigala. Seluruh  tulang-tulangku  mungkin  juga  sudah  ia  pindai.  Barangkali matanya   memang  dididik  untuk  menjadi  sinar  rontgen.  Seluruh  tubuhku  dari  ujung  kaki  sampai  ubun-ubun, lemas.  Ia  menghardik  lagi. Bayangan  kepalanya  bergoyang  ke  kiri  dan  ke kanan  seperti  lipan. Di belakang  bahunya  jeruji-jeruji  sel  tahanan  mengintaiku. Lampu  terlihat  begitu  suram  dan  aku  merasa  terperangkap   di  sebuah  adegan kumuh   film  india  produksi  tahun  delapan  puluhan.
“Apakah  kamu  sudah  merencanakan  ini  semua?”
Lagi-lagi  aku  menunduk, tak  mampu  menghadang  pisau-pisau  berkilauan  yang  meluncur  dari  sepasang  matanya.
“Jawablah,  bajingan  tengik!”
“Sa—sa —ya,  saya  tidak  membunuhnya, pak…”
Dia  berdiri, wajahnya  merah  nyala, ingin lekas-lekas  membakar  aku. Aku  seketika  jatuh  lantaran  ditempeleng  sebanyak  dua  kali.  Lantai  kantor  polisi yang  dingin  menadah  tubuhku. Telingaku  berdengung.
***

Kami   memang  tidak  ingat  hari  dan  tanggalnya,  yang  aku  tahu  sekitar  pukul  satu  pagi.  Mataku  berair  kurang  tidur.  Aku  menyandarkan  kepala  di besi  ranjang  yang  cat hijau  tuanya  sudah  meledak di  sana-sini, memandangi  perempuan  itu  berbaring  dengan   tubuh  bagian  atas  telanjang  di samping  kepalaku.  Aku  tidak  akan  menggambarkan  lanskap  ini  dengan    kerumitan   seperti    lukisan  surealis  yang  menggambarkan  kehancuran  dunia  dengan  cara  menempelkan  jam  weker    yang  meleleh  kemudian  merangkak  ke  tebing  sebagai  simbol-simbolnya. Tidak  ada  yang  mesti  aku  sembunyikan   juga  ke dalam  beberapa   metafora   dari  payudaranya   yang  selama  24  jam  selalu  terbuka. Lukisan maupun   puisi  sudah  menjadi  daging  yang  perih  bagi  hidup  kami.  Kami  tak  tahu  kemana  mesti  sembunyi.

Perempuan  itu  tertidur. Setengah  jam    sebelumnya   aku  baru  saja  membersihkan tubuhnya  yang  amis.  Payudaranya  yang  kiri  bernanah. Panyakit  itu  telah  memangsa  sebagian  dadanya. Mengubah  gundukan  menjadi  kubangan.  Dengan  kapas  aku  totol-totol  darah dan, sesekali  nanah  yang  keluar  dari dinding-dinding  daging  payudaranya  yang  menyerupai   miniatur  bekas  gunung  berapi   terpangkas  oleh  ledakan  dari  dalam  bumi. Kuberikan  antiseptik.ku  tutup  “kawah”  itu  dengan  lembaran  perban.   Tidurnya  sungguh  menyedihkan. Bibirnya  retak  digigit  giginya   sendiri  melawan  rasa  sakit  yang  tak  bisa  diukur.

Lapar,  tanyaku. Tangannya  mengelus-elus  perutnya  yang  dilapisi  kain  tipis. Pusarnya  terlihat  menyembul. Kipas  angin  sesekali  menggerak-gerakkan satu-satunya  pelindung  kulit  itu.  Aku  mengambil  bubur  di  meja  kayu   di  sebelah  kepalanya.   Menyuapkan  ke  mulutnya  yang  kering. Padahal  sudah  begitu  pelan,  tapi  susah  sekali  ia  telan  bubur  yang  aku  suapkan.

“Kamu  tak  tidur?”, aku  menggeleng.
“Aku  belum  mengantuk, kok”
“Tapi  mata  kamu  sudah  meradang  begitu ”,
“sehabis  ini  tidurlah,”  sambungnya.  Frasa  -sehabis  ini  tidurlah-   seperti  ingin  menggantikan kalimat  ‘maafkan  aku  sudah  banyak  merepotkan’ . Tapi  dia  barangkali  sudah  muak  dengan  permintaan  maaf  semacam  itu,  jadi dia  menggantinya  dengan  ungkapan  apa  saja yang  melintas di  lidah. Ungkapan  maaf   biasa   digunakan  untuk  orang-orang  yang  bersalah  dan ingin  bertobat. Aku  merasa,  tidak  ada  rasa  bersalah  yang mesti  ditebus  dengan  penyesalan   di antara  kami  berdua.


Nyaris  3  bulan  terkahir  ini  aku  tak  pernah  keluar  kamar. Kecuali  ke  kamar  mandi  untuk  MCK, sesekali  membeli  kapas  dan  obat  di  apotek, membuatkan  bubur  untuk  makan  dia  sehari-hari,  menjemur  pakaianku  sendiri  juga  celana  dalamnya. Tiga  bulan  berarti  hampir  sembilan  puluh  hari,  hitung  saja  sendiri  jika  diurai  dalam  hitungan  jam.  Bagaimana  rasanya  dalam  ruangan  sepengap   ini, dua  manusia  tak  pernah  terkena  sinar  matahari.  Tidak  ada  jendela. Tidak  ada  ventilasi  udara.  Napas  bauku  ditambah  napas  baunya,  ditambah  lagi  bau  bekas  air  kencingnya  ditambah  lelehan  nanah  dan  darah  dari  lukanya  menumpuk  jadi  zat  beracun  yang  berbahaya. Kulit  dan  wajah  kami  pucat.  Aku  cuma  perlu  ia  gigit  di  bagian  leher  dan kami  berdua  akan  benar-benar   jadi  sepasang  vampir  yang  mengungsi  dari  kehidupan  wajar  manusia.

Napasku lepas  dan  mengenai  raut  wajahnya.  Aku  mengecup  pelipisnya  yang  licin. Mengendus  rambutnya  yang  menggimbal  tidak  pernah  keramas.  Berbulan-bulan  kepalanya  tidak  pernah  berpindah  sedikitpun  dari  bantal  ini, kecuali  dia  mengeluhkan  betapa  bau  busuk  sarung  bantal  membuatnya   pening   dan  ingin  muntah  kemudian  aku    menggantinya  dengan   sarung   yang  sudah  aku  cuci.
***

“Bakar  saja,  aku”  dadanya  naik  turun  dengan  cepat,  matanya  melotot.  Di  bulan  pertama  dia  menjadi  mayat  hidup  seperti  ini, dia  memintaku  untuk  membunuhnya.  Nyaris  satu  jam  dia  tak  berhenti  meronta  ronta,   tiap  kali  kumat,   tubuhnya  berkelojotan, kedua  tangannya  kaku,   mencakar-cakar  kasur  yang  keras.  Aku  menutup  telingaku  yang  nyaris  pecah  mendengar  suaranya. Tenanglah, tenanglah,  kematian  sudah  dekat  dan  kita cuma  perlu  melambaikan  tangan  ke  arahnya.  Dia  akan  tenang  setelah  aku  geruskan  parasetamol  dosis  tinggi  yang  aku  beli  di  apotek.  Berangsur-angsur  suaranya  akan  turun  melandai.  Tangannya  akan  gemulai,  tangkup  bibirnya  akan  membuka  mengatup  seperti  bibir  anak  kecil

“Tolonglah, bakar  saja  aku,…”

Aku  bisa  saja  membakarnya  saat itu  juga.  Aku  akan berlari  lekas-lekas   mengambil  sejirigen  minyak  tanah  di  dapur , menumpahkan sampai  tandas  minyak  itu  ke  seluruh  tubuhnya  dan menyalakan  korek  api. Tidak  ada  salahnya  melakukan upacara  kremasi  lebih  awal  pada  tubuh  manusia  hidup  yang  lebih  banyak  menyusahkan  ketimbang menggembirakan kehidupan  orang lain. 

Tapi  untuk  apa, sejauh  ini  aku  belum   menemukan  alasan  yang  tepat  untuk  membunuhnya.  Perempuan  itu  bukan  Sita  yang  mesti  aku  bakar  lantaran aku  penasaran  kepada  sebuah  ketabahan. Akhirnya  kubiarkan  dia  menangis, lantas  tertidur  karena  letih.
***

Orang-orang  berdesak-desakan, seolah  daging  hidup   yang  berbaring  di ranjang  itu  sebuah  pertunjukkan  topeng  monyet . Aku  memperhatikan  wajah  mereka  satu-satu.  Sebagian  menutup hidung,  sebagian  menggeleng-gelengkan  kepalanya,  ada  yang  berkomat-kamit  merapalkan  sesuatu. Ada  yang  meneteskan  airmata.  Roti  tawar, buah  jeruk  dan  mangga, manisan  pepaya, memenuhi  lantai .  Aku  tak  tahu  mesti  dimana  menaruh  itu semua  di  ruang  sesempit  ini.
“sssttt, menurutmu  penyakit  apa  itu, menjijikkan”  aku  mendengar  salah  satu  dari  mereka  bergumam  di luar  kamar  dengan   seseorang  yang  lain.
“Teluh,  mungkin, santet barangkali”
“ah,  mana  mungkin”
“Liat  saja   lukanya,  ndak  lumrah,  gitu”
“ssstttt….”
Dua  orang  perempuan  setengah  baya  bergantian  menyalamiku  sambil  memberikan amplop  sesudah menasehatiku—tepatnya  menguatkanku  agar  tabah.  Seorang  lelaki tua  meremas  pundakku  dan  membisikkan   sesuatu. Kalimatnya  cukup panjang,  tapi  aku  masih  bisa  mengingatnya. Orang-orang  yang  datang  sore  itu  untuk menjenguk  kami—perempuan  itu  tepatnya,  tiba-tiba  menjadi  rupa-rupa  bayangan, kocar-kacir  dipelintir  putaran  kipas  angin.
***

“Dapat  berapa? “,  tanya  dia,  pandanganya  lurus  ke  eternit.  Lehernya  sudah  tak  bisa  digunakan  untuk  menoleh. Ini  sudah  bulan  keenam.  Dan  dia semakin  tidak  menyerupai  manusia.
“Lima” .  jawabku. Aku  sandarkan  sebentar  punggungku  ke  tembok.
Dia  tersenyum.  Senyumnya  aneh. Aku   gagal  menafsirkanya dengan  baik.  Itu  senyum  getir  atau  bahagia. Yang  jelas  ujung   bibir  kanan  dan  kirinya  ditarik  ke atas.
“Biasanya  tujuh, kok  sekarang  lima”
“Tak  apalah,  kan yang  penting  ganjil”  . Tuhan  selalu girang  kepada  hal-hal  yang  ganjil,  aku  meneruskan  dalam  hati .  Aku  sodorkan  kantong  plastik  bening  ukuran  seperempat  kilo  persis  ke atas  hidungnya.  Dua  cicak  di  dalamnya  bergerak-gerak,  yang  tiga bergeming.  Kedua   Alis perempuan itu  seketika  mencuat.  Itu  artinya  dia  kaget sekaligus  jijik. Aku  tertawa.  Cuma  ini  barangkali  cara  kami  bercanda.

Entahlah, sejak  perempuan   itu  rubuh  ke tangan  ranjang,  aku  juga  menjadi  orang  yang  rentan  jatuh  dan   percaya  pada  perkataan  orang  lain—jika   itu  menyangkut  kesembuhannya.  Akan  aku  lakukan.  Apapun.  Pisang  emas  satu  sisir. Daun  sirih  beruas  sembilan. Abu  dari  sapu  lidi  dicampur  lumpur  comberan yang  mesti  dibalurkan  ke  luka.  Pernah,  suatu  kali, seseorang  datang, dan  memberi  tahu, ia  pernah  mendengar  penyakit  macam  ini  sembuh  oleh  rebusan  tumbuhan  parasit  berwarna  kuning  seperti  rambut,  dia  menyebutnya  mimian (barangkali  bentuknya  yang  menyerupai  gulungan  mi  ayam).  Maka  ketika  perempuan  itu  sudah  tertidur,  diam-diam  aku  menyelinap  keluar  mencari  tumbuhan  itu.  Aku  berjalan  kaki, sepertinya aku  pernah  melihat  tumbuhan  yang  diceritakan  ciri-cirinya  oleh  seseorang  itu  di  taman  kota. Dan  sialnya, taman kota  sudah  dirapikan. Tak  kutemukan  yang aku  cari  sehelaipun.  Malam  itu  aku  pulang  dengan  berlari  dan  kehilangan  sandal  jepit,  aku  dikira  pencuri  ketika  mengendap-ngendap  di  sebuah  pekarangan  rumah  orang.  Sudah  aku  jelaskan  berkali-kali kepada  bapak-bapak  berwajah  buas  yang bergerombol  di  pos  ronda.  Aku  bukan  pencuri. Aku  cuma  mencari  mimian.  Tapi  percuma  menjelaskan  kepada  orang  sebanyak  dan  sekalap  itu.

“Ini  sudah  matang “,
“hemm”
Dia  menelan  ludah. Selesai  sudah  aku  membakar  kelima  cicak  itu. Tubuhnya  masih  berasap  dan  jadi  kehitam-hitaman.  Aku  jejer  kelimanya  di  piring  seng.  Aku  membayangkan  sebuah  restoran  dengan  menu  andalan:  cicak  panggang bumbu   berbekiu.

Terdengar  gigi-gigi perempuan itu  mengeremus lembaran-lembaran   kulit  yang kering . Piring  bersih. Dia  bersendawa.  Kuberi  dia  minum  segelas  air  putih  dengan  sedotan.

“Aku  akan  sembuh  kan?”

Ditanya  seperti  itu, aku  menunduk.
***

Aku  masih  di kamar  mandi  untuk  kencing  waktu  itu,  ketika  aku  dengar  lolongan  begitu  keras  dari  kamar. Celanaku  basah. Air   kencingku  belepotan  kemana-mana.
“Ada  apa, teriak –teriak?”
Dia  makin  meronta-ronta. Tubuhnya  sudah  tak   bisa  digerakkan.  Bola  matanya  melirik  lengan  kanannya  yang  telanjang.  Aku  mengikutinya  gerakan  ekor  matanya.
“Duhh,  Gusti ,….”
Aku  kecup  hidungnya,  sembari  mengusap-usap  lengannya. Beberapa  ekor nyamuk  hinggap  di  lengannya ternyata. Dan dia  sedari  tadi  cuma  bisa  melirik,  membiarkan  nyamuk-nyamuk  tersebut  mengejek  dirinya  yang  pesakitan. Mengejek  bahwa  ia  sama  sekali  tidak  bisa  berbuat  apapun demi  mengatasi   masalah  sekecil  ini.  Ya,  kadang  ada  tempat  dan  waktunya,  hal-hal  remeh  menjadi  berbalik  meremehkan  kita.
“Kamu  tak  bisa  membantuku  untuk  melepaskan  kesakitan  ini?”
Matanya   melirikku  lemah. Di matanya  aku  melihat  kami  berdua.  Aku  di pangkuannya.  Dia  mengelus-elus  masa  kanakku. Aku  berlarian  dan  dia  mengejarku.  Aku  jatuh  dan  dia  menggendongku.  Aku  disusuinya  agar  tidak  menangis.

“Bakar  saja,  aku, aku  sudah  tidak  kuat  menanggung  tubuhku”
Keringat  meleleh  dari  kening  ke  pipinya. Dari rambut  ke  telinganya. Telinga. Aku  ingat  kalimat  yang  dibisikkan   lelaki  tua  ketika   membezuk kami kala  itu.  Ya,  aku  ingat  betul  apa  yang  ia  sarankan. Dan  inilah  yang  aku  lakukan:  Aku  bersila,  membacakan  rapalan   yang  diberikan lelaki  tua itu. Tujuh  kali,  tanpa  menghirup  dan   mengeluarkan  napas.

Kurasakan  tubuhku  ringan. Sekelilingku  hampa. Kamar   ini  jadi  menyerupai   gudang  kapas. Aku  mampu  melihat  sosok  itu. Mahkluk  yang tak  mempunyai  bayangan.  Yang  tersenyum  datar.  Mendekati  ranjang. Meraih  leher  perempuan  itu. Kelima  jarinya  betah  di  sana…
***

Aku  masih   sesenggukkan,  ketika  banyak  orang  mengerumuni  kami.  Jasad  perempuan  itu  pelan-pelan dijauhkan  dari  pelukanku. Aku  menunduk. Kemudian  berdiri  dan  melangkah  ke  orang-orang  yang  mulai  sibuk, ke  arah  beberapa  orang  berseragam  polisi   yang  sedang memasang  pembatas  kuning  serta  mencatat  ini  dan  itu.  aku  katakan aku  mencintai  perempuan  itu  sebanyak  tujuh  kali  kepada  mereka. Tapi   mereka  seperti  tidak  mendengarkan  aku.  Aku  ceritakan  bahwa  tadi  mahkluk  tanpa  bayangan   mengambil  nyawa  perempuan  itu dengan cara yang  santun. Aku  ceritakan  bagaimana dan  dari  arah  mana  mahkluk  erba  putih  tersebut   datang  dan  tersenyum  datar  kepada  kami.

Mereka  tak  pernah  percaya  ceritaku.  Tak  pernah:   cuma  lantaran  ada  bekas  jari  yang  membiru  di  leher  perempuan  itu.

(Semarang, desember  2013)

Tidak ada komentar: