Kali ini mataku
benar-benar dimanjakan spektrum warna hasil benturan
ajaib daun momiji. Guguran daun merah, kuning serta
cokelatnya ingin melumat seluruh lapisan tanah
taman ini. Aku duduk menghadap barat, dimana orang-orang
duduk bergerombol, tubuh-tubuh
yang sengaja menghadap matahari, menggelar
tatami dibawah batang-batang kekarnya
momiji, tikar yang lumayan luas untuk berbagi tawa, mereka semut mengerubungi rimbun riang kemanisan
yang nguar dari aroma
gula.
Belum merasa
lapar, Arif-san ? ucapmu disampingku, sambil
membenarkan letak dudukmu, menggeser, merapatkan diri ke tubuhku. Ya, suhu
tubuhmu berkali-kali menawarkan sensasi
lain musim gugur bulan september. Tak
mau kalah bersaing beradu keeksotisan dengan angin yang beberapa
kali berloncat-loncatan,
menepuk-nepuk wajahku.
Aku menggeleng
untuk yang kedua, ah, dalam suasana seperti ini, momiji
barangkali benar-benar telah menandas-tanduskan rasa lapar, bahkan tukak lambung
sekalipun. Kutatap mata sipitmu
yang berusaha mengejar masalalu dimataku, kusediakan kasempatan
bagi matamu untuk terus
berlarian, dengan harapan
segala pertanyaan yang kamu
kejar dapat kamu tangkap, karena sungguh, padamu aku tak
cukup mempunyai kekuatan
untuk menjawab.
Pukul setengah
enam petang, namun siang teriknya belum
ingin menggelincir ke arah
lipatan bumi lain. Anomali yang
tak kutemui mungkin di hari-hari
biasa, matahari menunjukkan keganjilanya di perayaan hari equinox. Ini artinya
tanggal 23
september, Hari dimana
matahari musim gugur berdiri
tegak dan angkuh di garis ekuator,
hingga jadwal siang untuk hari ini
akan sangat panjang, rakus memangsa malam hingga jamnya jadi
sangat tipis. Siang yang mendukung
agar posisi kita
terus seperti ini, rapat di bangku
panjang taman, melawan mahkluk
jahat bernama perpisahan.
***
Malay ? kegiranganmu waktu itu menyambut rasa takutku akan menggelandang di negeri matahari ini, tidur di taman atau di emperan
sebuah toko elektronik karena tak
bisa pulang ke penginapan. Aku baru
saja beberapa hari menghirup
udara musim semi di Sendai, sebuah kota yang menjadi batas perfektur Miyagi, kota sebelah utara di jepang. Ini akibat tabiat bejatku sedari dulu, merasa sok tahu, merasa
berbekal kenekatan bisa
mengelilingi kota tanpa pemandu
atau teman penunjuk jalan. Dan
akhirnya aku mendapatkan hukuman dari rasa
sok tahuku yang kusembah
seperti berhala. Berbekal bahasa
jepang sangat minim, betapa
sulitnya membaca plang-plang jalan
dengan susunan huruf kanji.
Baru saja menjelajah
stasiun kereta, aku sudah menjadi
manusia purba yang
kehilangan arah mata
anginnya.
Meski aku
benci disangka orang malaysia, tapi toh aku berhasil menemukan
seseorang yang bisa kuajak berbincang. Doaku terkabul, paling tidak aku terselamatkan.
“Watashi wa In-do-ne-sia jin” , jawabku putus-putus. Tiba-tiba kamu melompat
tinggi-tinggi seperti gadis
kecil yang mendapati boneka Barbie nya menyembul dari sumur begitu saja yang selama dua hari jatuh dan tenggelam di kedalaman.
“A-p-a ? in-do-n-esia ? Ba-ri ? Ja-ka-ru-ta jin desu
ka ?”
kamu langsung
memelukku, kita seakrab saudara
kembar yang bertahun-tahun terpisah dan
tiba-tiba bertemu di kamp pengungsian. Ditengah napasmu
yang hampir pecah satu-satu, kulihat
mata sipitmu membulat ,sebesar telur mata sapi, memandangku
tubuhku yang mendadak gugup.
Aiko,…… Miura
Aiko, kamu ucapkan namamu, hampir tiga kali disertai gerak tubuh membungkuk
dan tegak kembali demi menghormati pertemuan
ini, dan demi adatku sebagai
tamu, aku lantas menirukan gerak tubuhmu, membungkuk tiga kali. Tegak tiga
kali. Lalu kita impas. Tertawa lepas,
entah menertawakan pertunjukkan di
jalan menyambut perubahan musim dingin ke musim semi, atau
menggenapi keganjilan tumbuhnya
musim lain di masing-masing hati.
***
“Rupanya kamu pandai
memasak ya,Arif-san, hi hi”.
Gigi kelincimu berderet memuji masakanku, saat kamu
undang aku mengunjungi apartemenmu. Padahal aku
sekedar membuatkanmu Agedashi
Tofu, tahu goreng berlapis
tapioka dengan bumbu garam dan mirin itu akhirnya kamu habiskan
tanpa rona wajah
yang setidaknya bisa
kubaca sebagai kamuflase, andai saja pujianmu tadi sekadar
cara agar aku
bisa tinggal dalam
ruangan berornamen minimalis ini
lebih lama. Ternyata tidak, kamu
terlihat seganas harimau terkena
busung lapar sore ini.
Aku menuang
ocha, teh dalam teko
yang rupanya telah kamu siapkan sebelum aku
datang, jadi berasa agak dingin
cangkirnya ditelapak tangan. Kutuang ke cangkirmu, lantas ke cangkirku. Senyummu belomba dengan sisa
kunyahan tahu. Aku geleng-geleng
kepala.
“berarti Arif-san bisa
memasak, mmm, apa itu, namanya
Aiko lupa, Tawon ya?, masakan Indonesia, yang kuahnya dari
kelapa berwarna hitam, dengan
banyak sekali bumbu
rempah….”
Belum selesai kamu
bicara, resapan geli seketika menjalar
ke seluruh tulang belulangku, geli
yang kutahan, tak tega menertawakan
gadis selugumu, tapi tetap saja, wajahku akhirnya mengembang
layaknya adonan roti terlalu
banyak ragi,
“Ada yang
aneh Arif-san ?”
“Hemmm, bukan
Tawon Aiko-san, tapi Rawon. R-A-W-O-N.”
“Ooooo, maafkan kebodohan
Aiko ya”,
cepat-cepat kamu meminum pahit ocha
sebanyak-banyaknya. Berupaya ingin
menghanyutkan segala kesalahan verbal yang mungkin menyangkut
di tenggorokan.
Kemudian kamu
bercerita banyak hal, tentang kegemaranmu travelling,
meludeskan semua uang hasil tabungan
demi menyentuh detail lekuk permukaan
bumi. Betapa semangatnya
kamu menceritakan
tempat-tempat terpencil yang
tertera di brosur-brosur
perjalanan wisata. Bagaimana tualangmu
menyentuh kota benteng
Dubrovnik di perbatasan Bosnia-Herzegovina yang
katamu, sempat luluh lantak akibat
perang saudara antar
etnik. Betapa air liur jelajahku
membasahi jakun, saat kamu menggambarkan
keindahan Machu piccu, bangunan kota
kuno peninggalan suku Incha
di Peru , atau menyaksikan musim kawin
ikan paus di perairan Puerto piramide, Argentina, meski sebelumnya
aku tak mengenal
tempat-tempat itu, tapi sungguh
ceritamu membuatku telah
berada beberapa malam
disana. Dan sore ini
sepertinya kamu berniat
menuang seluruh daratan
dan lautan lapisan
bumi ke meja
makan.
“ mmm,
indonesiamu juga indah, arif-san. Aiko selalu
merindukan Bunaken”,
dan entah
mengapa kata-katamu seperti
melempar batu besar
ke dada ringkihku, aku tersenyum
kecut, mendadak demam, mendengar
lidahmu mengucap kata Indonesia.
“ arif-san tak
kangen rumah ?”,
kali ini
bumi bulat kamu timpakan
untuk kepalaku. Aku tak
mengeluarkan apapun dari bibir
selain kengiluan. Rumah, dimanapun
kita pergi akan
kita bawa. Aku diserang arus
listrik kerinduan yang
dahsyat, mengeringkan cairan
darahku.
Ah, Suci. Aku
jadi ingat Suci. Tak
mungkin, tak mungkin aku bisa
menghapusnya dari ingatan. Gadis bermata
jernih itu, yang mendekapku erat ketika
mengantarku sampai bandara,
yang menyisipkan boneka kecil kucing
Doraemon ke ranselku, yang telah menyusupkan sebenang harapan kepadaku,
dan berkeras menungguku sebagai
pangeran imaji dongengnya. Aku ingat, beberapa bulan sebelum berangkat
kami sempat bertengkar
kecil, mempertahankan argumen
masing-masing.
“kenapa sih,
kamu mesti ke
jepang, bukankah kamu bisa minta kepada perusahaan
untuk ditempatkan di
dekat-dekat sini saja?”.
Suci protes, tatapnya berusaha mengikatku, barangkali niatku
untuk pindah kerja ke
jepang akan berbalik
arah, ia usahakan segalanya, aku tahu
itu.
“Ini demi karirku kelak
ci,”
“ah, egois,
kamu nggak mau mengerti perasaanku !”
“perasaan seperti
apa Ci, toh kilometer
tak akan mengubah
perasaanku sama kamu !”
kutekan suaraku,
aku ingin ia sadar, pulau dan laut
tak akan memperjauh jarak
hatiku dari hatinya
“Tak bolehkah, kalo aku
berharap selalu kamu
temani ?, bukannya kalau di Jakarta kita masih tetap bersama ? tiap hari paling
tidak kita bisa bertemu….”. Gelegak itu menyiprati mataku. Dengan geletar trenyuh kupeluk
Suci.
“ Ci,
percayalah, ini demi kita, dukung aku
kali ini. Aku sayang
sama kamu.”
Suci tak
berkata apa-apa.
***
Tapi semuanya
jadi berubah seperti
kerdipan musim, semenjak bertemu denganmu, komitmen yang kubawa
dari Jakarta, pelan-pelan kehilangan
daya tahan,
pertemuan-pertemuan kecil denganmu
merambat membius kesadaranku.
Aku tak
kuasa menampik rasa
segar, ketika kamu dihadapanku, dan entah
siapa yang memulai,
seakan-akan kita begitu
saja pasrah untuk saling mengikatkan
diri. Dan dua
tahun, aku seperti lelaki
berkepribadian ganda.
Menyembunyikan segala tentang
Suci darimu, menyembunyikan segala
tentangmu dari suci. Ah,
barangkali aku akan
segera dikutuk oleh
dewa-dewa yang melindungi
tiap kuil disini,
karena akan melukai seorang gadis
lugu mereka. Aiko. Yang
telah menaruh harapan
terang kepada pundakku. Yang selalu menghormatiku dan
budaya yang kubawa. Yang
selalu ingin ikut jika
aku pulang ke Indonesia.
Andai saja boleh
meminta, aku ingin sekali
masuk ke komik, menjadi
tokoh Nobita, yang padahal
dulu sewaktu aku kecil begitu
kubenci karena ia bocah lelaki
yang cengeng, selalu
mengemis sebuah kemustahilan keluar
dari kantong ajaib,
cuma untuk lari
dari kenyataan. Ya,
mungkin aku perlu alat-alat ajaib,
untuk menyembunyikan ketakutanku.
***
Kuberanikan diri
menatap matamu,
“Aiko, maafkan
aku”
Tanganmu meremas
tanganku, tangan kirimu
mengambil beberapa daun momiji
yang jatuh menimpa bangku tempat
duduk kita, kamu tertawa.
“Ada apa
Arif-san?”
Ah, aku sungguh
aku pengecut, aku
tak berani, mengatakan
ini padamu.
“ aku ingin kamu
memaafkan aku, itu saja”
“ aiko, tak pernah
merasa Arif-san punya
salah, Arif-san orang
paling baik yang
pernah aiko kenal.”
Aku cuma
bisa tertegun, aku tak
kuasa.aku tak kuasa
melakukan penghakiman terhadap
apa yang telah kulakukan padamu,
juga pada Suci.
“besok aku
pulang, adakah yang
ingin kamu sampaikan
padaku?”
Dan benar
saja, sekarang matamu
pecah, tak mampu menampung
letupan gelombang di
dalamnya, yang mungkin seharian sudah
kamu tata sedemikian
rapi, kamu tak ingin
terlihat menangis. Tapi
toh pipimu basah
juga.
“aiko pasti
akan merindukan Arif-san
setelah ini,…..”
Kamu
memelukku erat, musim gugur
ini benar-benar menjatuhkan apa-apa yang
telah kamu tanam,kamu tumbuhkan.
Kupeluk kamu,
seerat aku memeluk
busuk rahasia ini.
Kubiarkan semua tandas
dalam kebohongan. Kubiarkan
matahari yang masih
membulat suatu ketika
akan mengutukku. Kubiarkan
semua tandas.
semarang mei 2010
(secara
tak sengaja saya menemukan tulisan ini di folder, saya
tertawa-tawa sendiri membacanya, cerita pendek ini saya tulis di
tahun 2010. sebelum saya terlupa lagi, saya mesti menyelamatkan
tulisan saya ini di blog, sebagai dokumentasi proses saya. dan
untuk menghibur diri sendiri, tentu saja.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar