(secara tak sengaja saya menemukan tulisan ini di folder, saya tertawa-tawa sendiri membacanya, cerita pendek ini saya tulis di tahun 2010. sebelum saya terlupa lagi, saya mesti menyelamatkan tulisan saya ini di blog, sebagai dokumentasi proses saya. dan untuk menghibur diri sendiri, tentu saja.)
Bunyi tak
tik tak tik riuh menjadi bunyi yang
mudah diingat ketukan
jatuhnya, ritmis yang hadir dari tetes
air menimpa baskom, ember
plastik, dan panci alumunium
yang sepertinya sengaja dipasang di
hampir seluruh penjuru rumah
ini. Sebuah sonata sedang disuguhkan hujan. Hadiah
desember yang begitu
ramah dalam membagikan
curah. Wadah-wadah itu semakin
penuh asin air, yang kadang
berkecipak melompat begitu
saja ke lantai berpelur
semen kasar, namun sayangnya tetap
saja masih kurang,
padahal semua perabot pengghuni dapur
sudah dikerahkan, tetap saja
tak mampu
menyelamatkan permukaan lantai ini
dari bocor yang enggan berhenti turun menyerang.
Rusuk-rusuk genting yang
melengkung keropos, yang telah
membuatkan alur aliran
air diatas sana satir mengejek
harga diri Mang
Adin, sebagai satu-satunya Lelaki
dirumah ini. Sebagai suami
sekaligus sebagai bapak
dari anak-anak. Lelaki yang
semestinya berdada lebih tangguh
dari lempeng baja, karena
mesti mengayomi istri
dan ketiga anak
perempuannya. Beuh, bahkan
sekarang ia merasa,
dadanya bukan lagi
dada , melainkan tempurung tertutup
gelambir tipis kulit martabak, yang
melempung sewaktu panas
di penggorengan, lantas lembek
ketika durasi jam menggerus
kehampaan dan dingin
menaklukkan keperkasaan.
Mang Adin
menutup kedua telinganya
rapat-rapat, mengamankan
telinganya dari bunyi
yang entah sejak kapan
mulai ia benci. Nia,
anak keduanya yang
sudah bersekolah taman
kanak-kanak itu terus
saja dengan girangnya, sambil
berlenggak-lenggok di muka
jendela sana tak
henti-hentinya bernyanyi;
“Tik
tik tik,
Bunyi hujan
diatas genting,
Airnya turun
tidak terkira,………”
Rasanya, bagi Mang
Adin lagu dari
bibir marun anaknya
itu langsung melesak-lesak ke dalam
telinganya membawa jutaan kilo hz gelombang suara , melumpuhkan bagian-bagian
terpipih tulang rawan, saluran eustachius, selaput gendang telingannya hingga
ia hampir hilang
keseimbangan. Ia sedang
mengumpat dalam hati, alangkah brengseknya seseorang yang
telah menciptakan lagu
itu, lagu kebangsaan mahkluk
bernama hujan. Barangkali besok
ia akan melabrak
guru TK anaknya,
dan akan memaksanya
untuk menghapus lagu
itu dari kurikulum
pendidikan. Bukankah lagu Burung
Kakaktua dan Balonku
Ada Lima sudah
cukup membuat hati
riang anak seusia
Nia? Geramnya. Tak perlu lagi ada
lagu tentang kemerdekaan
hujan. Sungguh, dengan
adanya lagu itu
sama saja menginjak-injak martabatnya
sebagai kepala keluarga.
Ini harus secepatnya
dihentikan!
Mang
Adin, beranjak dari duduknya, menyampirkan sarung
yang sedari tadi lepas, ke
bahu, kemudian bergegas mengungsikan
diri, menjauhi suara Nia, barangkali di ruang
tamu lebih aman buat
sepasang telinganya, sebelum
nanti telinga itu
benar-benar berdarah,
sepeerti telinga seorang pendekar
yang sedang melawan
jurus auman sakti harimau
putih musuhnya. Menunduk-nunduk mang Adin ke ruang
depan seperti ketakutan
kepalanya akan terantuk
rusuk-rusuk genting yang
memang didisain amat rendah
dari muka tanah. Sempat
ia lewati anak
perempuan bungsunya, si Ulul, sedang
menadahkan mulutnya ke
tetesan air yang jatuh dari
atap, Abah, enak abah, air ujannya
segar, kata si
bungsu, sembari menelan
tetesan itu kedalam
perutnya. Mang Adin mengangkat bayinya dengan perasaan
giris.
Betapa kalimat
anaknya tadi seperti
sedang memprotes kondisi
ekonomi keluarga mereka,
yang tak mampu
membeli susu, hingga
membiarkan anak-anak kenyang,
tumbuh dan membesar disusui
hujan.
Di
bale-bale reot sambil
memeluk Ulul, mang Adin, menerawang ke
genting yang berlubang.
Sudah berkali-kali, ia bersama
istrinya menambal mereka, lubang-lubang
itu mereka tambal dengan
gabus bekas kardus
televisi, dicampur bensin,
lantas di lekatkan
ke bagian yang
menganga, tapi tak
mengurangi kesedihan rumah ini.
Setiap satu rapat
sisi lain dari
atap sebelahnya yang ganti
bocor. Seterusnya selalu begitu. Dan
seterusnya ia jadi
jengkel sendiri, karena ternyata
urusan tambal menambal
ini juga merambat ke bagian
hidupnya yang lain. Ia
mulai tebiasa menambal
bajunya yang rombeng, ia
terbiasa menambal sarungnya,
baju-baju anak istrinya
karena tak mampu membeli yang
baru. Belum lagi menambal hutang demi
hutang urusan belanjaan yang
lubang galiannya semakin
banyak dan semakin dalam. Ia
cuma kuli batu, betapa sulit mengandalkan
upah yang tak pasti
untuk mencukupi kebutuhan
ini itu.
“Abah, diminum dulu
tehnya”,
tiba-tiba istri
mang Adin keluar membawa
cangkir besar dari
seng yang warnanya
hijau lurik, dengan karat di
tepinya. Istrinya menggelung rambutnya
yang terurai awut-awutan,
mengemasnya dengan karet
gelang warna kuning kusam, lalu menyejajari duduk
Mang Adin.
“Pahit banget
tehnya Nun, ucap
mang Adin, ketika bibirnya itu mencecap
bibir cangkir”.
“Kita
sudah tak punya
gula bah”, jawab istrinya
dengan nada seperti
mengeluhkan sesuatu, tapi sepertinya bukan cuma
sesuatu, melainkan banyak
hal.
“Malu
bah, kalau mesti nge bon
terus di tempat
bik lastri, tunggakan kita sudah
banyak disana.”
Mang
Adin meremas gemas
lengan Ulul yang
berada dipangkuanya, mang Adin mengusap
kening anaknya, seperti ingin
mengusap ber ton-ton perasaan
gusar yang bersarang
di dalam kepalanya
sendiri.
“Kalau sudah begini,
abah bisa apa
Nun? , atau jangan-jangan kita
kurang bekerja keras
dalam berdoa ya Nun
?atau adakah yang
salah dari doa-doa kita ?”
Ditadahkan sebelah
kanan telapak tangannya,
mencoba melawan gerak
vertikal tetes hujan, ada
dingin disitu. Ada kejernihan
yang dibawa butir-butir
itu, sekian lama ia
telah kuras tenaga, ia
kuras biji jagung
keringatnya untuk mencukupi
perut keluarga, namun seolah
itu masih kurang
adanya, mereka tetap saja menjadi
ikon kemiskinan di
kampung ini.
“Bah, tak ada
yang salah dari
doa-doa kita, abah,
Barangkali Tuhan ingin
kita sedikit bersabar”.
Wajah
Ainun sungguh kemilau
kali ini dimata
Mang Adin, wajah
yang selalu menemani
keluh kesahnya dengan
cara yang bijaksana,
wajah yang ia nikahi
tiga belas tahun lalu, yang
selalu terkekeh ketika
menyusui si Ratih, si Nia, juga
si Ulul. Wajah yang
selalu menjadi rumah,
ketika ia keluar
kota untuk menggarap
proyek, yang mendorongnya
untuk selalu lekas pulang.
“Nun, boleh abah
nanya ?”
“Nanya apa
, abah ?”
“Kau
tak bosan dengan
kehidupan kita yang serba
kekurangan ini?”
“Ainun tak
merasa ini sebagai
kekurangan bah”
“Lantas?”
“Bagi
ainun ini adalah hadiah
dari Tuhan, Ainun
diberi hadiah untuk mengabdikan
diri pada Abah,
pada anak-anak kita ,bah”.
Rumah
ini selalu terserang
hujan, namun kali
ini tak cuma
atap yang mampu
mengalirkan tetes bening
itu. Karena mata
Mang Adin juga
leleh, meski ia
telah usap berkali-kali, pipinya tetap
saja terlihat jadi merah
cengeng.
“Yakinlah bah,
Tuhan maha mendengar, Mikail juga
begitu, buktinya, tiap
hari ia kunjungi
rumah kita, membawa
butir-butir hujan ini,….”
Mang
adin tak tahan
lagi, ia peluk
istrinya sambil memeluk
Ulul, ia tumpahkan
kebahagian itu disana. Ya,
apa yang dikatakan
Ainun benar, Tuhan
selalu maha mendengar,
Mikail juga benar.
Hujan ini adalah
hadiah, bocor-bocor dari
atap ini adalah
hadiah.Istri dan anak-anaknya
adalah hadiah paling
megah.
Mang
Adin langsung menyeret
Ainun sambil masih
membopong putri bungsunya, ia
mencari-cari Nia, yang
ternyata sedang bermain
boneka-bonekaan.
Mang
Adin memeluk Nia,
dan meminta :
Nak,
nyanyikan lagu hujan
tadi untuk abah
ya,….
Tik tik
tik,
Bunyi hujan
diatas genting,
Airnya turun,
tidak terkira,….
Setelah itu
merekapun tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar