tulisan ini dibuat untuk kepentingan Meja cerpen#8 yang diadakan oleh komunitas Lembah Kelelawar
1.
Membaca cerpen
Kabar Dari Laut milik
Dina Ahsara Puri
ini, menempatkan saya--
pembaca sebagai seseorang
yang sedang duduk di
atas kursi, merampungkan
sinetron di televisi, sambil
menguliti kacang bawang. sambil mengunyah
dan sesekali berujar pada
diri sendiri o, begitu—nah, pasti setelah
ini begini—dan pada akhirnya...
2.
Apakah yang
sebenarnya membuat sebuah
prosa menjadi menarik
untuk dibaca? , sudahlah disini
saya menahan diri
saya untuk tidak
menulis kutipan-kutipan dari
banyak orang-orang yang
telah mahir menulis teori
tentang bagaimana menulis.
Sambil menulis catatan ini, saya
sesekali melirik tab
samping di komputer
saya. Kebetulan di situ saya sedang buka
dua tautan; satu dari
cerpen AS Laksana,
berjudul Rashida Chairani
dan satu tautan lagi
cerpen Triyanto Triwikromo
yang stilistika judul
cerpennya mengingatkan judul-judul
puisi saya yang
seperti jalan Tol. apakah
saya sedang mencoba
memperbandingkan secara kualitas cerpen Dina
dengan kedua cerpen
Media Koran tersebut?, bisa
saja pembaca lain menuduhnya begitu. Saya
membacanya karena ingin
membacanya saja. Justru saya
mendapat simpulan sementara;
setiap penulis memiliki
dirinya masing-masing. Cerpen
Triyanto menantang saya, untuk
membuat daftar panjang
bacaan apa saja
yang sudah dan
belum saya baca.
karya-karyanya yang akhir-akhir
ini berpenyakit eksebisionis
itu benar-benar sialan. untungnya
dari beberapa judul
dan penulis semacam Gao, Gabriel
Marques, Murakami sudah pernah
saya sentuh. Sementara Cerpen AS
Laksana menghadiahi pengalaman
baca nyaris seperti membaca cerpen Dina. Cuma....
3.
Tidak ada
yang salah ketika
seseorang menuliskan cerpen. Itu
berlaku juga untuk
seseorang yang membuat
catatan tentang cerpen
yang ia baca. Ada
beberapa hal, setelah saya
baca beberapa kali dari
cerpen Dina maupun
AS Laksana;
a.
Dina dan AS laksana
sama-sama memiliki Laut
sebagai lanjaran bercerita. Bedanya, Dina menempatkan
laut sebagai latar, pemantik konflik, dan
ruang yang terus-menerus
bergerak mendorong cerita
untuk teus menemukan
cara bagaimana mengakhiri
diri. AS Laksana
menggunakan laut sebagai
aksen, sebuah tato
yang mesti dibawa
oleh tokohnya demi menghakimi sebuah
situasi.
b.
Saya terhibur dengan
penguraian citraan Laut
milik Dina. Disamping
ada beberapa celah yang saya rasa
Dina matangkan. Dina
terihat terlalu bertele-tele
dengan panorama.
c. AS laksana,
ya, saya tahu saya
akan memuji bagaimana
dia menipu saya dengan
cara dia tetap
meruncing dengan satu
penokohan. ada Kepala sekolah
yang dia antagoniskan namun
tetap manusiawi, ada
segerombolan anak muda (inilah
cerdiknya dia, dia menarik tokoh
bejat yang rupanya
anak pejabat agar
cerita lebih hitam
dan putih), ada
juga ibu Rashida yang
berfungsi sebagai pemantik
kecemasan. Tapi satu
hal yang saya
catat dari itu
semua, masing-masing tokoh
eksternal memberi tekanan
pada tokoh aku—prosa, si
narrator.
d. dina
kecolongan dalam bagian
ini. saya rasa, cerpen
ditakdirkan untuk memaksa
kejelian penulisnya mengupayakan
kesedihan/kekejaman/permasalahan cuma
pada satu tokoh
utama. Tapi Dina dibagian
ini malah gagal
dengan menghadirkan si perempuan
berkeringat rosemary yang memecahkan focus.
Fokus pembaca remuk
ketika mesti tarik
menarik antara ke
kanan atau ke
kiri. Antara ke Sapto
atau ke perempuan
beraroma rosemary. belum lagi
kehadiran Dirun, nelayan lain,
warga, belum bisa
membuat “kekejaman” yang berarti. alhasil, cerita
ini hendak jadi
cerita horror tidak
jadi, hendak jadi cerita
criminal kurang mengerikan, hendak jadi
cerita sedih belum
bisa membuat saya terharu. Dari pengalaman
membaca saya, di setiap
cerpen yang saya
rasa “ berhasil”, akan ada kerangaka
imajiner begini: semua
boleh dimasukkan ke
dalam cerpen, tapi
semua tersebut (harus) mempunyai ikatan
emosional dengan tokoh
utama. saya selalu membayangkan
tokoh utama di tempeli banyak
sekali sedotan yang
mengambil air dari
banyak sumber mata air,
sampai suatu ketika
tokoh utama tersebut
mati kekenyangan. begitulah....
e. ....Percuma saja jika
dipaksakan melaut. Tangkapan ikan akan sedikit. Pantulan cahaya bulan di
permukaan air laut yang mengandung garam, membuat senar pancing ataupun jala
yang terbenam terlihat menyala. Tentu ikan-ikan akan enggan mendekat.....
Dina mempunyai
potensi yang baik
untuk menciptakan deskripsi
setting bagi tokoh
dalam cerpennya. Lihat saja
bagaimana ia menghadirkan
ombak, pantai, langit, renik
kehidupan pesisir. Dina juga
sudah (atau ini tidak
disadarinya [?]), memasang
logika bercerita. inilah
yang sering mengaduk-aduk
pikiran saya, bagaimana
seorang penulis cerpen
menyiasati kejadian ini akan
menimbulkan ini, atau ini
diakibatkan dari kejadian
yang itu. bagi saya
cerpen yang bagus
tidak harus masuk
akal, tapi ia punya syarat
bisa diterima.
f.
Cara bercerita dina konvensional,
sekali lagi, ini bukan
soal baik dan
buruk. seorang penulis
diberi kemerdekaan akan
mengambil jalur penceritaan sudut pandang orang
pertama, orang kedua, orang
ketiga, atau menggunakan
beberapa sudut pandang
sekaligus.
g.
nah, variasi lain
dari cara bercerita
menggunakan teknik sudut
pandang bisa dilacak
pada cerpen Rashida
Chairani milik AS Laksana. Dia
terlihat betul menguasai
teknik penceritaan. Malah kalau
menurutt saya, dia
sedang mengejek teoritis
dari teknik bercerita sudut
pandang. ia carut-marutkan semuanya. ya,
saya tahu, kematangan bercerita
tidak mudah. Saya
berharap Dina juga
tahu...
3. Bagaimana dengan
Cerpen Triyanto? sudahlah, lain kali
saya akan berbagi
pengalaman membaca cerpen
Triyanto itu,..
4.
Catatan ini saya
tulis tanpa pengeditan, perhatian
pada huruf dan
ejaan dan pengendapan, cara seperti
ini tidak baik
dikenakan pada cerpen.
Cerpen mestilah penuh
perhitungan. Ya, kan.
Salam Buat
teman-teman Lembah Kelelawar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar